Perlahan cahaya itu memudar, hal indah mulai lenyap. Tidak ada yang bisa dibawa untuk rasa bahagia. Bagai seutas tali, Akasa hanya bisa ber-cycle di sana. Terjebak dan sangat sulit merangkak keluar.
Secercah cahaya mulai bersinar. Deepa, seoran...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bulan sabit berada di tengah ribuan bintang yang saling beradu kerlipan. Hembusan dingin angin malam menusuk hingga ke ruas tulang terdalam. Sunyi temaram. Hanya ada bunyi nyanyian nyamuk yang bersenandung riang. Hinggap dan menusukkan jarumnya pada lengan laki-laki berkaos hitam. Sesekali laki-laki itu menepuk anggota tubuhnya yang menjadi santapan binatang penghisap darah tersebut.
Hari sudah semakin larut, Akasa menjadi orang terakhir yang berada di pesta itu. Duduk di depan kolam renang. Tubuhnya bersandar pada pohon palem. Gemercik air sesekali menyerang indera pendengarannya.
Akasa tidak bisa menyudahi lamunannya. Kali ini, laki-laki berparas tampan, namun tidak sempurna itu, merindukan kedua orang tua, kakak perempuan, dan Bi Inah. Begitu banyak kenangan indah yang telah mereka lalui bersama. Namun, kenapa Tuhan mengambil seluruh permata dalam hidup Akasa?
Laki-laki itu menyunggingkan senyum. Ia berandai-andai. Seperti apa hidupnya, jika kedua orang tua, kakak perempuan dan Bi Inah masih ada bersamanya? Akankah ia menjadi orang yang paling berharga di dunia? Bercanda gurau dengan keluarga. Mengejek tanpa batas. Saling bertukar kasih sayang. Bahkan, sesekali menyulutkan amarah jika ada yang berbuat salah.
Ouh, sungguh indah bukan? Nasi sudah menjadi bubur. Tuhan memiliki skenorio terbaik untuk setiap hambaNya. Akasa tidak memiliki kuasa untuk meminta semua permatanya, kembali.
Akasa mengambil sebuah note kecil. Akasa sangat suka merangkai kata. Untaian kata yang berubah menjadi kalimat. Tidak ada orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya, menuliskan semua itu dalam sebuah catatan tidak salah, bukan? Oh tidak! Tangannya tidak sanggup memegang bolpoin. Bagaimana ia bisa menulis jika bolpoin itu terus tergelincir. Laki-laki itu memiliki trauma pada benda panjang bertinta itu.
Akasa merogoh saku celananya. Sebuah ponsel pintar berada dalam genggamannya. Benda itu ia dapatkan dari Hendra-Ayah Deepa. Saat Hendra memberikan ponsel itu, perdebatan panjang ia lalui bersama sang istri. Bagi Rissa, tidak ada untungnya membelikan ponsel pintar untuk seorang tunanetra. Ia tidak bisa melihat, apa bisa ia gunakan dengan benda itu? Apa hanya akan dipakai untuk menjadi alas memotong sayur-mayur? pikirnya.
Meski tidak mendapatkan izin dari istrinya, Hendra tetap bersikeras memberikan ponsel itu. Kini benda persegi panjang itu sangat berarti bagi Akasa. Pasalnya, ponsel itu ia gunakan untuk merekam suara. Ponsel pintar itu yang ia gunakan untuk menyimpan dan merangkai setiap untaian kata yang tercipta-untuk menjadi sebuah audio.
Menulis? Menjadi suatu hal yang sulit untuk ia lakukan. Traumanya pada bolpoin dan penglihatannya yang buruk, menjadi penghalang yang jelas. Hal itulah, Akasa menyalurkan hobi-merangkai ungtaian kata-melalui fitur perekam suara yang ada di ponselnya.
Semburat cahaya layar ponsel, terpancar. Akasa mulai menggeser, dan mengenali ikon yang menjadi simbol aplikasi perekam suara. Jarinya dengan tegas menekan ikon berbentuk michrophone. Kini ia memilih lingkaran merah.
'Setitik cahaya, bersinar. Secercah harapan mungkin akan datang. Ketika mata dan kaki sudah tak mampu menjalankan tugasnya, apa mungkin pintu kebahagiaan itu tetap ada? Hidup hanya menjadi ajang perlombaan. Bersusah payah menjadi baik dari yang terbaik. Melupakan semua janji dan kodratnya sebagai manusia. Melakukan kejahatan untuk menjadi yang terbaik, sepertinya tak masalah. Berayun dan berkelana tanpa batas. Oh Tuhan, betapa malangnya mereka yang tak bisa memilah dan memilih sesuatu yang pantas.'
Tiikkk....
Akasa menyudahi alunan suaranya. Terdengar gusar dan sangat dalam. Ia letakkan kembali ponsel itu pada saku celananya. Akasa berdiri dan mengedarkan netranya perlahan. Kakinya melangkah perlahan. Laki-laki itu mulai menjauh dari pinggiran kolam renang.
🕶 🕶 🕶
Tenggorokannya terasa kering. Tegukan air liur, tercekat. Deepa memutuskan untuk mengambil minum di dapur. Mengesalkan memang! Harus menjeda animasi Doraemon yang sedang asyik ia tonton.
Gadis itu mengambill gelas kaca, dan tangan kananya perlahan menuang air putih dari teko. Tegukan air itu perlahan membahasi rongga mulut hingga tenggorokan. Deepa berencana ingin membawa beberapa snack untuk ia makan sambil menonton serial kesukaannya.
Di tengah malam yang hanya ada dirinya di dapur, Deepa mulai merasa bulu kuduknya berdiri. Samar-samar ia mendengar ocehan laki-laki. Netranya menyusuri setiap sudut ruangan. Diam membeku, Deepa mulai merasa parno.
Kakinya melangkah ke sumber suara. Perlahan, dan perlahan. Tangannya mengambil spatula yang bertengger rapi di tempatnya. Siapa tahu, suara itu adalah decitan para maling? Gadis itu memasang gestur berjaga-jaga. Tanganya menyelip gorden jendelan dapur yang langsung menuju ke halaman belakang.
Kini netranya menemukan objek. Laki-laki berkaos hitam tengah berbicara sendiri di depan sebuah ponsel pintar. Deepa tidak berniat untuk menguping. Namun ia mendengar beberapa kata yang Akasa ucapkan.
'Melakukan kejahatan untuk menjadi yang terbaik, sepertinya tak masalah. Berayun dan berkelana tanpa batas. Oh Tuhan, betapa malangnya mereka yang tak bisa memilah dan memilih sesuatu yang pantas.'
Deepa mengerjap kaget. Apa yang sebenarnya laki-laki itu pikirkan? Ingin rasanya Deepa membantu dan berbagi cerita dengan laki-laki penyandang tunanetra itu.
Netranya tidak pernah berpaling. Hingga Akasa mulai lenyap dari pandangannya. Laki-laki itu berjalan ke sebuah tempat yang ada ujung halaman. Bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah-yang ada di rumah itu. Kadang, aroma busuk itu menyeruak masuk, menyapa Akasa. Sampah-asmpah itu ditumpuk satu minggu, dan baru di bawa ke luar ketika hari senin. Di saat truk pengangkut sampah datang untuk mengambil tagihannya.
Apa tidak ada tempat yang lebih layak untuk ditinggali? pikir Deepa.
Jujur saja, tempat itu lebiih layak di sebut sebagai gudang dari pada tempat untuk melepas penat. Deepa menatap nanar saat Akasa mulai masuk. Ingin rasanya Deepa membawa Akasa ke kamarnya.
Deepa menepuk pipinya berulang kali. Sungguh! Apa yang ia pikirkan sekarang. Apa ini perasaan suka, atau sebatas iba?
Deepa menggeleng-gelengkan kepalanya. Menormalkan apa saja yang telah berputar di dalam otaknya. Ia tidak mengerti, kenapa pikiran itu tiba-tiba saja terlintas. Beradu dalam pikirannya, Deepa baru saja ingat bahwa ia harus segera kembali ke kamar.
"Doraemon, I'm cooming!!"
Seperti itulah Deepa. Menonton serial itu sampai pagi buta. Tak heran jika ia selalu bangun setelah matahari telah lama menyapa. Dan jangan lupakan, selalu ada keributan antara ia dan Rhava. 'Anak gadis harus bangun pagi. Malu sama ayam yang selalu bangun lebih awal dari pada majikannya.'
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.