14. Ablepsia: Tidak Fokus

124 36 0
                                        

     Satu minggu telah berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Satu minggu telah berlalu. Laki-laki yang kerap dipanggil Akasa sering tidak fokus melakukan pekerjaannya. Sering kali ia teledor hingga memecahkan beberapa piring ketika mencucinya, lupa memberikan pewangi pakaian ketika mencuci pakaian, tidak rapi ketika memotong tanaman di halaman rumah, dan ia juga sering melamun tidak jelas.

     Pikirannya kusut. Bayang-bayang Deepa selalu memenuhi pelupuk mata dan hatinya. Ia sangat kacau sekarang. Akasa sendiri tidak mengerti kenapa ia selalu memikirkan gadis itu. Apa karena Deepa adalah orang asing pertama yang bisa menerima keadaannya tanpa mencela? Akasa tidak dapat mengendalikan pikirannya sekarang.

     Fokus Akasa, fokus!! monolognya dalam hati.

     Kini ia sedang duduk di samping mesin cuci yang sudah berhenti bekerja. Namun laki-laki itu masih saja diam, tidak melanjutkan putaran untuk membilas cucian itu. Ia seperti orang bodoh sekarang.

     “Kasa! Apa yang kamu lakukan? Mesin cuci itu sudah berhenti satu jam lalu. Apa kau ingin menjadi tikus mati di samping mesin cuci, hmm?” tegas Rissa.

     “Ma-maf Tante. Akasa tidak ber—“

     “Halah, alasan! Aku sudah sering melihatmu teledor melakukan pekerjaan rumah. Ini bukan kali pertama!” gertak Rissa. “Aku sudah habis kesabaran sekarang. Sebenarnya aku sudah sangat muak denganmu ketika kau berani mendekati putri cantiku—Deepa, dan sekarang kau malah lalai.”

     Rissa terlihat tengah menarik napasnya dalam-dalam. Menahan gejolak amarah yang tengah menyala. “Mulai sekarang kau pergi dari rumah ini!” titahnya.

     Akasa lantas mendongakkan kepalanya. Mencoba mencerna kalimat apa yang baru saja ia dengar. Dengan kata lain, aku diusir? batinnya.

     “Sekarang kemasi pakaianmu, dan pergi dari lingkungan ini! CEPAATT PERGIIIII!” Wajah Rissa merah pedam. Ia seperti kesetanan.

     “Ada apa ribut-ribut Ma?” tanya Rhava.

     “Ini si anak buta yang tidak tahu diri! Sudah satu minggu ini dia tidak becus melakukan pekerjaan. Aku masih sabar untuk itu, tapi sekarang tetap saja,” keluh Rissa.

     Rhava mendekat. Ia menangkap satu gelagat dari Akasa. “Suka sama Deepa?” tanya Rhava. “Cuihhh! Sampai matipun, aku tidak akan mengizinkanmu untuk bersama adikku. TIDAK SUDII!”

     Ribuan paku menancap tepat di ulu hati. Akasa merasakan sesuatu yang sangat perih baru saja menyerangnya. Sepertinya benar apa yang dikatakan Rhava jika ia telah menaruh hati ada gadis itu. Akasa ingin menepis pikiran itu jauh-jauh. Tapi perasaan tidak bisa dimanipulasi.

     “CEPAT PERGI, SEKARAAANNG!” titah Rissa.

     Akasa mengangkat tubuhnya perlahan. Laki-laki itu tidak mengucapkan satu katapun. Semua yang dikatakan Rissa dan Rhava memang benar adanya. Ia tidak ada alasan untuk melawan. Ibu dan kakak siapa yang menginginkan orang seperti dirinya yang akan menjadi pelindung putri mereka satu-satunya? Siapa yang menginginkan orang buta untuk menjadi menantu dan adik iparnya? Mereka pasti mengingikan orang terbaik untuk Deepa. Akasa mengerti hal itu.

     Sungguh berat bagi Akasa. Harus ke mana ia pergi sekarang. Akasa sama sekali tidak memiliki tujuan. Tidak ada keluarga lagi yang ia punya. Bahkan Neneknya pun menganggap Akasa monster karena telah menyebabkan kematian orang tuanya. Sungguh perih takdir hidup yang Akasa jalani. Tidak ada gunanya juga laki-laki itu mengeluh.

     Akasa memasukkan beberapa pakaian dan ponselnya pada tas ransel lusuh yang ia punya. Tidak banyak, hanya beberapa saja. Tiba tangan berurat laki-laki itu memegang sebuah kotak kecil pemberian Deepa. Kotak berisi liontin Doraemon. Akasa berusaha tersenyum ditengah kegundahannya. Tak lupa pula Akasa memasukkan gulungan kertas yang juga dikasih Deepa.

     Tangan laki-laki itu membuka gulungan kertas. Betapa rasa haru merasuk dalam hatinya. Akasa sangat merindukan Deepa sekarang. Ia ingi bercerita lagi pada seorang gadis yang selalu mendengar ceritanya dan gadis yang selau bertanya tentang cerita hidupnya. Betapa indahnya kenangan itu jika bisa diputar kembali. seperti sebuah klise film, dimana ada kisah indah di antara rasa sakit.

     Deep, semoga saja nanti impianku bisa terwujud untuk bisa melihatmu dengan sempurna.

     Ponsel Akasa tiba-tiba berdering. Laki-laki itu kembali merogoh ke dalam tas. Karena ponsel itu memang sudah ia masukkan ke dalamnya. Di layar persegi 4 itu tertulis nama ‘Om Hendra’.

    “Iya?”

    “Om sudah mendengar semuanya. Tante Rissa baru saja bicara,” ujar Hendra.

     “Iya Om.”

     “Maaf, Om tidak bisa memertahankanmu. Tapi Om akan kasih uang bulanan untuk kamu tinggal. Tolong jangan kasih tahu Tante tentang hal ini. Bisa-bisa Om akan dihajar habis oleh wanita itu.”

     Hati Akasa bergetar. Rupanya masih ada orang baik di sekitarnya. Akasa sangat bersyukur dengan kebaikan hati Hendra. Tanpa Akasa tahu jika uang yang Hendra kasih adalah hak milik Akasa: sesungguhnya.

     Akasa keluar rumah. Kini ia sudah berada di jalanan selama 1 jam. Ia tidak memiliki tujuan sekarang. Akasa benar-benar seperti gelandangan di senja hari ini. Meskipun ia memiliki uang, tetap saja ia tidak memiliki tujuan yang tepat.

     Seperti yang Hendra bilang, kalau ia akan memberikan uang untuk Akasa. Itu benar-benar diberikan. Ketika Akasa baru saja berada di depan komplek, tiba-tiab Hendra mendatanginya dan memberi kartu kredit berisikan sejumlah uang yang bisa Akasa pakai untuk hidupnya. Hendra tidak enak hati harus melepas Akasa. Tapi apa boleh buat.

     Akasa duduk di trotoar. Hari sudah semakin gelap. Laki-laki itu masih saja berada di jalanan. Netranya tidak sengaja menangkap seorang gadis tidak jauh dari tempat ia berada. Sepertinya gadis itu dalam keadaan tidak baik. Mukanya menampakkan kekesalan. Entah untuk siapa mimik wajah itu ia lontarkan.

     Pandangan mereka tidak sengaja bertemu. Akasa membuang muka. Ia sangat malu ketahuan tengah memerhatikan gadis itu. Jangan sampai ia dicap sebagai laki-laki tidak baik. Gadis itu berjalan mendekat. Akasa hanya bisa berdoa, semoga saja ia tidak dituduh sebagai penguntit.

     “Hei kamu.”

     “I-iya,” jawab Akasa tergagap.

     “Sedang apa? Tidak pulang?” tanya gadis itu.

     “Tidak. Aku tidak punya tujuan,” jawab Akasa seadanya.

     “Jangan bilang kamu kabur dari rumah?” selidik gadis itu.

    “Tidak sama sekali.”

     “Lalu?”

     “A-aku diusir,” jawab Akasa keceplosan. Tidak seharusnya ia mengatakan hal itu kepada orang asing. Apa pedulinya gadis depannya ini ketika mengetahui ia telah diusir? “Ti-tidak. Aku tidak diusir.”

     “Mau ikut aku? Jauh sih. Dari pada kamu harus jadi gelandangan di sini,” tawar gadis itu. “Jangan takut. Aku bukan orang jahat yang akan menyakitimu. Aku tau apa yang kamu rasakan sekarang.”

     Gadis itu tersenyum. Manis, sungguh manis! Gadis itu tidak kalah cantik dari Deepa. Namun sayang seribu sayang, Akasa tetap tidak bisa melihat wajah itu dengan jelas.

     “Ayok tunggu apa lagi. GO-Car nya sudah datang.” Tangan kanan gadis itu menarik lengan kiri Akasa.

     “Namaku Hara. Kamu?”

     “Akasa.”

🕶 🕶 🕶



    “Mama kenapa mengusir anak itu? bagaimana nantinya jika klien Dimas—ayah Akasa—mencari anak itu? apa yang harus Papa lakukan?” ujar Hendra prustasi

     “Papa tinggal bilang kalau anak itu sendiri yang menginginkan keluar dari rumah ini, simple bukan? Dia bukan tipe anak yang berani melaporkan kita,” jawab Rissa santai.

     “Kalau terjadi sesuatu mama yang harus tanggung jawab!” Hendra menghilang secepat kilat dari pandangan Rissa. Wanita itu hanya menatap sinis kepergian suaminya.

     Hendra lekas mencari tempat aman untuk menelpon Akasa. Setidaknya ia harus masih berbuat baik, meski istrinya sudah tega mengusir anak tidak bersalah itu.

JennaHan,18 september 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JennaHan,
18 september 2020

Ableps-ia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang