11. Ablepsia: Perasaan Bersalah

132 40 8
                                    

Matahari terbenam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari terbenam. Bintang-bintang berkerlap-kerlip. Malam itu Akasa masih berkutat di dapur. Jam makan malam sudah terlewati. Namun pria berkulit sawo matang itu masih setia pada perutnya yang keroncongan. Bukannya Akasa tidak mau makan, titah Rissa kemarin malam membuatnya benar-benar tidak bisa mengosumsi apapun selain air putih.

"Makan yuk!" ajak Bi Ijah.

"Tidak usah Bi," tolak Akasa.

"Ini masih ada sisa makanan."

"Tidak Bi. Nanti Bibi yang kena marah sama Tante Rissa."

Bi Ijah hanya bisa menatap Akasa prihatin. Bagaimana bisa orang seperti Akasa mendapatkan perlakuan seperti ini? Bi Ijah kembali melanjutkan pekerjaannya merapikan sisa-sisa makanan. Bi Ijah sendiri sudah makan di dapur sesaat semua makan sudah tersusun rapi di meja makan. Singkatnya, Bi Ijah makan di waktu yang sama dengan tuannya, hanya saja di tempat yang berbeda.

Akasa dengan telaten mencuci piring. Cacing di perutnya terus bernyanyi. Akasa sudah tidak menjejal makanan sejak pagi. Kepalanya sedikit pusing karena perutnya yang kosong. Siapa sangka, tangannya tergelincir akibatnya licinnya sabun.

Praaakkkkk!!

Piring itu pecah. Bukan hanya satu buah piring, melaikan tiga buah. Kasa menatap nanar puing-puing kaca itu. dalam hitungan detik, Rissa sudah menghujaninya dengan omelan.

"Kerja tidak becus! Apa gunanya kamu di sini, ha?!"

"Sudah buta, numpang lagi!"

Ketakutan kian merasuki. Tidak ada gunanya Kasa menangis. Bahkan air mata itu tidak berarti bagi Rissa. Retakan kaca itu berserakan, bahkan si pemilih puing-puing itu hanya bisa memendam rasa sakit.

"Cepat bersihkan! Jika aku kembali, dan retakan kaca ini masih ada, kamu tidak boleh makan selama satu minggu!" Wanita itu berlenggang pergi, meninggalkan Akasa bersama retakan kaca yang tersebar di seluruh lantai dapur.

Berulang kali Kasa mengerjapkan matanya. Pandanganya semakin kabur, netra kirinya begitu merah, sebentar lagi hujan yang diundang terpaksa akan turun membasahi pipi tirusnya. Kasa meraung dalam diamnya, ia hanya membiarkan tetesan itu jatuh satu-persatu, menyatu dengan kilatan puing kaca.

Apakah orang cacat sepertiku ditakdirkan hidup seperti ini? batin Kasa menggemakan kalimat itu berulang kali.

Tidak ada pilihan lain bagi Akasa, selain harus menuruti semua perkataan Rissa. Perlahan tangan kanan lelaki itu mengambil pecahan kaca. Hanya berandalkan mata kirinya yang masih bisa menerima pantulan cahaya.

Sesekali Kasa menjerit. Padangannya yang kabur, membuatnya kesusahan membersihkan serakan kaca itu. Darah segar menetes di ujung jari telunjuknya. Lekas Kasa memasukkan jari itu ke mulutnya. Mengisap darah yang ke luar dan memuntahkanya di wastafel.

Kasa begitu tergesa melangkahkan kakinya, hingga ia lupa jika retakan kaca masih ada yang tertinggal di atas lantai. Ia pun kembali meringis, kedua kakinya menginjak retakan kaca itu. Kini ia hanya bisa menghembuskan napas kasar. Perlahan ia mencabut retakan kaca yang menempel di telapak kakinya. Beruntung, retakan kaca itu tidak tertusuk terlalu dalam.

Ableps-ia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang