15. Ablepsia: Perjalanan ke Desa

99 34 1
                                    

      Malam itu begitu sunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      Malam itu begitu sunyi. Hara membawa Akasa ke rumahnya. Sebuah desa yang tentram dan penuh akan pepohonan. Sawah-sawah sudah mulai menguning, tanda padi itu akan segera matang dan siap dipanen. Tidak banyak penerangan jalan yang tersedia, hanya beberapa di ruas-ruas jalan. Waktu yang mereka tempuh hampir 1 jam lamanya.

     Tidak banyak perbincangan yang terjadi ketika mereka di perjalanan. Hara merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya ia membawa laki-laki asing pulang ke rumah. Apa yang harus ia sampaikan ke orang tua dan kakaknya nanti. Jangan sampai Hara malah ditendang dan tidak dibolehkan lagi masuk ke rumah. Gadis itu tenggelam dalam pikirannya.

     Apa aku bersimpati padanya karena kami sama-sama punya kekurangan? batinnya.

     Hara meilirik ke arah Akasa. Laki-laki pemilik rahang tajam itu hanya menunduk. Suasana sangat canggung saat itu. Hara juga tidak bisa memulai percakapan terlebih dahulu. Ia masih menyalahkan dirinya sendiri. Hara juga tidak mengerti kenapa ia malah mengajak Akasa untuk ikut dengannya.

      “Sebenarnya kamu mau ke mana?” tanya Hara dengan susah payah.

     “Tidak ada,” jawab Akasa.

     Sungguh singkat sekali jawaban yang keluar dari bibir Akasa. Hara kembali mengajak Akasa berbicara agar sopir taksi tidak mengira adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. “Lalu kenapa kamu keluar rumah dan seperti orang yang tidak aja tujuan?”

     “Ceritanya sangat panjang.”

     “Boleh ceritakan padaku? Aku bisa menjadi tempatmu untuk bercerita,” tawar Hara.

     Akasa menoleh pada Hara sekilas. “Tidak perlu. Aku sudah biasa.”

     Hara mengedipkan matanya beberapa kali. Otaknya kembali berpikir. Apa lagi yang harus ia tanyakan pada laki-laki di sampingnya ini. semua pertanyaan yang hara ajukan hanya mendapatkan jawaban yang sangat singkat. Sungguh! Memulai pembicaraan itu sangatlah sulit.

     Hara kembali mengorek isi kepalanya. Siapa tahu masih ada kalimat atau kata yang tertinggal untuk diajukan pada Akasa.

     “Tenang saja, aku bukan orang jahat,” ucap Hara. “Kamu tidak perlu takut.”

     “Aku tahu. Jika kamu orang jahat, untuk apa kamu membawaku.”

     Hara menaikkan alisnya. Ia tidak paham maksud perkataan Akasa. Percayalah! Wajah Hara seperti orang bodoh sekarang. “Ma-maksudmu?” tanya Hara.

     “Aku memiliki kekurangan. Aku tidak sempurna. Jika pun ada yang ingin menculikku, apa yang bisa aku lakukan untuk mereka? Aku hanya akan menjadi sumber masalah baru. Mana mungkin seorang penjahat ingin mengajakku ke rumahnya,” tutur Akasa.

     Hara mengangguk-angguk sebagai jawaban. Seutas senyum terlukis di wajahnya. Lesung pipi itu menampakkan hadirnya. “Aku mengerti perasaanmu. Kau dan aku sama. Kita sama-sama memiliki kekurangan.”

     Akasa lantas menoleh. Apa yang dimaksud Hara kalau mereka sama-sama memiliki kekurangan? Laki-laki itu menatap Hara intens. Gadis itu mulai risih.

     “Kenapa?” tanya Hara. “Tatapanmu seperti orang aneh.”

     “Kau sempurna. Apa yang kurang?” tanya Akasa yang masih menatap Hara.

     Gadis itu melayangkan tangannya pada bahu Akasa. “Tatap aku lagi seperti itu atau mata kiri itu akan aku colok!” tegasnya.

     Akasa lekas menunduk. Perkataan Hara benar-benar menakutkan. Dari pada kehilangan sumber penglihatan satu-satunya, Akasa lebih baik menuruti perkataan gadis itu. Yang bikin Akasa bingun adalah Hara sama sekali tidak memiliki kekurangan. wajahnya cantik bersih, matanya bellow, bulu matanya lentik, lantas apa yang kurang?

     “Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi aku kehilangan tangan kiriku saat kecil,” ucap Hara. “Saat kecil aku pernah kecelakaan dan tangan kiriku harus diamputasi karena remuk. Waktu itu aku sama teman-temanku yang lain bermain jauh dari rumah. Aku memang sangat bandel dan tidak menuruti kata-kata orang tuaku untuk tidak bermain jauh."

     "Ya, aku melaggarnya. Saat itu aku bermain di pinggir jalan besar. Banyak motor yang berlalu-lalang. Aku lari ke sana ke mari, dan tanpa aku sadari aku menyeberang jalan tanpa memperhatikan jalanan. Saat itulah aku tertabrak motor. Telapak tangan kiriku terlindas.”

     Akasa mendengarkan itu dengan penuh perhatian.

      “Kau tahu?” tanya Hara disela ceritanya. “Kadang aku menyesal kenapa tidak menuruti perintah orang tua. Tapi aku tidak punya kekuatan untuk memutar waktu kembali.”

     Perjalan pulang—ke rumah Hara—itu terasa hangat. Akasa juga menceritakan semua masa kelamnya pada Hara. Keduanya bisa dekat hanya dengan bertukar cerita. Tidak terasa mobil itu berhenti tepat di depan rumah Hara. Rumah yang sangat sederhana. Bukan bangunan rumah beton, tapi hanya rumah kayu. Di depan rumah itu terdapat dua pohon mangga. Satu penerangan yang ada di teras rumah.

     Hara turun terlebih dahulu, disusul Akasa. Kini ia memberanikan dirinya untuk bebricara pada orang tuanya. Akasa menangkap raut wajah gelisah Hara.

     “Tenang. Aku yang akan bicara dengan Ibumu nanti jika beliau marah.” Akasa berusaha menenangkan Hara.

     “Ta-tapi aku bingung bicara apa.”

     “Kamu tahu di sekitar sini ada rumah sewaan atau apa pun itu yang bisa aku sewa untuk ditinggali?” tanya Akasa.

     Sekeping cahaya muncul. Hara tersenyum. Ia mendapatkan alasa yang tepat pada kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Tapi tetap saja, malam-malam pulang dan membawa laki-laki asing pasti akan mendapatkan ocehan.

     Hara ingin mengetuk pintu rumah. Tapi pintu itu lebih dulu dibuka dari dalam. Jantung Hara berdebar kencang. Wajahnya pucat. Ia bersiap-siap untuk mendapatkan omelan dari orang tuanya.

     Ceklek... Krettt...

     Pintu itu terbuka. Orang tua Hara dan kakak laki-lakinya tepat berada di depan pintu. Hara akan disidang sekarang juga! Gadis itu tersenyum canggung.

     “Siapa dia?” tanya Mam Hara dingin.

     “A-Akasa,” jawab Hara gugup. Tanpa sadar ia juga meremas bajunya.

     “Hara! Kamu itu anak gadis. Pulang malem. Dan sekarang membawa laki-laki asing? Apa yang sudah kamu lakukan dengan laki-laki itu?” ucap Mama Hara.

     Hara kehabisan kata-kata sekarang. Ia bingung menjawab apa. Ia takut jika kedua orang tuanya tidak percaya ucapannya.

     “Maaf tante jika saya lancang,” ucap Akasa. Sebenarnya ia juga diselimuti rasa takut yang sangat besar. “Saya dan Hara tidak ada apa-apa. Kami baru saja bertemu di jalan. Karena aku tidak ada punya tempat tujuan, jadi aku memutuskan untuk ikut Hara,” ujar Akasa sambil sedikit diberi bumbu. Karena kenyataanya, Hara lah yang menariknya tiba-tiba untuk ikut ke desa.

     “Benar Ma. ‘Kan kita punya rumah untuk disewa, jadi aku mengajak Akasa. Kasian juga dia harus berada di pinggir jalan dan hari semakin gelap,” ucap Hara untuk meyakinkan keluarganya.

     “Lebih baik kita masuk dulu. Tidak enak dilihat tetangga.” Ayah Hara memersilakan masuk. “Ayo Akasa!”

      Di sanalah mereka sekarang. Di ruang tamu yang minimalis. Tidak terlalu besar. Sederhana namun nyaman. Akasa menjelaskan semuanya. Kenapa ia bisa diusir dari rumah dan pada akhirnya sampai di desa ini.

     “Usiamu berapa?” tanya Randy, kakak laki-laki Hara.

     “18 tahun.”

     “Aku seusia denganmu. Hara lebih muda dua tahun darimu,” ucap Randy dengan gaya bersahabat. “Semoga kita bisa menjadi teman.”

JennaHan,21 September 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JennaHan,
21 September 2020

Ableps-ia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang