14 tahun yang lalu...
Kebisingan menggema di lorong rumah mewah bak istana. Anak laki-laki berumur 4 tahun tengah berlari girang. Antusiasnya tak bisa dibendung. Lengkungan di kedua sudut bibirnya sangat jelas terukir. Kakinya tak henti melangkah ke sana ke mari.
“Dek, jangan lari-lari mulu. Nanti jatuh,” tegur seorang wanita paruh baya.
Akasa tetap berlari. Ia sama sekali tidak menghiraukan teguran mamanya itu. “Kasa, ayok diem. Kalo enggak diem, kamu bakal tinggal di rumah, jagain rumah,” tegur mamanya lagi.
Teguran kali ini rupanya sangat ampuh menarik atensi Akasa. Bocah kecil itu akhirnya duduk manis di sofa sembari menunggu keberangkatan. Senyuman selalu terlukis di bibir mungilnya. Netranya memancarkan rasa suka cita.
“Ma, Kak, ayo pelgi! Papah udah nunggwu di lual,” ujar Akasa sambil menunjuk Ayahnya yang tersenyum manis di samping mobil jazz hitam. “Ayoooo....”
Akasa melongos pergi. Kakinya tak pernah lelah untuk terus berlari. Mama dan kakaknya hanya menggeleng melihat tingkah Akasa.
“Kasa janji, ya, tidak boleh bandel pas sudah sampai di sana.” Akasa mengangguk dengan ceria.
Bocah kecil berusia 4 tahun yang hanya tahu kata bermain, Akasa sangat-sangat menggemaskan. Namun, hal yang sangat tidak mengenakan terjadi. Di usia 4 tahunnya, Akasa harus menerima kenyataan pahit. Kejadiaan yang benar-benar mengubah seluruh takdir hidupnya.
Bocah kecil itu menangis dalam jeritan sangat keras, saat bolpoin yang sedang ia pegang menusuk mata kanannya. Akasa sudah memperlihatkan ketertarikkannya dengan tulisan, kertas, dan bolpoin sejak kecil. Ia hanya akan diam ketika disuguhi kertas dan bolpoin.
Di tikungan jalan yang tajam, mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah truk bermuatan besar datang dari arah yang berlawanan. Ayah Akasa memutar kemudi dengan cepat. Na’as, kejadian itu tidak bisa didihindari, dan jatuh ke jurang. Mobil jazz hitam itu terguling beberapa kali. Pecahan kaca jendela menusuk dan menggores tubuh maupun wajah. Pada saat kejadian, Akasa dipeluk erat oleh Ibunya. Sehingga matanya tertusuk bolpoin, akibat guncangan hebat itu.
Suara tabrakan menghantam sangat keras. Kejadian yang terjadi dalam hitungan detik, melenyapkan 3 nyawa. Hanya Akasa yang selamat. Bocah kecil itu menjerit sangat keras.🕶 🕶 🕶
5 hari setelah kejadian ....
Wanita yang sudah memasuki kepala 3, duduk santai di sofa ruang tengah. Atensinya menuju pada benda persegi 4. Televisi itu menampilkan acara variety show yang mengundang gelak tawa. Tak heran, jika suara wanita itu menggelegar di seluruh ruangan. Siapapun yang mendengar, harus menutup kuping, jika tidak ingin gendang telinganya rusak.
Rissa melupakan ponselnya yang berulang kali bergetar. Ada 3 panggilan tidak terjawab. Sepertinya, sang penelpon masih memiliki kesabaran untuk melakukan panggilan. Hingga televisi itu menayangkan iklan, Rissa baru melirik ke meja yang ada di depannya.
“Iya, Pa, ada apa?”
Hembusan napas terdengar dari seberang sana. “Kamu ngapain aja? Aku udah nelpon berulang kali,” keluh Hendra. “Nonton tv lagi?”
Rissa hanya cekikikan. Tidak ada hal yang bisa jadikan sebagai alibi. Ia hanya berdehem mengiyakan perkataan suaminya itu. Hendra hapal betul apa yang dilakukan istrinya di saat senggang seperti ini.
“Gini Mah,” ucap Hendra terpotong. “Hemm?”
“Anu, aa....”
Rissa memeberikan ekspresi bingung. "Ada apa, Pa? Kenapa jadi gagu gitu.”
“Jadi gini, Papa mau ngadopsi Akasa,” ucap Hendra perlahan. “Mama gak perlu repot, semua berkas sudah Papa urus dan sudah dikirim ke Dinas Sosial.”
“Bicara di rumah saja.”
Sambungan telepon itu putus sepihak. Hendra melenguh. Sudah ia duga, Rissa akan bersikap seperti ini. Pria itu bergegas menuju parkiran mobil kantor. Perlu waktu 1 jam, Hendra sampai di rumah dan langsung disambut Rissa yang sudah menunggu di depan pintu.
Belum sempat Hendra menjelaskan apa-apa, Rissa sudah menghujaninya dengan pertanyaan. “Untuk apa ngadospsi dia? Apa tidak ada orang lain yang ingin mengadopsi? Apa alasan Papa mau ngadopsi Akasa ja—“
“Mah, bisa diem bentar?”
Dirasa sudah lebih baik, kini Hendra mengajak Rissa biacara baik di ruang keluarga. Pria menatap manik Rissa lembut. Semoga saja tidak banyak keluhan yang keluar dari bibir cerewet Rissa.
“Jadi gini, Akasa sekarang sudah sendiri. Ayah, Ibu dan kakaknya meninggal karena kecelakaan. Dia masih berumur 4 tahun, dan—“
“Dan Papa mau ngadopsi anak cacat itu?” cerocos Rissa.
Hendra mengelus punggung tangan Rissa. Mencoba mencari titik lemah wanita itu. “Keluarga Akasa sudah sangat berjasa bagi kita, Ma. Jadi ini satu-satunya cara kita membalas jasa keluarga mereka,” jelas Hendra pelan.
“Mama ingat? Jika tidak ada Ayahnya Akasa, bisa saja sekarang kita sudah menjadi gelandangan. Atau bisa saja kita sudah meninggal, tanpa bisa menyekolahkan Rhava dan Deepa di luar negeri.”
Ya. Keluarga Akasa sanat berjasa buat Hendra dan Rissa. Pasalnya, beberapa tahun yang lalu, saat Rhava masih berusia 9 tahun, rumah yang mereka tinggali habis ludes di makan si jago merah. Tidak ada sepuingpun yang bisa diselematkan dari kobaran api. Namun, dengan suka rela kedua orang tua Akasa memberikan pinjaman uang membangun rumah. Hendra yang dulu bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan makanan ringan, tiba-tiba mengalami kebangkrutan. Perlahan tapi pasti, keluarga Hendra kembali membangun perekonomian dari awal.
Akasa terlahir di keluarga yang serba berkecukupan. Orang tuanya adalah seorang direktur di perusahaan kosmetik. Produk yang mereka produksi berhasil menyapu bersih penjualan di dalam negeri, maupun luar negeri. Dari tawaran itu, Hendra belajar banyak dari ayah Akasa. bagaimana cara mengelola perusahaan dengan baik, sehingga Hendra di beri modal untuk membangun perusahaan sendiri yang bergelut di bidang fashion. Meskipun ini adalah anak perusahan orang tua Akasa.
Hal itulah yang membuat hubungan keduanya sangat baik. Namun jauh dilubuk hati terdalam, Rissa tidak suka harus membesarkan seorang anak cacat.
“Mama mau ‘kan kalau keluarga kita di pandang positif di masyarakat dan kantor?” ujar Hendra berusaha meluluhkan hati Rissa. “Kalau kita membesarkan Akasa, otomatis perhatian orang-orang akan tertuju pada kita. Oh iya, sekarang perusuhaan utama, Papa yang megang. Karena ahli waris—Akasa—masih kecil, secara tidak langsung perusahaan ini Papa yang ngurus. Karena Papa sudah lama kenal dan dekat dengan orang tua Akasa, sekaligus kita yang akan membesarkan dia.”
“Akasa tidak tinggal di rumah kita, melainkan di rumah Bi Inah. Tapi segala keprluan Akasa, kita yang akan membiayai,” sambung Hendra.
Ya, bi Inah. Seorang cleaning services yang bekerja di kantor milik orang tua Akasa. Bi Inah memang sangat dekat dengan Akasa. Tak urung, keduanya saling bercanda ketika Akasa mengunjungi kantor Ayahnya. Bi Inah seorang janda tanpa anak. Suaminya meninggal ketika umur pernikahan mereka baru menjalan tahun kedua. Di tahun kedua itu pula, bi Inah belum dikasih momongan dari Sang Pencipta.
Sejak saat itu, bi Inah memutuskan tidak ingin menikah lagi. Trauma dan kenangan-kenangan bersama sang suami, selalu membekas dalam ingatannya. Meski begitu, di umurnya yang sudah menginjak kepala 4, ia sering dikunjungi sanak saudara ketika berkunjung ke Kota Seribu Sungai ini.
Mendengar penjelasan dari Hendra, Rissa mengangguk setuju. Pria jangkung itu merasa lega ketika Rissa setuju. Pria itu tidak mengharapkan hal lebih. Hatinya murni ingin mengadopsi Akasa menjadi anaknya. Toh, orang tua Akasa sudah sangat berjasa dalam karir hidupnya.🕶 🕶 🕶
Dua belas tahun kemudian sat Akasa menginjak uisa 16 tahun, Bi Inah meningal dunia. Sejak saat itulah Akasa tinggal bersama Hendra dan Rhava. Sejak saat itu pula Akasa sering diperlakukan tidak adil. Kedatangan Akasa berjarak 2 tahun sebelum kepulangan Deepa dan Rhava.
Rhava yang sudah pernah pulang ke Banjarmasin—meski sesekali—mmengetahui perihal Akasa. Sedangkan Deepa? Dia tidak pernah diizinkan pulang. Kenapa? Ketahui saja, Rissa tidak ingin jika Deepa memiliki kedekatan dengan Akasa. Terlebih keduanya seumuran. Sangat mudah bukan? Untuk saling berbagi dan bertukar cerita dengan teman sebaya.JennaHan,
25 Agustus
KAMU SEDANG MEMBACA
Ableps-ia ✔
RomancePerlahan cahaya itu memudar, hal indah mulai lenyap. Tidak ada yang bisa dibawa untuk rasa bahagia. Bagai seutas tali, Akasa hanya bisa ber-cycle di sana. Terjebak dan sangat sulit merangkak keluar. Secercah cahaya mulai bersinar. Deepa, seoran...