Subuh itu terasa berbeda bagi Akasa. Tempat yang berbeda dari biasanya. Rumah kecil minimalis, bersih, nyaman, dan layak disebut sebagai tempat tinggal. Akasa, laki-laki itu memulai rutinitas paginya. Di mulai dari beres-beres rumah, menyapu dan mengelap tempat yang sedikit bedebu, memasak omelet telur, mandi dan tidak lupa ia bersujud kepada Tuhan. Berkeluh kesah dan bermanja-manja pada Sang Maha Pencipta.
Jam 7 pagi ia sudah beres dengan morning routine-nya. Akasa duduk di depan teras. Ia ingin menyapa Hara dan keluarganya untuk mengucapkan terima kasih. Tapi ia mengurungkan niat ketika melihat keluarga itu tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ayah Hara membersihkan halaman yang penuh dengan daun-daun kering. Randy sedang mencuci motor kesayangannya.Ibu hara bisa jadi sedang berkutat dengan kompor dan pisau. Hara? Sudah pasti gadis cantik itu sedang bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Bagaimanapun juga Hara masih berusia 16 tahun yang masih menempuh jenjang menengah atas.
Akasa melihat sekeliling. Sungguh sangat indah dan sangat berbeda dari tempat yang sering ia lihat. Cukup dengan sisa penglihatannya, Akasa memanfaatkan semua anugerah dari Sang Pencipta. Burung-burung menari indah di atas ranting pohon. Sesekali mereka bermain kejar-kejaran. Angin sejuk pagi menyapu bersih dan aroma khas yang sangat nyaman. Tidak jarang juga Akasa melihat interaksi antar warga yang sangat akrab.
“Hara, umpat Amang kah?” tawar seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun yang sedang mengobrol dengan ayahnya Hara. (Hara, mau ikut sama Paman?)
“Kada usah Mang ai. Ulun besapida haja,” tolak Hara dengan senyuman manisnya. (Tidak perlu, Paman. Aku pakai sepeda aja)
Setelah selesai memakai sepatu pada kaki mungilnya, Hara langsung menuju sepedanya. Tak lupa juga ia berpamitan dengan ayah dan kakaknya. Seperti pembalap, gadis itu mengayuh sepedanya dengan cepat. Meskipun tangan kirinya sudah tidak ada, tapi ia masih bisa mengandalkan tangan kanannya. Seutas senyum menghiasi wajah Akasa. Hal yang sangat jarang ia temukan ketika berada di kota.
Sudah 2 jam Akasa berada di teras. Kini ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Bersiap untuk menyiapkan makan siang. Bahan makanan Akasa dapatkan dari keluarga Hara. Saat tadi malam Akasa di menempati rumah itu, ia langsung dibekali beberapa makanan pokok, beras, telur, dan mie instan. Nantinya akan dibayar langsung dengan sewa rumah minimalis itu.
Di saat semua perkejaannya selesai. Akasa memutuskan untuk kembali merangkai kata di ponsel pintarnya. Itulah yang Akasa lakukan ketika ia bosan. Ia merasa bebas sekarang karena tidak melakukan pekerjaan rumah yang berat. Tapi ia juga merasa hampa. Karena beberapa tahun terakhir ia sudah terbiasa dengan semua pekerjaan yang ia terima. Tidak lama laki-laki itu tertidur di atas kasur kecilnya.
Tokk tokk..
Suara ketukan pintu terdengar. Perlahan suara itu masuk ke dalam gendang telinga Akasa. matanya terbuka perlahan. Laki-laki itu berbegas bangun sembari mengumpulkan nyawanya. Akasa melangkahkan kakinya perlahan.
Krettt...
Wajah manis Hara adalah hal pertama yang terpantul pada netra Akasa. Meski tidak jelas, Akasa pastikan jika gadis di depannya ini sama manis dan cantiknya dengan Deepa. Di sisi lain, Hara terkejut ketika melihat muka bantalnya Akasa.
“Ahh. Aku membangunkan Kakak? Maaf aku tidak bermaksud,” ujar gadis itu.
“Tidak apa. Lagi pula sekarang sudah sore,” balas Akasa. “Ada perlu apa, hmm?”
“Hmmm, ini dikasih sama Mama.” Hara memberikan semangkok sup untuk Akasa.
Akasa mematung di tempat. Ia sangat terharu dan bersyukur ketika bertemu dengan Hara dan keluarganya. Akasa tidak menyangka jika ia akan diperlukan dengan baik. Bahkan memberikannya makanan? Hal yang sangat jarang ia terima ketika tinggal di rumah Rissa yang super mewah.
Hara bingung. Kenapa Aksa tidak bereaksi sama sekali. “Kakak tidak suka sup ayam?” tanya Hara.
“Ah, ti-tidak. Aku sangat menyukainya,” ucap Akasa tergagap. Ia menerima semangkok sup ayam itu dengan perasaan hangat.
“Eh iya Kak, bentar.” Hara melongos pergi ketika semangkok sup ayam itu sudah berada di tangan Akasa.
Tidak lama gadis itu kembali datang. “Ini Kak. Aku tidak bisa membawa semuanya. Jadi aku bawa satu-satu,” ujar gadis itu dengan tawa polosnya sembari menyodorkan sekantong buah mangga matang. Deretan gigi putihnya terpampang jelas. Tak lupa lesung pipi itu juga terlukis indah.
Akasa membalas itu dengan senyumannya. Hatinya sangat hangat sekarang. Kepolosan Hara sangat membuatnya nyaman.🕶 🕶 🕶
Gadis berkuncir kuda itu tengah duduk di depan meja belajarnya. Goresan demi goresan menghiasi lembar kertas putih polos. Sketsa bangungan itu hampir terbentuk sempurna. Deepa sangat fokus pada gambarannya. Sesekali mulutnya berkomat-kamit untuk menghitung. Siapa tahu dibalik wajah seriusnya, hati gadis itu tetap tertuju pada Akasa.
Sudah 1 minggu Deepa berada di London. Semester baru memang belum dimulai. Tapi gadis cerdas itu sudah lebih dulu mempelajari pelajaran yang akan ia tempuh selama di sana. University Colleg London (ULC) adalah tempat Deepa menempuh pendidikan untuk 4 tahun kedepan.
Hembusan napas kasar berulang kali terdengar. Deepa tidak tahu apakah ia bisa bertahan selama 4 tahun? Jujur saja, ini adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Terlebih perempuan lebih sering mengunakan hati dari pada logika. Jika Deepa terus-terus mengikuti perasaanya, maka ia akan mengecewakan kedua orang tua dan kakaknya. Tapi jika ia memilih logika, maka ia akan bisa bertahan dan memberika yang terbaik untuk keluarganya.
Satu-satunya hal yang harus Deepa pilih adalah logika. Ia berusaha keras untuk mengesampingkan semua kata hati. Gadis itu memaantapkan hatinya.
“Harus fokus! Empat tahun bukan waktu yang lama, okey? Aku pasti bisa. Agar nanti saat pulang bisa memberikan senyuman untuk Ayah, Mama, A Rhava, dan tentunya Akasa,” monolog Deepa.
Deepa sama sekali tidak mengetahui perihal Akasa yang diusir dari rumah. Pikirnya saat ia nanti pulang dan membawa gelar sarjana, ia bisa membagikan kebahagiaan itu pada Akasa. Namun kenyataan tak seindah khayalan.
Aku pasti bisa, semangat!!
Tidak ada cara dan hal lain selain menyemangati diri sendiri. Hanya itu yang bisa Deepa lakukan sekarang. Membuang jauh semua perasaan, dan memakai logika untuk bertahan. Terkesan menyakitkan memang. Tapi apa lagi yang bisa Deepa lakukan? Kembali memakai perasaan dan membiarkan semuanya menjadi hancur berantakan?!
Cukup saja, Deepa tidak sebodoh itu untuk membiarkan semuanya menjadi sia-sia.
JennaHan,
21 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Ableps-ia ✔
RomancePerlahan cahaya itu memudar, hal indah mulai lenyap. Tidak ada yang bisa dibawa untuk rasa bahagia. Bagai seutas tali, Akasa hanya bisa ber-cycle di sana. Terjebak dan sangat sulit merangkak keluar. Secercah cahaya mulai bersinar. Deepa, seoran...