12. Ablepsia: Hukuman

127 40 2
                                    

     Deepa melangkahkan kakiknya perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Deepa melangkahkan kakiknya perlahan. Ada perasaan aneh yang berkecamuk dalam hatinya. Ia senang setelah bertemu Akasa, tapi ia juga merasa tidak nyaman setelah mengetahui tentang kekayaan orang tuanya. Gadis itu berjalan perlahan. Pandangannya lurus ke bawah. Apa yang bisa ia lakukan di saat seperti ini? Mengatakan pada orang tuanya kalau ini adalah kesalahan besar? Sayangnya Deepa tidak memiliki keberanian seperti itu. ia emrutuki dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Akasa.

     Gadis itu masih berada di halaman belakang. Langkah kakinya begitu kecil dan perlahan. Tanpa gadis itu sadari bahwa Rissa melihatnya sejak ia keluar dari tempat tinggal Akasa. Wanita paruh baya itu sedang berada di dapur setelah panggilan teleponnya usai. Netranya tidak sengaja menangkap anak gadisnya dari jendela kaca.

    “Habis ngapain Deep?” tanya Rissa polos.

    Deepa sangat gugup. Mulutnya bungkam. “A-anu.”

    “Hmm? Kenapa gagu gitu? Deepa habis ngelakukan hal yang salah?”

    “Ti-tidak Ma.”

     “Lalu kenapa berekspersi seperti itu?” Ketahuilah, mimik Rissa sekarang sangat menakutkan.

     Deepa menunduk. “Habis dari tempat Akasa Ma,” jujurnya.

     “Untuk apa?”

     Lagi dan lagi, lidah Deepa menjadi kelu. Sangat sulit untuk bicara yang seujujurnya. Karena ia tahu dari awal apa yang ia lakukan pasti salah di mata Mamanya. Tapi jika Deepa tidak memberikan Akasa makanan, anak itu bisa mati kelaparan. Sudah cukup Akasa mendapatkan perlakuan yang sangat tidak layak untuk orang seperti dia. Apa Mamanya benar-benar ingin membunuh anak yatim piatu penyandang tunanetra?

     “Deepa habis ngasih snack untuk Akasa.” Baiklah! Deepa harus bersiap-siap sekarang. Ia sudah memancing amarah singa betina.
“Ikut Mama ke ruang tengah sekarang juga!!” titah Rissa.

     Di sinilah Deepa sekarang, bersama Mama dan Kakaknya. Ayahnya Deepa masih dinas keluar kota. Gadis itu menunduk. Ia tidak berani menatap Rissa dan Rhava. Ia tahu sekarang bahwa keduanya pasti memasang wajah yang sangat menakutkan.

     “Kamu maunya apa sih, Deep?” Rissa membuka pembicaraan. Nada bicaranya terdengar biasa saja.

    “Ma-maksudnya Ma?”

     Rissa duduk tidak jauh dari posisi Deepa. “Kamu maunya apa ngasih anak buta itu makanan?”

     "Ngasih anak buta makanan?" Mamanya sungguh tidak berhati manusia. Deepa mengulang kalimat itu berkali-kali dalam benaknya. Apakah salah memberi orang lain makanan?

     “Salah ya, Ma?”

     “Iya, salah besar,” timpal Rhava.

     “Letak kesalahan Deepa di mana?” tanyanya.

     “Ya, salah. Kamu udah berbuat baik sama anak yang hidupnya tidak jelas mau ke arah mana. Sudah buta, numpang tinggal lagi!” Rissa menjawab dengan persepsinya.

     “Numpang tinggal? Bukankah kita yang sebenarnya numpang tinggal?” Amarah Deepa memuncak. Ia tidak mengerti kenapa Mama dan Kakaknya bersikap sampai sejauh ini.

     “Apa maksud kamu?” Rissa bertanya.

     “Deepa tahu, kekayaan yang kita nikmati sekarang adalah hartanya Akasa. Ada hak Akasa dalam rumah ini!”

     Rhava bangun dan berdiri di sebelah Deepa. “Kamu tuh masih kecil. Jangan banyak omong. Lebih baik diam dari pada tidak mengetahui hal sebenarnya.”

     “Tidak tahu apa A?” Intonasi Deepa sudah mulai meninggi. “Tidak tahu kalau kalian sebenarnya tergila-gila dengan harta? Deepa tidak habis pikir kenapa kalian bisa sekejam itu dengan orang yang lemah.”

     “DIAM!! Kamu tidak tahu apa-apa Deep. Papa berhak atas harta ini. Ia yang sudah menjalankan bisnis ini sejak kedua orang tua Akasa meninggal. Jika Papa tidak melanjutkan perusahaan milik orang tua Akasa, perusahaan itu akan bangkrut,” oceh Rhava.

    “Dan iya, kita juga akan menjadi miskin,” timpal Deepa. “Seharusnya Mama sama A Rhava tidak menyiksa Akasa seperti itu. Ada hak Akasa di rumah ini. kenapa Mama sama A Rhava bilang kalau dia cuma numpang tinggal?”

     Rhava sangat ingin melayangkan tinjunya sekarang. Andai saja yang di depannya ini bukanlah perempuan, bisa saja tonjokkan maut itu akan mendarat. Tidak peduli mereka sedarah atau bukan.

     “Sejak kenal Akasa kamu sudah berani melawan, hmm?” tanya Rissa penuh emosi.

    “Bu-bukan—“

    “Ini yang namanya bukan?” Rissa melotot tajam. Suaranya terdengar di seluruh rumah besar bertingkat itu. “Baiklah! Kamu akan Mama kirim ke luar negeri.”

     Deepa kaget. Mulutnya terbuka. Apa yang dengar baru itu nyata ‘kan? “Deepa tidak mau, Ma. Deepa mau ngelanjutin kuliah di sini saja. Deepa sudah capek hidup di negara orang,” tuturnya.

     “Mama juga udah capek liat kamu yang setiap hari semakin berani gara-gara anak buta itu.” Rissa memijit pelipisnya. “Pokoknya tidak ada perlawanan lagi untuk kali ini!! Mama sudah mencari universitas yang bagus di London.”

     “Ta-tapi Ma—“

     “Kalau tidak mau, Mama akan menyiksa Akasa lebih. Bisa saja Mama akan mengusir dia dari sini, biar anak buta itu hidup di jalan tanpa uang dan makanan!”

     Deepa mendengus kesal. Tidak ada kata lagi yang bisa terucap dari bibirnya. Terpaksa ia menuruti kehendak Mamanya. Jika ia melawan, maka taruhannya adalah Akasa. Gadis itu akhirnya mengangguk terpaksa.

     “Bagus,” ucap Rissa bahagia. “Mama capek. Mau tidur.” Rissa meninggalkan Deepa yang masih terdiam di sana. Rissa menampakkan evil smile. Ia sangat senang ketika Deepa anak kesayangannya bisa kuliah di luar negeri, seperti wishlist-nya.

     “Makanya, jangan melawan orang tua,” ejek Rhava.

     “Diam!” Deepa melempar bantal sofa pada laki-laki yang di panggil A Rhava itu.

🕶 🕶 🕶



     Deepa merenungi setiap percakapan di ruang tengah. Apa yang Mama dan Kakaknya pikirkan? Gadis itu mencoret-coret kertas polos di depannya. Sebuah sketsa wajah terpampang jelas. Bukan kali pertama gadis itu mengagambar wajah Akasa. Namun gambaran kali ini ia gores sepenuh hati. Kertas polos itu kini menampakkan dua sketsa wajah. Siapa lagi jika bukan wajah Deepa dan Akasa. hasil goresan pensil itu nanti akan ia berikan untuk Akasa.

     Tanpa sadar buliran air menetes di pipi mulusnya. Gadis itu tidak bisa membendung rasa sakitnya. Ia harus melepaskan Akasa ketika hatinya sudah mulai terisi oleh laki-laki itu. Bersama Akasa membuatnya bahagia. Sosok laki-laki yang menginspirasi dan bukan seorang yang dominan.

     “Akasa, aku tidak tau apakah aku benar-benar jatuh cinta. Namun bersamamu aku merasa sangat nyaman. Ketika laki-laki lain menyombongkan wajah dan hartanya untuk memikat perempuan, kamu hanya berandalkan hati yang bersih dan pikiran yang bijak. Aku bahagia telah mengenal sosok laki-laki sepertimu,” gumam Deepa saat ia memperhatikan gambaran yang sudah selesai ia buat.

     Semoga perginya aku adalah pilihan yang tepat, batinnya. Gadis itu memejam kedua matanya. Ia memohon kepada Tuhan agar semua berjalan baik-baik saja.

     Tuhan, tolong jaga sosok laki-laki luar biasa yang baru saja aku kenal. Ia terlalu baik untuk setiap siksaan dan hinaan dari orang-orang luar. Aku tahu yang namanya hidup tidak akan berjalan mulus. Tapi aku yakin, orang sebaik Akasa mendapatkan perhatian terbaik dariMu.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


JennaHan,
17 September 2020

Ableps-ia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang