Jihoon menghabiskan waktu nya cukup lama dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Ia fikir keesokan harinya akan di perbolehkan pulang oleh dokter, ataupun izin suaminya pada pihak rumah sakit. Namun nyatanya ia justru sudah menghabiskan tiga hari lamanya di rumah sakit.
Daniel yang ia kira tentunya akan sibuk dan meninggalkannya sendiri di sana, kenyataannya sebaliknya. Suaminya menjadi suami siaga, yang selalu ada bersamanya. Daniel memilih cuti untuk beberapa hari terakhir, tanpa terlebih dahulu menanyakan padanya.
Sepertinya Daniel benar benar merasa bersalah, sehingga demi menebus kesalahannya ia melakukan yang terbaik untuk istrinya itu, ia mengenyampingkan pekerjaannya.
Bahkan jika pihak kantor Daniel benar benar membutuhkan pemuda itu, maka dengan santai nya ia menyuruh sang sekretaris lah yang datang ke rumah sakit.
Daniel hanya pernah absen beberap jam saja untuk mengambil keperluan, dan beberapa hal kecil lainnya yang tak terlalu banyak waktu meninggalkan Jihoon.
"Hyung, apa kau tak bosan, atau merasa terganggu menemaniku disini?" tanya Jihoon pada Daniel.
Seulas senyum Daniel berikan pada Jihoon.
"Hanya orang bodoh yang mengatakan bahwa menemani istri sakit adalah hal yang membosankan, bagiku berada di sisimu adalah kewajiban, dan aku justru merasa senang karena waktu ku habis denganmu," ujar Daniel tegas dan penuh kasih sayang.
Senyuman di bibir Jihoon semakin terlihat jelas di wajah manisnya.
Ia senang suaminya memang benar benar dapat di andalkan, hanya saja di satu sisi ia masih merasakan kesedihan, dan juga ada rasa khawatir yang ia rasakan.
Jihoon merasa dirinya seolah tak bisa berdiri sendiri seperti dulu, terlebih saat Woojin yang demi menggantikannya dan jatuh sakit ia belum dapat menemuinya.
"Hyung, boleh kah aku menjenguk Woojin? Aku khawatir padanya, dia sahabatku, dan aku menganggap nya seperti saudaraku sendiri," ujar Jihoon pada Daniel pada akhirnya setelah mempertimbang kan matang matang.
Sejujurnya Daniel tahu jika istrinya akan menanyakan hal ini, sebab sudah beberapa hari ini pula Jihoon seolah enggan menanyakan pada nya, padahal ia tahu persis salah satu penyebab dirinya ambruk pun karena memikirkan sahabat nya itu.
Sejenak sorot manik Daniel menatap lekat ke arah Jihoon seolah menimbang apakah Jihoon sudah benar benar dalam keadaan baik atau justru sebaliknya.
Tak lama ia menganggukan kepalanya pelan, walaupun sejujurnya ia ragu akan tindakannya tersebut, sebab hasil pemeriksaan terakhir Jihoon mengenai kandungannya jatuh pada hari ini, untuk melihat apakah kedua janin kembar nya baik baik saja atau salah satu dari mereka ada yang tidak berkembang akibat pendarahan sebelumnya.
"Tapi kau harus berjanji padaku, agar kau tak terlalu memikirkan hal yang berat, dan terbuka padaku, sebab jujur saja kau saat ini masih belum boleh memikirkan hal berat Love, bayi kita membutuhkan dirimu yang sehat," ujar Daniel pada Jihoon sambil mengusap pipi dan kening Jihoon.
Pemuda manis itu sangat terharu dengan suaminya yang berlapang dada, dan mengerti perasaannya.
"Aku akan mencoba menelfonnya, jika sudah ada kabar aku akan memberi tahumu," ujar Daniel.
Bagaimana pun ia harus tetap berjaga jaga bukan? Toh menurutnya Woojin dapat ia percaya, apalagi istrinya sangat mempercayai pemuda bergingsul itu.
Jihoon hanya menganggukan kepalanya. Ia tak dapat menolaknya!
Setelah nya Daniel benar benar menghubungi handphone Woojin berharap pemuda itu kini jauh lebih baik dari sebelumnya, sehingga dapat mengangkat telefon darinya.