"Apa yang terjadi padamu? Apa kau baik baik saja?" tanya Woojin pada akhirnya, setelah hanya ada dirinya dan juga Jihoon.
Sejenak Jihoon tak menjawab, melainkan hanya menatap Woojin lekat.
Memperhatikan dengan baik arah pandang Woojin padanya.
"A..-aku baik baik saja Woojin-ah ... aku yang seharusnya bertanya padamu, apa kau sudah lebih baik? Maafkan aku," lirih Jihoon, yang diakhiri menundukkan kepalanya seakan merasa bersalah pada Woojin yang berada di hadapannya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, aku lah yang bertanya lebih dulu, dan aku merasa jawaban yang kau berikan padaku itu tak tepat," ujar Woojin tegas.
Jihoon menegukkan salivanya kasar. Jujur saja ia bingung, apa yang harus ia katakan pada Woojin, atau lebih tepatnya darimana ia harus mengawali pembicaraan dengan Woojin.
Pemuda manis itu telah terbiasa terbuka menceritakan yang terjadi padanya pada sosok Woojin yang berada di hadapannya.
"Kau boleh menceritakan padanya darimana saja Jihoon-ah," ujar Woojin yang dapat membaca jalan pikiran Jihoon.
"Arraseo, aku tahu apa yang ku sembunyikan kau akan mengetahui nya," lirih Jihoon pada akhirnya.
Woojin tampak menganggukan kepalanya pelan.
Jihoon mengambil nafasnya dalam dalam dan menceritakan apa yang terjadi malam itu saat dirinya datang menjenguknya, sekaligus menceritakan mengenai keadaan yang terjadi padanya hingga ia berada di rumah sakit.
"Sial! Lalu kemana mereka? Berani sekali mereka mencelakakan mu di saat kau sendiri," ujar Woojin kesal.
"Sudah lah kau tenang saja, waktu itu aku berhasil menghajar mereka semua Woojin-ah,"
"Tapi ... bayimu? Untung saja hyung datang," ujar Woojin.
"Kau ... benar, aku hampir kehilangan mereka, saat aku bangun besok nya masih dengan jelas di ingatan ku bekas darah tercetak jelas di baju hyung," ujar Jihoon sembari menghela nafas nya pelan.
Mendengar hal itu, Woojin langsung menggenggam tangan Jihoon.
"Kau harus menjaga bayimu dengan baik, mereka keponakan ku juga Jihoon-ah, kau lihat suamimu ... dia pemuda baik," ujar Woojin sekedar menasihati.
"Tapi ... bagaimana dengan kalian? Aku seperti orang pengecut, terlebih di hadapan Guanlin dan Jinyoung," lirih Jihoon mulai terdengat sendu.
Pemuda dengan khas gingsul nya itu dapat mengerti mengenai alasan pemuda manis di hadapannya itu mengapa ia seolah belum menerima sepenuhnya akan keadaannya, hanya saja situasi saat ini bukanlah situasi yang sama seperti sebelumnya.
Jihoon telah berubah!
Tak lama, cairan bening yang sebelumnya sempat tertahan kini mulai membasahi pipinya yang mulus.
"Hei, jangan menangis seperti itu, tak baik untuk anakmu, kau sebentar lagi akan menjadi orang tua Jihoon-ah,"
Lagi lagi Woojin berusaha menasihati Jihoon.
"Tapi aku seperti pecundang Woojin-ah, seharusnya kau tak celaka. seperti sekarang, itu semua salahku, aku lah yang membawa kalian kesana, dan sekarang aku juga lah yang seolah menarik diriku sendiri, bahkan hyung tak tahu masa laluku ini ... bagaimana aku akan mengatakan padanya? Apakah nantinya ia akan meninggalkanku jika ia tahu aku bukan lah pemuda yang seperti dia harapkan? Aku dulu sering berkelahi, pasti dia tak akan menyangka akan hal itu," lirih Jihoon panjang lebar mengungkapkan hal yang selama ini terpendam pada dirinya sendiri.
Woojin sedikit menyunggingkan senyumannya pada Jihoon, dan menatap sahabatnya itu lekat.
"Kau harus jujur padanya, dan juga pada dirimu sendiri, jika kau tak melakukan itu, maka dampaknya akan buruk untuk bayimu, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya Jihoon-ah."
Untuk beberapa menit Jihoon terdiam. Ia berusaha mencerna setiap perkataan Woojin.
Perkataan sahabatnya itu tak salah, malah bisa di bilang benar. Semua yang Woojin katakan memang dapat terjadi seperti itu.
"Anak -anakku yang malang," ujar Jihoon sembari mengusap perutnya pelan.
"Woojin-ah ... apa menurutmu aku sudah cocok memiliki anak? Mereka ada dua ... apa aku sanggup menjaganya? Hyung selalu bilang jika aku tak sanggup menjaganya, maka hyung yang akan merawatmya, apa aku terkesan egois?" tanya Jihoon panjang lebar meminta pendapat sahabatnya.
Woojin tak langsung menjawab, melainkan ia hanya menatap sahabat nya itu, dan mengambil tangan Jihoon untuk ia bawa pada dada Jihoon sendiri.
"Ikut kata hatimu, dan pikirkan baik baik," ujar Woojin bijak.
Tak ada jawaban dari Jihoon, melainkan ia terdiam dan berusaha mempelajari apa yang di maksud dari apa yang di katakan oleh Woojin.
"Kau benar ... tapi aku takut mengecewakannya," ujar Jihoon sedih.
"Percayakan padaku, hyung akan mengerti, jika ia tak mengerti dan memahami mu, aku akan berada di sampingmu, kau tak usah takut akan apapun,"
"Gomawo Woojin-ah."
Woojin hanya dapat menganggukan kepalanya mengiyakan perkataan Jihoon.
Ceklek
"Hyu..-hyung?" lirih Jihoon saat mendapati suami nya ternyata yang masuk ke ruang rawat inap Woojin.
"Sudah cukup kah aku memberikan waktu untuk kalian?" tanya Daniel lembut sembari tersenyum pada Jihoon, dan Woojin.
Woojin dengan cepat menganggukan kepalanya, sedangkan Jihoon tampak menggigitkan bibirnya, ia masih gugup untuk melakukan hal yang telah ia janjikan pada Woojin.
"Baguslah!" lirih Daniel senang, sekaligus lega, karena dirinya datang pada waktu yang tepat.
Perlahan langkah kaki Daniel mendekat ke arah Jihoon.
"Sudah lebih tenang setelah menjenguk sahabatmu?" tanya Daniel pada Jihoon.
Jihoon menganggukan kepalanya cepat. Pemuda manis itu tampak lucu menurut Daniel.
"Kalau begitu, kita kembali ke kamar mu, kau juga masih butuh isirahat yang cukup, akan ada test terakhir hari ini apakah kau sudah boleh pulang atau belum," ujar Daniel tegas, tetapi lembut pada Jihoon.
Manik Jihoon menatap Daniel lekat, dan tak lama menganggukan kepalanya.
Ia tak dapat menyanggah ataupun menolak Daniel. Ia harus berterimakasih pada Daniel sebab suaminya itu masih memperbolehkannya menemui Woojin terlebih dahulu.
"Bye Woojin-ah ... jaga kesehatanmu, aku akan mampir ke tempat mu nanti jika aku sudah boleh pulang," ujar Jihoon.
Woojin secara refleks terkekeh mendengarkan penuturan Jihoon.
"Jaga juga kesehatanmu dan bayimu, aku tak ingin keponakanku sakit karena ulah ibunya yang tak menjaga tubuhnya sendiri,"
"Yak!! mengapa kau lebih perhatian dengan anakku di banding kan aku?" tanya Jihoon pada Woojin.
"No Comment," delik Woojin.
"Hyung~"
"Dasar curang!" ujar Woojin.
Daniel hanya dapat memutarkan maniknya malas melihat tingkah keduanya yang bisa di bilang layaknya saudara bukan sekedar sahabat.
........
TBC
See you next chapter
Leave a comment, vote, and gift
.
.Seya