Hembusan angin yang lumayan kencang menghantam tubuhku yang sedang berdiri dengan tersenyum menatap langit yang terlihat begitu cerah.
Rambut ku menari-nari menyambut datangnya angin yang begitu lembut.
Entahlah berada di atas roof top gedung kampus terasa sangat damai. Tak ada suara teriakan, makian, bahkan pertengkaran yang selalu menjadi makanan setiap hari ku.
Aku merasa lelah dengan adegan-adegan itu. Ingin rasanya seperti keluarga lain yang terlihat baik-baik saja. Namun apakah bisa? Entah, aku juga tidak tau jawabannya.
Pernah aku berpikir untuk berusaha menerima keadaan. Bagaimanapun itu adalah keluargaku, jadi mungkin sudah begini jalannya.
Sayangnya tidak semudah itu. Aku merasa semua itu tidak terasa benar. Mengapa mereka berdua selalu melakukan itu setiap hari? Apakah tidak lelah? Bahkan aku yang melihat pun sangat lelah dengan semuanya. Apa mereka tidak memikirkan dampaknya padaku?
Psikisku terganggu, aku sering insomnia karena memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak penting itu. Kepalaku terasa sakit setiap malamnya, hingga membuatku harus mengkonsumsi obat tidur untuk bisa memejamkan mata.
Itulah mengapa terkadang aku berpikir jika mengakhiri semuanya mungkin bisa membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan sangat membebani dan berdampak pada diriku.
Aku takut dengan suara keras, aku takut berkumpul dengan banyak orang, aku takut melakukan kesalahan, aku takut dimarahi, aku takut hatiku sakit. Aku tidak mau.
Sudah cukup. Aku ingin menjaga hatiku. Jika tidak aku sendiri maka siapa lagi yang akan menjaganya?
Jadi aku tidak salah bukan jika lebih menghindari keramaian dan memilih menyendiri?
Ruang gerakku dibatasi, aku tak bisa melakukan apapun sesukaku dengan bebas, banyak larangan yang diberikan hingga aku tidak tau kemana harus melepaskan beban ini. Tapi nyatanya mereka juga melakukan apa yang mereka larang padaku.
Lalu apa gunanya mereka melarangku jika mereka pun tidak memberikan contoh yang baik padaku?
Kadang-kadang orang dewasa suka berperilaku seenaknya. They say don't but they did it. What a bullshit...
Aku bersedekap tersenyum melihat burung-burung yang terbang menembus awan putih.
Alangkah bahagianya menjadi burung. Sepertinya jika tidak menjadi manusia aku akan memilih untuk menjadi burung.
Aku mendengus lucu. Pemikiran macam apa barusan yang terlintas di otak ku.
Burung dapat mengepakkan sayapnya dengan bebas. Terbang tinggi menembus kumpulan awan dan pergi kemanapun yang mereka mau. Dan yang paling penting adalah burung tidak akan lupa jalan mereka pulang.
Sayangnya tidak semua orang mengerti perumpamaan dari burung itu. Hingga memilih untuk memerangkap anak-anak mereka didalam sangkar dengan dalih agar tidak salah pergaulan.
Tapi maaf, bukankah jika orang tua memberikan pemahaman yang benar maka salah pergaulan itu tidak akan ada?Anak-anak bisa memilah berdasarkan pengetahuan yang telah diterimanya. Itu adalah pemikiranku.
Aku menutup mataku, membayangkan jika apakah suatu saat semuanya akan baik-baik saja? Saling berbagi kehangatan dan menyangi. Entahlah, hanya Tuhan yang tau.
Aku tersenyum remeh. Bukankah itu adalah jawaban bagi seseorang yang pasrah akan hidupnya. Ya memang itu.
Aku memasrahkan hidupku pada takdir yang Tuhan berikan. Aku tak memiliki kuasa untuk bisa merubahnya, jadi tidak ada cara lain selain dengan menerimanya
KAMU SEDANG MEMBACA
1. LOVELY (COMPLETED)
Literatura FemininaDua manusia yang mencoba untuk saling menyembuhkan satu sama lain Start : 20 Oktober 2020 End : 21 November 2020 Hope you can enjoy this story 🍒 Photo source from google