2. It's Tiring

1.4K 214 3
                                    

Ketakutan ini seolah ingin membunuhku secara perlahan. Entah apa yang kutakutkan, mungkin pada semua yang telah terjadi dalam hidupku.

Aku hanya ingin hidup tanpa memikirkan semuanya. Apakah bisa? Karena sejatinya manusia memang harus berpikir.

Aku dan Vano telah mencapai tempat tujuan. Itu adalah sebuah club yang tidak begitu ramai karena matahari belum tenggelam, sehingga para pecinta dunia malam masih enggan untuk menampakkan eksistensinya.

Aku melangkahkan kaki dari tempat parkir dengan sedikit terburu karena mengikuti Vano. Hanya saja baru berada didepan pintu masuk, Vano dihadiahi sebuah pukulan keras yang menghantam rahang kanannya dari seorang lelaki besar dengan wajah yang menyeramkan.

Aku berteriak kaget melihat Vano yang jatuh tersungkur di lantai. Ku hampiri Vano dan membantunya untuk berdiri. Telihat darah mengalir dari bibirnya yang terkoyak.

"Kau bisa menungguku di kursi itu?" Vano seakan memberikanku penawaran untuk tidak mengetahui urusannya dengan lelaki besar itu.

"Tapi-- bagaimana dengan--"

"Aku sungguh tak apa, akan ku selesaikan dengan cepat dan menghampirimu setelahnya"

Sebuah tempat di luar club menjadi pilihat Vano untuk membuatku menunggunya. Kata cepat menurut Vano sepertinya berbeda dengan pemikiranku karena jam tanganku menjukkan pukul 7 malam. Itu menandakan jika aku telah menunggunya selama 2 jam.

Beruntung tadi seorang pegawai club yang mengaku sebagai teman Vano mengantarkan segelas jus lemon untuk menghilangkan dahagaku. Sebelumnya aku sempat menolak, hanya saja pegawai laki-laki itu mengatakan jika minuman itu dari Vano. Jadi dengan berterimakasih aku meberima gelas itu.

'Mungkin Vano merasa bersalah membuatku menunggu...' begitu pikirku ketika mememinum jus lemon itu.

Sekitar 20 menit kemudian Vano datang dengan wajah lelahnya. Ia duduk didepanku dan meminta maaf.

"Maaf membuatmu menunggu, aku tidak mengira jika akan selama ini"

"Tidak apa, terimakasih untuk jus lemon nya"

Vano nampak menganggukkan kepala beberapa kali.

"Kita pulang sekarang?"

"Ya... Ini sudah sangat telat untukku"

"Hmmmm... Sebelumnya apa boleh aku meminta nomor ponselmu?" Vano bertanya sambil menyodorkan ponselnya kehadapanku.

.
.
.

Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya kami berdua sampai didepan rumahku. Sebelumnya aku minta maaf karena tidak mengajak Vano untuk mampir. Karena takut membuatnya melihat hal yang tak pantas.

Kakiku melangkah memasuki pelataran, cahaya rumah tampak redup, mungkin ibu sudah mematikannya.

Aku menarik napas lega, semoga mereka sudah beristirahat dan aku tak perlu mengubah mood ku yang baru saja membaik.

Baru saja hendak memegang kenop pintu, seseorang membukanya dari dalam. Sungguh jantungku hampir saja terlepas dari tempatnya.

Wajah ibuku sudah merah padam, aku takut hingga menundukkan kepala.

Didalam hati aku berdoa semoga ibu tidak marah kali ini. Namun sepertinya Tuhan tidak mau menerima doa yang aku kirim.

Dengan keras ibu menarik rambutku hingga dapat ku rasakan beberapa helai rambutku terlepas dari akarnya.

Bibirku beberapa kali mengucapkan minta maaf sambil memegang pergelangan tangan ibuku, berharap ia mau melepaskannya.

"Bu... Sakit... Jane minta maaf bu.." beberapa bulir air mata mulai turun membasahi kedua pipiku.

1. LOVELY (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang