6. Menangislah Padaku

847 123 2
                                    

Aku tidak menunggu begitu lama saat Vano tiba didepan halte tempatku berada. Ia turun dari motornya setelah memarkirkan disamping jalan.

Hal lain yang membuatku merasakan kebaikan lelaki itu adalah saat Vano menyampirkan jaket ketubuhku. Ia menyuruhku memakainya karena hawa malam yang sangat dingin.

Kami berdua berada diatas motornya yang sudah beberapa menit berjalan diatas aspal yang sepi. Tentu saja karena sudah hampir tengah malam dan hanya beberapa kendaraan besar saja yang melintas.

Tak begitu lama sampailah kami didepan sebuah rumah yang cukup besar besar walaupun tak sebesar milik orangtuaku.

"Masuklah Jane, pintunya tidak terkunci. Aku akan menyusul dengan membawakan barangmu"

Aku menuruti perintah Vano, sedangkan lelaki itu sedang memarkirkan motornya dibagasi rumah. Aku merasa sedikit aneh, disaat Vano memiliki tempat tinggal yang nyaman tapi mengapa pemuda itu harus repot-repot bekerja? Ataukah Vano belajar untuk hidup mandiri?

Aku memasuki rumah Vano lalu menunggunya dikursi ruang tamu. Tidak begitu lama Vano menyusul. "Terimakasih Van sudah membantuku dan memberiku tumpangan malam ini. Jika tidak ada kau, aku tidak tau akan bermalam dimana"

"Aku kan sudah pernah mengatakan jika membutuhkan sesuatu kau bisa mengatakannya padaku Jane"

Pandanganku menguar menyusuri seluruh ruangan. "Van dimana orangtuamu? Apakah tidak masalah jika aku menginap disini?"

"Aku tinggal sendiri Jane, kau bisa menginap selama yang kau inginkan. Aku tidak masalah"

Beberapa hal mengganjal dalam hatiku namun aku mengurungkan untuk bertanya pada Vano.

Mataku menatap Vano dengan sendu. "Terimakasih Van, maaf aku selalu merepotkanmu..." Terlalu banyak kebaikan yang diberikan lelaki itu padaku.

"Sudahlah Jane, lebih baik bersihkan tubuhmu sebelum beristirahat. Ayo kuantar"

Vano membawaku ke sebuah ruangan yang sepertinya kamar Vano. Kamar yang dipenuhi dengan aksen berwarna abu itu menggambarkan jika memang digunakan oleh lelaki itu.

"Hanya kamar mandi ini yang berfungsi" Kata Vano lalu memberikan koper milikku yang sedari tadi dibawanya. Dan aku perlu mengambil baju ganti karena pakaianku yang sekarang sudah sangat tidak nyaman dipakai.

"Selain itu karena kamar yang ada dirumah ini sudah lama tidak digunakan mungkin banyak debu, jadi ku rasa kau bisa menempati kamarku" Ujar Vano.

"Lalu bagaimana denganmu Van?"

"Kau tidak perlu khawatir Jane, aku bisa tidur di sofa depan"

Sayangnya aku tidak setuju dengan usulan yang diberikan Vano. Dia yang punya rumah mengapa harus tidur disofa. Harusnya aku karena aku yang menumpang. "Jangan Van, biar aku saja. Sofa itu tidak akan cukup untuk menampung tubuhmu" Benar saja, karena sofa yang ada diruang tamu itu lebih kecil dari tubuh Vano.

"Jangan mengada-ada Jane, bagaimana aku bisa membiarkan seorang wanita tidur disofa? Aku tidak akan mengijinkanmu melakukan itu"

"Dan aku juga tidak akan membiarkanmu Van" Cegahku.

Mereka berdua sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah untuk menerima pendapat salah satu dari keduanya.

Dengan pikiran Vano yang mencoba untuk memberikan jalan tengah, sebuah keputusan tercipta. "Sepertinya diantara kita tidak akan ada yang membiarkan untuk tidur disofa bukan, jadi ku rasa kita akan tidur diranjang kamarku"

Aku mengangguk walaupun sedikit canggung tapi keputusan Vano terdengar lebih baik daripada salah satu dari kami merasa tidak nyaman dengan tidur disofa. "Baiklah, aku setuju dengan saran itu Van..."

1. LOVELY (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang