Pembawa Pesan.

6.1K 279 28
                                    

   Malam yang gelap pekat berubah menjadi terang benderang, sebab api yang berkobar membakar tiap rumah penduduk desa.

   Yena, wanita yang di biarkan hidup itu, kini berjalan menyeret kaki untuk mencari penduduk desa yang mungkin ada yang selamat. Ia terus berjalan sambil menggendong bayinya yang kini telah hangus terbakar.

   Matanya yang nanar memperhatikan kekejian perampok yang sudah menghancurkan kedamaian desanya. Mayat-mayat tergelatak di mana-mana dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Mayat pria, baik yang masih anak-anak sampai tua, kepalanya terpenggal. Dan sebagian dari mereka tubuhnya di bakar.

   Sedangkan mayat wanita, mendapat perilaku yang jauh lebih buruk. Mayat-mayat wanita di biarkan tanpa busana sehelai pun. Yena begitu yakin, jika semua mayat-mayat itu sudah di perkosa sebelumnya. Dan lebih parahnya lagi, setiap mayat wanita, mati dengan alat vitalnya di tusuk dengan sebuah batang kayu bahkan ada yang juga di tusuk menggunakan pedang. Sehingga menyebabkan pendarahan hebat pada bagian tersebut. Bahkan ada beberapa wanita yang alat vitalnya di tusuk hingga tembus ke perut.

   “Biadab!” pekik Yena. Ia tak mampu membayangkan betapa sakitnya saat alat vital wanita di tusuk dengan kayu yang cukup besar.

   Yena terus berjalan, hingga sampai pada ujung desa, ia tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Semua penduduk desa benar-benar telah mati tak tersisa. Hanya dirinya seorang yang hidup.

   Bayi yang berada di gendongannya di lihatnya pilu. Air matanya yang sudah kering, kini merembas kembali saat melihat bayinya itu. Terbayang bagaimana lucu anaknya itu saat masih hidup. Bahkan sore hari sebelum perampok keji datang membawa petaka, ia masih bercanda gurau dengan bayinya dan suami tercintanya. Dan gambaran itu masih tergambar jelas dalam ingatannya.

   Namun kini, semua keindahan itu bagai mimpi. Ia tak bisa lagi melihat bayi kecilnya itu tertawa, menangis atau merengek meminta susu padanya. Para tetangga yang sudah dianggapnya saudara pun juga telah tiada. Suasana ramai dan damai desanya tak lagi ada. Yang tersisa kini cuma mayat-mayat dan api yang masih berkobar membakar puing-puing rumah dan daging manusia.

   “Lebih baik aku mati,” gumam Yena. Pandangannya menjadi kosong.

   Api besar yang membakar rumah di depannya di pandanginya dalam. Kini yang ada dalam benak Yena hanyalah kepedihan dan rasa putus asa yang teramat. Api yang berkobar hebat itu seolah memanggil namanya. Memintanya untuk mendekat dan menghapus semua rasa pedih dan rasa putus asanya dalam api tersebut.

   Antara takut dan putus asa, Yena berjalan menuju api tersebut, semakin ia mendekat ke arah api tersebut, semakin ia merasakan keheningan. Bau mayat juga tak tercium lagi oleh hidung mancungnya. Bahkan kulitnya seperti mati rasa, ia tak mampu merasakan hawa panas yang di keluarkan api di depannya. Ia hanya berjalan, dan memandang api besar itu sebagai obat yang mampu membakar semua penderitaannya.

  Yena terus berjalan sambil membawa bayinya. Ia berdo’a, agar saat ia berada di alam baka, ia bisa bertemu dengan bayi kecilnya serta suami tercintanya.

   “Tunggu ibu sayang, ibu akan menemanimu. Ibu akan menyusuimu sampai kau kenyang di sana,” gumam Yena dengan air mata yang terus mengalir.

   Namun, saat langkahnya kurang 2 langkah lagi dari api, sebuah tangan meraih bahunya. Yena terhenti lalu menoleh. Di dapatinya seorang laki-laki kecil yang tersenyum menatapnya. Entah anak siapa itu, Yena tak yakin pernah melihatnya ada di desa ini.

   “Siapa kau?” tanya Yena dengan suara lirih dan serak.

   “Perkenalan, namaku Mao,” anak laki-laki itu memperkenalkan diri.

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang