Kematian Prajurit Elang

1K 100 3
                                    

Tiga belas orang prajurit Elang sedang bersembunyi di antara dahan-dahan pohon rimbun sambil mengawasi sebuah desa yang kini tengah diserang oleh sekumpulan penjahat berbadan besar.

Suara jerit tangis menggambarkan betapa ketakutannya para penduduk desa atas penyerangan yang sedang terjadi di desa mereka.

Satu persatu warga desa dibunuh tanpa ampun. Anak kecil dan orang tua juga tak luput. Para penjahat itu membunuh tanpa pandang bulu.

“Kapten? Apa kita hanya bersembunyi saja tanpa melakukan apa-apa?” satu dari tiga belas prajurit itu kini mulai bersuara. Ia sudah merasa tak tahan dan geram melihat aksi para penjahat yang terlampau kejam itu.

“Kita tidak bisa melakuan apa-apa sekarang. Tugas kita saat ini hanya memantau apa yang mereka lakukan dan mencari tahu apa yang mereka cari. Lagi pula, jumlah kita tak sebanding dengan mereka yang mencapai ratusan orang. Kita bisa mati konyol jika menyerang mereka. Jangan gegabah,” terang kapten Elang pada bawahannya itu tanpa memalingkan wajah dari desa yang diserang.

Sebenarnya Karto, kapten dari prajurit Elang sendiri juga sudah merasa geram melihat satu persatu penduduk desa dibunuh secara keji. Ia ingin keluar dari tempat persembunyian dan membunuh pria besar yang membawa pedang besar, yang telah membunuh banyak korban dengan pedangnya itu.

Namun Karto tak bisa melakukan itu karena ia mendapat perintah langsung dari Haryapatih Adipura untuk memantau pergerakan penjahat yang sedang menyerang desa. Dan melaporkannya pada Haryapatih.

Jika dirinya sampai melanggar perintah itu, itu sama saja dengan menghinaan perintah Haryapatih Adipura.

Jarak desa dengan tempat para prajurit Elang bersembunyi cukup jauh. Jadi cukup aman untuk mereka memantau tanpa beresiko ketahuan. Terlebih tempat mereka bersembunyi begitu rimbun sehingga tak mudah bagi pendekar kelas atas sekali pun untuk mengetahui posisi mereka.

Hampir 30 menit menonton, akhirnya pembantaian itu pun berakhir. Seluruh penduduk desa kini telah mati tanpa tersisa satu pun yang hidup.

Para prajurit Elang belum berencana mundur hingga pembantaian usai. Mereka masih memerlukan informasi tambahan sebelum bisa melapor.

“Sekarang apa yang akan kalian lakukan?”

Karto bergumam sambil menajamkan penglihatan. Ia tak boleh kehilangan satu momen pun untuk mengetahui maksud dan tujuan sekumpulan penjahat itu membunuh semua warga. Serta ia juga ingin tahu, di ke mana kan jasad semua warga desa yang usai mereka bunuh.

Sekitar 100 lebih yang ikut dalam pembantaian, kini terlihat sedang membawa satu persatu jasad penduduk desa yang mereka bunuh. Mereka mengumpulkan semua jasad penduduk desa pada satu tempat. Entah apa tujuan mereka mengumpulkan semua jasad itu. Karto hanya terus memantau pergerakan mereka sambil menebak-nebak.

Usai semua jasad terkumpul. 120 orang bertubuh besar itu kini mulai memakan satu persatu jasad yang mereka kumpulkan. Pemandangan yang tabu sekaligus mengerikan itu berhasil membuat seluruh prajurit Elang yang mengamati langsung merasa mual dan merinding. Kebanyakan dari mereka langsung berwajah pucat dan mulai mengeluarkan keringat dingin.

“A-a-apa-apaan mereka?!” itulah yang keluar dari bibir 4 prajurit Elang dalam sekali waktu.

Hampir semua prajurit yang ada ikut terkejut. Bahkan ada yang mulai memuntahkan isi perutnya saat melihat para penjahat itu mulai memakan daging korbannya tanpa kesusahan.

“Hei! Jangan buat keributan!” seru Karto pada bawahannya yang tak bisa menahan diri itu.

“Maaf Kapten,” ucapnya lalu mengusap bibirnya yang gemetaran.

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang