Siluman Ular

4.2K 260 10
                                    

Gunung Selatan atau biasa di kenal sebagai gunung Pengabdian, merupakan tempat keramat yang banyak di bicarakan masyarakat Nusantara sebagai mitos.

Banyak orang yang kurang percaya akan keberadaan gunung keramat tersebut. Lokasi yang tak di ketahui,  membuat kebanyakan orang mengatakan jika gunung itu adalah gunung gaib yang berada di alam gaib. Tak pernah ada orang yang melihat gunung itu secara langsung, bahkan kerajaan-kerajaan di tanah Nusantara sendiri, tak mampu menjelaskan dengan pasti di mana letak gunung itu berada.

Namun beberapa ahli gaib mengatakan bahwa gunung itu terletak persis di tengah-tengah tanah Nusantara. Hanya saja gunung itu di selimuti hawa gaib yang menyebabkan orang biasa tak mampu melihat gunung itu.

Kecuali bagi orang yang di undang oleh penghuni gunung tersebut. Orang yang di undang, akan bisa melihat gunung itu dengan jelas, namun dengan sebuah syarat yang terkadang sulit untuk di lakukan.
Syarat dan kunci bagi orang yang ingin bisa menemukan gunung tersebut ialah tekad yang sangat kuat. Tanpa tekad dan keyakinan yang kuat, gunung itu tetap tak akan pernah bisa di temukan, meski pun orang itu di undang untuk datang.

Yena terus berjalan selama hampir 7 jam sejak meninggalkan tempat Sito. Ia tak berhenti sama sekali kecuali untuk minum dan mengkonsumsi obat pemulih dari Sito.

Ia terus berjalan karena ingin segera sampai di gunung Pengabdian agar bisa segera bertemu ratu iblis sebelum purnama tiba.

“Apa arah yang ku tempuh ini benar?” gumamnya cemas.

Yena mulai merasa lelah kembali. Meskipun telah mengkonsumsi obat pemulih, namun effeknya tak begitu terasa baginya. Dan terlebih luka yang di alaminya masih belum sembuh 100%.

Mau tak mau, Yena akhirnya memutuskan untuk istirahat, terlebih hari sudah mulai sore. Cahaya matahari mulai sudah menipis untuk menyinari hutan. Ancaman predator di malam hari tentu akan semakin besar.

Yena mengamati sekeliling, mencoba mencari tempat berlindung terbaik. Namun ia tak mampu menemukan tempat seperti itu. Lantas ia menengok ke atas pohon di depannya.

“Mungkin di atas pohon akan jauh lebih baik.”

Yena lantas mengambil sebuah pisau dari dalam kantung tasnya. Ia gunakan pisau itu untuk menyayat kulit pohon agar mudah baginya untuk memanjat.

Tenaga yang lemah serta luka pada perutnya membuat Yena sedikit merintih saat tangannya mengeluarkan tenaga untuk menyayat pohon itu. Ia merasa amat kesulitan dengan kondisinya saat ini, namun ia tak berhenti untuk menyerah, terlebih saat suara serigala tiba-tiba terdengar dari kejauhan.

Hampir satu jam ia menyayat kulit pohon sambil terus mengawasi sekitar, dan akhirnya ia mampu menyelesaikannya.

Yena mulai memanjat pohon tersebut. Ini pertama kali baginya memanjat pohon. Itulah sebabnya ia melakukan sayatan-sayatan pada pohon yang akan ia panjat, lantaran tak pandai memanjat.

“Paling tidak ini tempat yang aman untuk berlindung malam ini.”

Yena lantas memeriksa sejenak pohon yang ia jadikan tempat berlindungnya kini, sebagai bentuk kewaspadaan jikalau tiba-tiba ada ular berbisa yang sedang bersemayam di antara ranting dan dedaunan yang cukup lebar.

Sinar matahari semakin lama semakin menghilang, dan bulan kini mulai terlihat di ufuk timur. Satu persatu bintang-bintang juga mulai bermunculan. Dalam kesendiriannya di tengah gelap malam, Yena kembali teringat akan tawa anak bayinya yang telah tiada, serta suara gagah suaminya yang begitu ia cintai.

“Kemarin, kita bisa berkumpul bersama. Merasakan hangatnya keluarga yang amat ku impi-impikan.”

Air mata Yena tumpah, ia tak mampu membendung rasa sedih dan rindunya pada suami dan anaknya. Kenangan terakhir yang ia rasakan menjalar erat dan semakin membuatnya tersedu.

“Apa pun yang akan menimpaku, asal aku bisa membunuh bajingan-bajingan itu. Aku tak akan menyesalinya. Meskipun harus ku jual jiwaku pada iblis sekalipun,” rengek Yena sambil menyembunyikan wajahnya pada lipatan kakinya.

“Hahahaha lucu sekali,” tawa seorang wanita yang entah dari mana.

Yena terkejut dan menjadi waspada lalu melihat sekelilingnya. Namun karena gelap, ia tak mampu melihat sekeliling dengan jelas.

“Kau akan menjual jiwamu pada iblis? Apa yang membuatmu sampai melakukan hal bodoh seperti itu?” suara itu kembali terdengar.

“Siapa kau?! Keluarlah!” teriak Yena sambil bergetar menahan rasa takutnya.

“Aku,,, tidaklah penting,,, hahaha,,, bagaimana kalau ku tawarkan sesuatu yang menarik padamu? Aku akan membalaskan dendam mu itu, tapi sebagai gantinya aku akan memakanmu!”

Mata Yena membeliak selebar lebarnya, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Bibirnya membuka ingin berkata namun tertahan karena rasa takut yang luar biasa pada sesosok kepala ular yang kini menggelantung tepat di depan wajahnya. Ular itu memiliki mata yang merah menyala serta lidah panjang bercabang yang menjulur dan mulai menjilati wajah Yena.

“Ah,,, wajah ketakutan yang sangat aku rindu-rindukan. Sudah lama sekali aku tak melihat wajah seperti ini.”

Yena masih kaku tak mampu bergerak sedikitpun. Kepala ular itu melebihi ukuran tubuhnya. Dan taringnya juga terlihat panjang seperti pedang.

“Bagaimana? Apa kau menerima tawaranku? Jika iya, aku akan memakanmu sekarang. Setelah itu, aku akan membalaskan dendammu itu.”

Tanpa menanti jawaban dari Yena, ular itu sudah membuka mulutnya lebar-lebar. Aroma amis dan busuk dari mulut ular itu, serta lendir yang menetes semakin membuat Yena tenggelam dalam ketakutan. Namun saat ular itu hendak melahap Yena, tiba-tiba ular itu menjerit keras seperti orang kesakitan.

Yena yang sebelumnya hanya bisa mematung langsung sadar dan saat itu juga melompat dari atas pohon.

Tingginya pohon, membuat Yena terjatuh amat keras, yang mengakibatkan tangan kirinya patah.

Yena tersungkur tak mampu berdiri, tubuhnya terasa amat sakit dan nyeri. Tangan kirinya yang patah di peganginya erat untuk meredam rasa sakit yang teramat.

Di tengah rasa sakit yang mendera, Yena menyempatkan untuk melihat ke arah atas pohon. Matanya menyipit untuk bisa melihat lebih jelas. Meski samar-samar, Yena tetap bisa melihat bayang-bayang ular itu dalam kegelapan. Matanya kembali mendelik saat tahu ukuran ular itu yang amat besar. Panjang ular itu sekitar 16 meter dengan diameter badannya seukuran dua kali pohon kelapa.

“U-ular apa itu?” wajahnya menjadi pucat pasi

Yena berusaha bangkit tuk pergi menjauh sebelum ular itu mengejarnya.

Yena tak mengerti jika ular itu mendapat masalah, yang ia pikirkan saat ini adalah pergi sejauh mungkin. Langkah Yena terseret-seret dan beberapa kali ia terjatuh. Namun ia tetap bangkit untuk terus bergerak menjauh.

Bamun belum terlalu jauh Yena berlari menggeret kakinya, sebuah teriakan terdengar menggelegar. Bulu kuduk Yena berdiri saat mendengar teriakkan itu. Suasana malam seketika menjadi sangat sunyi. Tak ada suara jangkrik atau pun burung hantu yang biasa terdengar. Semua suara penghuni malam lenyap usai teriakan itu menggelegar.

Dan tiba-tiba dari atas sesuatu yang panjang dan besar jatuh tepat di hadapan Yena. Secara spontan Yena langsung menjerit dan menjatuhkan tubuhnya ke belakang.

Seiring cahaya rembulan bergeser perlahan, Yena mampu melihat dengan sejelas-jelasnya seekor ular yang ukurannya sangat besar dengan sisik hitam pekat.

Itu merupakan ular yang tadi hendak memangsanya. Namun kini ular itu sudah tak lagi bernyawa. Sebuah sayatan yang cukup besar menghujam kepala ular tersebut.

Tubuh Yena tak mampu bergerak sangking takutnya. Entah siapa yang telah membunuh ular sebesar itu. Dan dalam beberapa detik kemudian dirinya pun pingsan.

Legenda Belati Songgoh Nyowo (jilid 1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang