Chapter 40

31 2 0
                                    

Seharusnya lo tau apa yang dia rasain saat ini. Yang dia butuhin itu lo, bukan orang lain. Tapi dengan cara lo nyikapin dia kayak gini, posisi lo akan dengan mudah tergantikan sama orang lain. Dan lo udah ngelakuin hal itu.

"Kev.. Lo pernah gak, liat cowok sedingin es berubah jadi bucin seketika, gara-gara ditinggalin pacarnya pergi sama cowok lain ?" Bisik Azka, sembari ditangannya memegang botol minuman.

Kevin menoleh Azka, karena tidak paham maksud perkataannya.

Lalu Azka pun memberikan kode yang mengarahkan ke Arvin yang tengah uring-uringan di pinggir danau tidak jauh dari mereka.

"Nih ya, gue kasih tau.. Mau sedingin apapun perasaan lo terhadap orang lain, tapi ketika lo udah nemuin tambatan hati lo, lo gak bakal pernah bisa lagi tuk bekuin perasaan lo sendiri. Karna siang bakalan selalu hangat ketika udah bertemu sama mataharinya."

"Tapi kalo terlalu hangat kan, bahaya juga. Tuh contohnya.." Kevin mengarahkan ke Arvin. "Bucinnya aja sampe akut gitu. Bukannya terlalu berlebihan juga gak baik ya ?"

"Nah itu, dampaknya.. Lucu juga ya kalo diliat-liat. Yang dulunya cuek, cool, gak banyak omong karena terlalu irit sama suaranya, sekarang malah kayak benang kusut tuh muka."

"Temen lo kan."

"Haha.. Temen lo juga, kali."

Mereka berdua segera menyusul Arvin ke pinggir danau. Tidak tega juga lama-lama membiarkan temannya satu itu uring-uringan. Sebagai teman yang baik, mereka juga harus bisa menghibur sesama teman.

"Arrghhh.. !!!" Tidak ada hentinya Arvin melempar batu kerikil ke danau. Meluapkan perasaannya yang sedang bercampur aduk saat ini.

"Lo butuh truk pengangkut batu nggak ? Kali aja lo mau nimbun danau ini sampe kering."

Arvin tidak memperdulikan perkataan Azka. Ia terus-menerus mencari batu-batu kerikil untuk dilemparkannya ke danau.

"Vin, gue kasih tau ya.. Lo boleh galau. Tapi gak gini juga, kali." Azka berusaha menahan Arvin menghentikan kekesalannya. Temannya itu benar-benar terlihat kacau.

"Arrghh.. Apaan sih ! Minggir !"

"Azka bener, Vin."

"Arghh ! Kalo kalian berdua di sini cuma mau nasehatin gue, mending kalian pergi aja dari sini ! Gue gak butuh nasehat kalian berdua !"

"Vin.."

"Udah pergi sana !"

Karena tidak tahan lagi melihat sikapnya Arvin, Kevin pun menghalanginya dengan paksa. Tak perduli bagaimana Arvin memberontak.

"Vin, dengerin gue !"

"Apaan sih lo !"

"Mau sampe besok pun lo kayak gini, masalah lo gak akan selesai. Naiara juga gak perduli sama apa yang lo lakuin sekarang."

"Jadi menurut lo, gue harus gimana ? Mohon-mohon di depan dia, supaya dia gak ninggalin gue. Gitu ?"

"Vin, lo tuh kenal Naiara lebih dulu daripada gue. Jadi udah seharusnya lo tau apa yang dia rasain saat ini."

"Maksud lo ?"

"Yang dia butuhin itu lo, bukan orang lain. Tapi dengan cara lo nyikapin dia kayak gini, posisi lo akan dengan mudah tergantikan sama orang lain. Dan lo udah ngelakuin hal itu."

Azka hanya ikut mendengarkan. Ia tidak berani ikut campur kalau sudah menyaksikan dua bersaudara saling adu argumen. Karena Azka tahu betul sifat kedua temannya itu. Kevin tidak banyak bicara, tapi sekali dia bicara akan menimbulkan dampak. Bisa positif ataupun sebaliknya, tergantung bagaimana respon dari Arvin. Apakah bisa diterimanya atau tidak. Kalau tidak, maka akan terjadi perkelahian diantara keduanya. Dan korbannya yang sudah pasti si Azka. Semacam disuruh memilih, lebih berpihak kepada siapa. Sementara keduanya adalah temannya. Hal itu yang tidak diinginkannya terjadi kalau ada perdebatan diantara mereka berdua.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang