Semalam sampai pagi ini, So Young masih ingat saat Tae Ho mengirim pesan padanya untuk pergi ke air mancur, karena Tae Ho ingin bertemu. So Young yang sedang mencuci piring-piring kotor langsung bergegas merapikan pakaiannya dan langsung pergi ke air mancur. Ia menunggu di sana semalaman sambil mengecek pesan maupun menelepon Tae Ho, tapi tidak ada satupun pesan yang dibalas maupun teleponnya.
So Young sempat merasa dirinya dibodohi oleh Tae Ho. Ia sempat kesal karena Tae Ho mempermainkannya. Tapi, di lain sisi ia mencoba untuk berpikiran positif. Alhasil, setelah menunggu hampir tiga jam, So Young memutuskan untuk pulang saja.
Paginya, baru pertama kali ini So Young keluar dari apartemennya dengan senyum yang langsung memudar di wajahnya. Tadinya ia berencana untuk bertanya kenapa semalam Tae Ho tidak datang. Tapi, justru orang yang dimaksud tidak datang di depannya.
Sesampainya di kampus, So Young semakin khawatir. Ia mengirim pesan, tidak dibalas. Ia menelepon, tidak diangkat.
Hingga kemudian, So Young bertemu dengan Dongdong. "Apa Tae Ho sudah datang?" tanya So Young.
Dongdong justru menatap So Young dengan aneh. "Bukannya kalian selalu berangkat bersama?" Ia justru balas bertanya pada So Young.
"Masalahnya─"
"Maaf, So Young, aku harus masuk ke kelas, aku sudah terlambat." Tiba-tiba Dongdong menyela dan langsung berlari pergi.
Sementara So Young semakin khawatir karena ia juga belum melihat Tae Ho pagi ini. Tapi, harus So Young akui, inilah perasaan yang dibenci So Young. Kekhawatiran pada seseorang yang berlebihan. Itulah yang menjadi alasan juga kenapa ia lebih senang membatasi hubungannya dengan orang lain.
So Young memang sudah mengakui sendiri perasaannya pada Tae Ho. Ia hanya tidak tahu bagaimana bertanggung jawab untuk itu.
Tae Ho yang biasanya selalu menemaninya, dan sekarang tiba-tiba menghilang tanpa kabar, jelas membuat So Young semakin khawatir. Tapi, dibandingkan kekhawatiran itu, seketika sekarang So Young merasa kesepian. Iya, sepi dan sendirian tanpa Tae Ho di sekitarnya.
***
Hening. Setelah sekian lamanya ia hanya merasakan kebisingan dan keramaian, kini Tae Ho hanya merasakan keheningan di kamarnya. Sejak percakapannya dengan Young Ae semalam selesai, Tae Ho tidak bisa berpikir apapun dan hanya mengurung dirinya di kamar hingga siang ini.
Tae Ho tahu teleponnya berdering terus. Tapi, tubuhnya seolah-olah kaku dan tidak bisa meresponnya. Pikirannya pun kosong dan ia hanya bisa rebahan sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Jadi, begini rasanya kesepian." Hanya itu kalimat yang batinnya katakan pada dirinya sendiri.
Selama beberapa menit Tae Ho masih menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan dan pikiran yang kosong. Namun, kemudian ia bangun dan terduduk. Di saat seperti ini, ia justru teringat So Young.
***
Hari ini tidak ada rapat untuk So Young. Karena itu, dia memutuskan untuk langsung pulang dan beristirahat.
Saat ia sudah sampai di jalan kecil depan gedung fakultasnya, ia berhenti. Jujur, ia masih belum bisa berhenti memikirkan Tae Ho. Selama di kampus tadi pikirannya justru melayang bertanya-tanya tentang Tae Ho.
Sekarang dia sedang apa? Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia tidak membalas pesannya? Kenapa dia tidak mengangkat teleponnya? Kenapa semalam dan pagi ini dia tidak datang? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan selalu berputar di dalam otaknya.
Memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab itu membuat So Young menghela napasnya sedikit kasar. Ia justru jadi pusing sendiri dan merasa janggal. Namun, saat ia hendak kembali berjalan dan berusaha melupakan pertanyaan-pertanyaan itu, orang yang dikhawatirkan justru ada di depannya, sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
***
Dari awal bertemu Tae Ho, So Young memang sulit memahami Tae Ho itu orang seperti apa. Seperti hari ini. Tiba-tiba Tae Ho datang setelah semalaman tak ada kabar dan kemudian menemui So Young hanya untuk mengajaknya ke pemakaman yang ada di bukit.
Di depan sebuah makam, ada sebuah kursi panjang. So Young dan Tae Ho duduk berjejeran menghadap sebuah makam.
Sementara itu, dari tadi So Young hanya diam memperhatikan sekitarnya. Ada banyak makam dan So Young justru jadi teringat oleh ibunya yang sudah meninggal.
Tidak ada yang bersuara di antara mereka. Dan itu justru membuat So Young semakin penasaran. Ia hanya menatap Tae Ho beberapa kali, penasaran kenapa Tae Ho mengajaknya ke makam. Tidak mungkin Tae Ho mengajaknya kencan di pemakaman, kan?
Saat So Young hendak bertanya, Tae Ho sudah lebih dulu bersuara. "Disini tempat makam ibuku," ucapnya sambil menatap lurus ke makam di depannya. Tentu saja itu membuat So Young terkejut dan penasaran, lalu siapa ibu yang selalu Tae Ho bicarakan?
"Lalu, ibu kamu yang kemarin kamu antar ke rumah sakit itu... siapa?" tanya So Young pelan.
"Aku anak adopsi," jawab Tae Ho masih belum mau mengalihkan pandangannya dari makam ibunya. Sementara So Young sekali lagi dibuat terkejut karena pernyataan Tae Ho barusan. Selama ini ia tidak tahu kalau Tae Ho adalah anak adopsi.
"Saat aku kelas 4 SD, ibuku mengalami kecelakaan mobil," ujar Tae Ho. "Di mobil itu ada aku, ibuku, anak adopsi pertama ibu angkatku, dan teman-teman ibuku yang juga adalah teman-teman ibuku."
Tae Ho diam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.
"Saat itu kami sedang pergi bersama hendak makan bersama. Namun, saat mobil kami berhenti di lampu merah, ada sebuah truk yang datang dari arah samping dengan kencang dan..." Tae Ho menggantung kalimatnya, berusaha menguatkan hatinya sendiri saat menceritakan ingatan masa kecilnya yang sempat hilang. "Dan truk itu menghantam mobil kami."
So Young tahu itu bukan pengalaman yang terjadi padanya. Tapi, saat mendengarnya dari Tae Ho, ia seperti merasakan bagaimana mengerikannya kejadian itu.
"Dan di antara mereka semua... hanya aku yang selamat," ujar Tae Ho lagi. "Tapi, sayangnya ingatanku hilang dikarenakan kerusakan dan trauma otak saat itu."
So Young benar-benar tidak tahu kalau Tae Ho pernah mengalami kejadian mengerikan itu. Dan sekarang, saat ia melihat dengan jelas Tae Ho yang menitikkan air matanya di depan makam ibunya, membuat So Young sadar betapa rapuhnya hati Tae Ho sekarang.
Tangan kanan So Young perlahan menyentuh pundak Tae Ho dan mengusapnya pelan. Dan ketika Tae Ho mulai terisak semakin keras, So Young yang melihatnya tidak kuat. Ia pun menarik Tae Ho ke pelukannya, berharap Tae Ho merasakan kehangatan dan supaya Tae Ho tahu dia bisa membagi bebannya pada So Young.
"Kita nggak tahu kapan orang tersayang kita bisa pergi begitu saja. Tapi, yang kita tahu kita hanya perlu membuat momen yang tak terlupakan bersama mereka," ujar So Young yang berusaha untuk tak menangis. "Karena pada akhirnya, kita tak akan melupakan momen itu."
Tangan Tae Ho menggenggam tangan So Young erat-erat. Saat ini, So Young bisa merasakan betapa dinginnya tangan Tae Ho, padahal biasanya tangan Tae Ho selalu bisa memberikan kehangatan.
Karenanya, So Young pikir mungkin sekarang ia harus memberikan kehangatan itu lagi pada Tae Ho. Ia balik menggenggam tangan Tae Ho, berusaha menguatkan Tae Ho sekarang.
"Aku tahu kamu sedang merasa kesulitan sekarang. Percayalah, aku juga pernah mengalami situasi ini," ujar So Young. "Jangan khawatir, kamu bisa membagi bebanmu padaku. Luapkanlah semua yang mengganggumu, aku akan menemanimu."
Tae Ho tidak menyangka. Dia seperti merasa dia menjalani tiga tahap kehidupan. Pertama, sebelum ibunya pergi dimana ia adalah laki-laki kecil yang polos. Kedua, setelah ingatannya hilang dan membuatnya menjadi sosok laki-laki yang berbeda—periang dan disukai banyak orang. Hingga kini, di tahap ketiga, disaat ingatannya sudah kembali, seketika ia merasa seperti orang yang berbeda dimana ia merasakan bagaimana itu kesepian.
Tapi, Tae Ho salah. Awalnya, ia pikir ia sudah hancur ketika Young Ae bercerita tentang ibunya semalam. Tapi, ternyata tidak semuanya hilang dari hidup Tae Ho. Mungkin, dari sinilah ia mendapatkan sebuah titik terang yang membuatnya sadar dia tidak pernah sendiri dan tidak akan pernah sendiri lagi.
——————————————————————————
Tbc.
Wednesday, 21 October 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreaker Yeoja
Romansa(COMPLETED) K-FICTION Apa itu cinta? Cha Soyoung, perempuan tercantik di kampus, menganggap cinta adalah sebuah bencana. Bagi perempuan yang selalu membuat laki-laki patah hati ini, mencintai seseorang adalah sebuah kesalahan besar. Ia tidak percaya...