Part 23

74 5 0
                                        


Jika kamu mencintai seseorang biarkan ia pergi
Kalau ia kembali, berarti ia adalah milikmu
Kalau tidak, ia memang tidak pernah jadi milikmu.

-Khalil Gibran-

•••

“Aku tidak akan berbohong kepada sahabatku, tidak sepertimu!”

Perasaan gundah mendatangi Ava dengan tidak tahu dirinya, mengakibatkan gelisah berkepanjangan. Setelah membaca pesan Zoya yang sedikit kasar kepadanya, bukannya marah tapi Ava malah dibuat cemas.

Benarkah Jovin pergi? Tapi kemana?

Dua pertanyaan itu terus Ava tanya pada dirinya, apakah perkataan Zoya itu benar kalau Jovin sekarang ada di bandara. Separuh hatinya tergerak untuk mengikuti perintah Zoya, menjemput Jovin di bandara, menggagalkan niat lelaki itu untuk pergi.

Namun lagi-lagi ego-nya yang membentengi setengah hatinya.
Mengingat kemarin perkataan Jovin terhadap Lian dan Yofan, dan lagi perkataan Zoya tadi di kamarnya. Separuh hatinya tidak ingin menerima perlakuan Jovin dan sahabatnya Zoya. Ava merasa marah kepada keduanya, merasa seperti hidupnya sekarang di dikte.

Tanpa Ava sadari tangannya bergerak mencari kontak Jovin di ponselnya, tanpa ragu jarinya menekan tombol dial, menelpon Jovin. Tapi tidak aktif, nomor Jovin tidak aktif. Setelah mendengar suara wanita yang  tidak lain adalah suara operator menjawab telponnya, perasaan Ava menjadi tidak enak.

Nomor Jovin tidak aktif

Lagi, Ava kembali mencoba menelpon Jovin, berharap kali ini bisa tersambung. Namun lagi, nomornya tidak aktif, dan Ava semakin kalut Ava menguatkan hatinya, mencoba tenang dan sekali lagi mencoba dan hasilnya pun sama.

Aku tidak akan berbohong kepada sahabatku.

Sepintas ingatannya tentang isi pesan Zoya menghampiri pikirannya, benarkah Zoya tidak berbohong? Kali ini Ava kembali menelpon, kali ini bukan Jovin, tapi Zoya. Namun hingga panggilannya terputus Zoya tak kunjung menjawab telpon darinya.

Kegelisahan Ava semakin bertambah, Zoya tidak merespon panggilannya. Pikirannya terus melayang, memikirkan keputusan apa yang harus ia ambil. Tetap melanjutkan perjalanannya menemui Yofan atau menuntun sang supir taksi berbalik arah, menuju bandara.

Keputusan sudah Ava ambil, saat ingin memerintahkan sang supir untuk putar balik telponnya berdering. Ava dengan cepat melihat nama yang sekarang menelponnya, berharap Jovin yang menelponnya. Namun harapan terkadang hanyalah sebuah harapan, yang meleponnya sekarang bukan Jovin, tapi Yofan.

“Va kamu dimana?”

“A-aku lagi di jalan.”

“Baiklah, aku harap kamu datang.”
Panggilan singkat itu berakhir setelah Ava memberi balasan seadanya.

Kekalutan kembali menghampirinya, keputusan yang tadi sudah bulat kembali menyebar, keyakinannya untuk menyusul Jovin ke bandara mendadak hilang setelah mendengar suara Yofan. Ava mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada seseorang di sebrang sana.

“Aku akan datang Fan.”

Tetap menemui Yofan adalah pilihan Ava, kali ini ia yakin. Tidak ada lagi yang harus ia khawatirkan toh Jovin mengabaikan panggilannya.
Sama halnya dengan Jovin, Ava memilih pergi.

***

Sepanjang mata memandang, sejauh mata menatap, yang Jovin lihat hanyalah lautan awan, bentangan langit yang sangat luas menyelimuti bumi. Selama penerbangannya, Jovin hanya menatap pemandangan di luar jendela pesawat. Menerawang jauh, memikirkan beberapa kejadian-kejadian yang sudah berlalu.

Just be QuietTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang