2

16.4K 1K 22
                                    

"Apa?! Jadi istrinya Bang Aul?" Renata tergelak mendengar tawaran Tante Laras. Bagaimana bisa dia menikah dengan kakak sepupunya yang alim, keningnya menghitam bekas sujud, janggutnya rapi. Bandingkan dengan dirinya yang masih belum berhijab. Bahkan sejak kegagalan rencana pernikahannya dengan Dion, makin sering clubbing dengan teman-teman segengnya.

Tak ada yang tertawa atau tersenyum mendengar tawanya yang pecah. Dua wanita sesepuh di keluarganya hanya diam menatapnya, Mimih dan Tante Laras. Membuat Renata sadar, ini bukan saatnya bercanda, "Hmmm ... maksudnya-- Ini hal besar. Bukan untuk main-main 'kan?"

"Memang, kata siapa kami bercanda." Tante Laras yang kalau berbicara suka to the point membuatnya bungkam. Renata hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Tante, pernikahan itu harus sekufu," pancing Renata.

"Kalian sepupu." Tante Laras nyengir.

"Nah, itulah Tante. Pernikahan itu mesti setara dalam segala hal. Bibit, bebet, bobot, pemahaman agama--"

"Stop, calon mertuamu lebih paham tentang itu Renata." Mimih Ami menjawab. Uak Sukma memang dikenal sebagai ustazah. Wara-wiri memberikan tausiah di banyak majelis taklim.

Keempat anaknya tak jauh berbeda. Si alim Ganindra Aulia yang akrab disapa Bang Aul bahkan hampir selalu menundukkan pandangan di hadapannya. Membuat Renata merasa sungkan pada kakak sepupunya sendiri. Apalagi perbedaan umur mereka, tujuh tahun, terlalu tua menurut standarnya. Lalu Teh Raya, Arin, dan Qorina; semuanya berhijab lebar. Apa kabar dengan dirinya yang masih nyaman memakai baju you can see.

Uak Sukma dan mamanya, Inggar, memang kakak beradik. Namun, kebiasaan keluarga mereka jauh bumi dari langit.

Baru sekarang-sekarang saja keluarga mereka sedikit insaf. Mamanya, pensiunan sekjen di kementerian, sekarang berkerudung. Sesekali menghadiri pengajian. Papanya seorang pensiunan petinggi BUMN mulai sering melaksanakan salat berjamaah di masjid, kalau Magrib. Doni, kakaknya, sudah menikah dengan wanita Taiwan dan tinggal di Australia. Tak tahu apakah kebiasaan minum red wine sudah ditinggalkan.

Keluarga uaknya dan keluarganya terlalu ekstrim. Hanya keluarga Tante Laras saja yang serba normal di matanya. Suami istri dosen dan memiliki tiga orang anak yang semuanya dokter. Si kembar Indra dan Indri yang masing-masing sudah menikah dan si bungsu Wilda. Ahhhaaa Wilda ....

"Kenapa Bang Aul nggak dijodohkan sama Wilda, Tante?" Mata Renata berbinar. Tante Laras punya anak gadis. Kenapa pula tak dijodohkan dengannya. Susah-susah amat berputar-putar mengetem padanya.

Pletak, jidatnya disentil sang tante. "Aaawww!" Tangannya refleks mengelus bagian yang terasa sakit. Laras memandang gemas Renata.

"Kamu itu kalau ngomong, ya, dipikir. Wilda sama Aul bedanya empat belas tahun." Mimih bersuara.

"Apa bedanya sama aku. Tujuh tahun lho, Mih," elak Renata.

"Mama sama papamu bedanya sepuluh tahun. Papamu itu umurnya bahkan jauh lebih tua dari Uak Sukma dan almarhum suaminya." Tante Laras berorasi.

"Oke. Jangan bahas umur, deh. Jadi gimana? Ini hanya taaruf 'kan? Kalau gak cocok bisa mundur."

Nenek dan tantenya melotot.

∞∞∞∞∞

"Mama nggak mau ini membebanimu, Sayang. Jika kamu gak suka, abaikan saja. Jangan karena nenekmu yang meminta, kamu merasa harus menerima ini sebagai kewajiban." Inggar berbicara sambil memangkas daun-daun koleksi bonsainya. Mereka sedang berada di taman.

"Papa?" Renata beralih pada Rudi.

"Papa suka Aulia." Papanya melihat sekilas dan berkata pendek. Dia meneruskan membaca koran online di iPad-nya.

"Suka sebagai keponakan apa calon menantu?" Inggar memancing.

Rudi melepas kacamata bacanya. "Dia pria yang bertanggung jawab. Kita tahu itu. Hanya saja ...."

"Yaaa ...?"

"Kalian sangat ... sangat berbeda." Rudi tampak berhati-hati bicara.

"Maksudnya, dua orang yang menikah itu adalah mereka yang punya kesamaan visi," tukas Inggar bijak.

Renata terdiam. Papa dan Mamanya memiliki banyak kesamaan. Jika pun berbeda, saling melengkapi. Mengisi hari tua bersama dengan mulai memperbanyak kegiatan ibadah. Meski keduanya tak pernah memaksanya untuk ikut hijrah.

Dia dan Aulia? Jelas jauh berbeda. Renata merasa sayang harus meninggalkan banyak kesenangannya saat ini. Sekedar dugem di akhir pekan melepas penat rasanya masih wajar. Cuti liburan jalan-jalan ke luar negeri, kadang sendiri atau bersama teman lain juga hal biasa baginya. Mengubah semuanya dalam waktu singkat termasuk cara berpakaian pasti sangat sulit.

Renata selalu lemah jika berurusan dengan hati. Bahkan saat dulu menerima Dion menjadi pacarnya pun mesti berpikir lama. Pantaskah dirinya yang seorang anak pegawai negeri bersanding dengan putra pemilik perusahaan terkemuka. Apalagi sekarang banyak hati yang mesti dijaga. Keluarga besarnya. Jauh berbeda jika dihadapkan masalah pekerjaan. Renata pengambil keputusan ulung, sangat gesit, dan bisa diandalkan.

Aaarrggghhh ... Renata bimbang.

∞∞∞∞∞

"Ntar dulu, gue lihat kalender!" Giselle otomatis bergerak menuju dinding membuka-buka kalender.

"Lo ngapain sih? Denger curhatan teman malah liat kalender. Belum musim liburan weyyy!" ucap Nita yang telat berpikir.

Renata terdiam bingung. Beginilah aksi dua sahabatnya. Saat dia butuh solusi, mereka malah terjebak aksi bantah-bantahan ala Tom and Jerry.

"Syukur gue gak salah baca. Ini benar tahun dua ribu enam belas. Coba Nit, cek hape lo. Ini benar jam dua belas siang lewat lima menit, tanggal lima belas Januari tahun dua ribu enam belas 'kan?" Giselle melihat jam dinding.

" Lo kenapa, sih?" Renata mengkerut sebal melihat aksi Giselle.

"Ya ampun, Sayang. Gue cuma mau mastiin kalau calon imam lo mungkin saja lagi jadi khatib jumat di masjid kantor." Giselle berseloroh.

Nita terbahak. Dia menungging-nungging di atas sofa empuk apartemen Giselle.

Gedung kantor dan apartemen Giselle adalah superblok. Setiap jumat di jam istirahat mereka selalu mampir ke sini. Bikin planning hang out sabtu malam.

Mereka bersahabat sejak SMA. Ketiganya bekerja di kantor yang sama. Renata yang berlatar keuangan menjadi finance manager. Giselle yang seorang ahli cuap-cuap menjadi Ketua Tim Satu Marketing Senior. Nita yang kurang beruntung direkrut Renata menjadi sekretarisnya. Biar sehidup sekantor, mereka berprinsip.

"Terus, bonyok lo gimana?" Nita kembali bersuara setelah puas berhaha hihi menertawakan nasibnya. Sebenarnya Renata tak akan merasa bernasib sesial ini andai bukan Aulia pria yang disodorkan oleh nenek dan tantenya. Indra lebih baik laaahhh. Setidaknya dia dokter anak yang cute disenangi bocah. Bukan pria yang hobinya menghitung kerikil di jalan.

Sayang keluarganya miskin pria. Hanya ada Aulia, Doni, dan Indra. Yang jomblo sisa satu, ya, Bang Aul itu. Sedangkan diantara cucu cewek, cuma dia dan Wilda yang masih single. Itupun Wilda katanya mau dilamar teman kuliahnya akhir tahun ini. Membuat kupingnya makin sakit ketika orang bertanya, "Kapan merit?"

"Ditanya malah ngelamun!" Nita melempar bantal ke wajahnya.

"Eh, apa?Gue gak dengar."

"Ckck ... calon manten kita udah mulai berkhayal tingkat dewa. Jadi istri ustaz hahaha ...." Giselle tertawa puas melihat wajah kesal Renata.

Kalangan pertemanan Renata tak mempermasalahkan di usianya yang sekarang masih lajang. Giselle sudah bertunangan. Nita seorang single parent.

Mengenyam pendidikan di luar negeri dan hidup dengan dua budaya yang berbeda membuat Renata sangat tahu pergaulan lawan jenis. Dia menjadi bagian dari mereka, melakukan yang dilakukan orang yang pacaran. Namun, tahu batasan. Tiga mantan pacarnya termasuk Dion pernah ditendang selangkangannya karena mencoba berbuat kurang ajar.

Renata merasa dirinya tak terlalu baik jika harus bersanding dengan Aulia yang alim tapi manis kayak gulali. Pria itu pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik.

∞∞∞∞∞

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang