8

10.7K 870 10
                                    

Hari masih pagi. Kegaduhan sudah terdengar dari ruang tengah. Beberapa pintu kitchen set atas di pantri terbuka lebar. Doni beralih ke bagian bawah mini bar.

"Apa yang kamu cari?" Suara Rudi, papanya, menginterupsi.

Merasa terciduk, Doni yang sedang berjongkok menghentikan aktivitasnya. Matanya menangkap seseorang memakai sandal jepit, bersarung dan ... berbaju koko. Dia berdiri dengan cepat.

"Ini papaku?" Badannya sedikit terdorong ke belakang. Dahinya mengernyit dengan kepala miring.

"Dasar anak kurang asem!" Rudi memukul kepala anaknya dengan sajadah yang tersampir di bahu.

"Aaawww sorry Pap ... aku pangling liat Papa begini," ujarnya cengengesan.

"Papa sudah tua, Don. Sudah waktunya insaf." Setelah membuka peci, Rudi duduk di sofa ruang tengah.

"Mama, kok, nggak kelihatan?"

"Bareng nenekmu. Biasalah wanita, banyak mampirnya. Kamu ngapain pagi-pagi ngelatrak di sini?"

"Eh— Ituuu ... Anuuu ...." Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Doni terlihat salah tingkah.

"Aku bangunin Grace dulu" Menyebut nama istrinya, Doni gegas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.

"Kamu gak bakal nemu benda yang kamu cari. Kemarin sore Papa sudah mecahin tiga botol red wine yang kamu umpetin di sana," kata Rudi santai sambil membaca koran online di iPad.

Doni menghentikan langkah lalu berbalik menatap horor Papanya. Dia kembali berlari menuju kamarnya disusul suara tawa Rudi yang membahana.

"Pagi-pagi kayaknya seneng banget Mas?" Inggar datang menggandeng tangan Mimih. Mereka baru pulang dari musala.

"Biasalah anakmu. Bangun tidur malah nyari minuman." Mata Rudi tak lepas dari iPadnya. Inggar yang paham kata-kata suaminya hanya menghela napas.

"Diingetin buat Subuh?" Mimih bertanya pada menantunya.

Rudi memandang mertuanya lalu berkata, "Justru itu ... Saya lupa, Mih." Dia lalu kembali asyik dengan iPadnya. Mimih geleng-geleng kepala melihat kelakuan menantunya.

Inggar lalu bergerak menaiki tangga menuju kamar Doni dan Grace. Mimih melangkahkan kakinya ke kamar Renata.

Renata kembali bergelung di balik selimut setelah membuka pintu kamarnya untuk Mimih. Pendingin udara dimatikan, jendela besar yang menghadap taman dibuka lebar-lebar. "Banyak nyamuk, Mih. Tolong tutup lagi jendelanya." Renata berkata dengan malas.

"Bangun, Sayang. Biasakan dirimu bangun pagi meski lagi nggak salat." Mimih duduk dan menarik selimutnya. Oh, bolehkah Renata tidur sebentar lagi saja untuk merilekskan kram perutnya yang mengganggu? Dia berpindah meletakkan kepalanya di pangkuan Mimih yang langsung mendapatkan belaian dari sang nenek.

Dua hari kemarin dia sudah memforsir tenaganya habis-habisan. Ditambah lagi PMS membuatnya dalam mode swing mood.

Bos barunya sangat menyebalkan. Renata harus mempersiapkan berbagai macam berkas untuk rapat. Dia terpaksa mengorbankan waktunya mencari baju untuk acara pertunangannya semalam dan meminta tolong Giselle mencarikan untuknya.

Bersyukur dua sahabatnya selalu ada di momen-momen penting dalam hidupnya. Suasana hatinya membaik saat bisa berbagi suka dan duka bersama mereka.

Renata dan Nita tertawa terpingkal-pingkal saat Giselle bercerita si kasir sampai berseru, "Masyaallah ... hidayah emang hak prerogatif Allah, ya, Mbak." Ketika dirinya yang non muslim berbelanja pakaian muslim. "Padahal saat itu gue pake ini," kata Giselle menunjuk kalung palang di lehernya.

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang