16

9.6K 733 8
                                    

"Renata satu-satunya putri Om. Kita sudah niatkan untuk momen pentingnya ini bisa laaahhh, usahakan sendiri. Bener nggak, Mam?" Rudi menoleh pada Inggar dan diangguki istrinya.

"Ini, bawa lagi aja sama Abang. Mending buat bekal kalian nanti setelah menikah. Kalau mau, siapkan saja hantaran untuk kebutuhan pribadi Renata." Inggar tersenyum menenangkan sambil menyerahkan map yang dulu pernah Aulia berikan.

"Urusan yang lain, biar Tante kalian yang tangani."

Aulia menunduk mendengar kata-kata calon mertuanya. Rudi dan Inggar berlalu pergi meninggalkan mereka berdua di ruang keluarga.

Aulia pindah ke sofa tunggal. Dia yang masih waspada dengan kelakuan aneh Renata di mobil tempo hari tampak berhati-hati.

"Hhhmmm, kamu pengin mahar apa?"

"Aku? Aku-- apa aja yang Abang mampu."

Aulia tersenyum. "Untuk lain-lainnya, kamu tahu beres aja, ya."

Renata diam. Dulu, Dion mengajaknya 'shopping' untuk menyiapkan hantaran berisi kebutuhan dirinya. 'Oh, ini berbeda.'

Aulia terbiasa mengurus segala sesuatu untuk keluarganya. Renata merasa tak enak hati harus menyebutkan brand tertentu. Khawatir tak terpakai. "Oke."

"Bener, ya? Apa yang Abang kasih harus kamu pake, lho." Aulia berbicara tanpa menatap mukanya.

Imajinasi Renata langsung mengarah ke berbagai pakaian tertutup dan sejenisnya. 'Kok gue islamophobia, ya? Kayaknya mesti dirukiyah, nih.'

****

"Ya Allah, Bang. Beli hantaran nikah itu nggak kayak Abang beliin pembalut buat Qorina jaman sekolah dulu." Qorina teringat pengalamannya dibelikan satu plastik besar berbagai warna dan merk pembalut oleh abangnya.

"Biar Raya telepon Renata." Raya menatap sebal pada abangnya yang bersikap sok tahu.

"Ta, maafin Abang, ya. Kamu shopping bareng aku aja. Kapan bisa?"

Mereka mengobrol akrab.

"Oke," sahutnya menutup ponsel.

"Sini." Raya menadahkan tangannya pada Aulia.

"Apa?" Aulia tak paham.

"Kartu ATM. Yang Platinum."

Aulia melotot.

∞∞∞∞∞

Renata berjalan dengan gontai. Dia tampak lelah. Semua mata mengarah padanya.

"Maaf .... Aku nggak bisa ikut bantuin ini itu." Dia berjalan mendekati kerabatnya lalu duduk di antara mereka.

"Tenang aja, Roni dah handle semuanya dengan baik, kok." Arin memegang sebuah agenda kecil. Bersama Indri mendiskusikan beberapa hal yang mungkin terlewat. Mereka menyewa jasa Wedding Organizer untuk memudahkan semua tercover dengan baik. Jadwal yang dipercepat memerlukan penanganan seorang ahli.

"Gak apa-apa, Nak. Kami tahu kamu lagi sibuk." Laras datang menyodorkan irisan buah padanya. Renata menggeleng lemah. Perutnya tak mampu menerima makanan setelah di kantor dia memuntahkan kekesalannya pada Ben.

"Yang benar saja, Pak. Masa harus divisi keuangan yang melakukan ini?!"

"Itu memang tugas kamu 'kan?" ucap Ben mengejek.

"Auditor internal sudah melakukan tugasnya dengan benar. Lagi pula data yang Bapak minta, data lama." Renata kesal pada Ben.

Ben mengabaikannya.

"Bapak bisa minta jasa akuntan publik untuk menganalisis laporan ini seperti yang biasa perusahaan kita lakukan sebelumnya. Bukankah hasilnya lebih dipercaya?" Renata masih saja bicara.

"Lalu untuk apa perusahaan membayar mahal gajimu jika kau tak mampu melakukan semua permintaanku?" Ben mendengkus kesal.

"Perusahaan ini bukan tukang gorengan yang sekali bikin adonan langsung jadi, kamu jual dan tutup warung begitu jualannya abis!" Renata tak mau kalah.

"Tingkahmu seperti kucing kebelet kawin! Protes mulu! Berisik!" Ben membalas.

"Saya emang mau nikah, Pak!" Renata keluar membanting pintu ruangan direktur. Beberapa pasang mata menoleh dan kasak kusuk tentang kelakuannya.

Renata tak peduli lagi siapa orang yang dihadapinya. Dia benar-benar muak. Sejak kedatangannya, Ben selalu mencari-cari alasan harus melakukan ini dan itu diluar tugas utamanya.

Tingkahnya semakin menyebalkan setelah Renata memperkenalkan Ganindra Aulia sebagai tunangannya dan jari manis tangan kirinya tak lagi kosong.

Setiap hari bersama timnya pulang lewat isa untuk memenuhi target kerja Ben. Menganalisis laporan keuangan bulanan sepuluh tahun terakhir untuk dipresentasikan pada calon investor dari Kanada? 'Memang sepenting apa, sih, mereka?! Bahkan sepuluh tahun yang lalu, gue masih mahasiswa culun.'

Jika berhasil, pencapaian ini mungkin akan mengukuhkan Ben sebagai direktur utama. Saat ini, Tuan Francois, sang paman, masih memperlakukannya sebagai 'orang yang sedang belajar menjadi pemimpin'.

"Ajarilah keponakan saya dengan baik. Dia tak akan bisa mencopot kalian karena belum memiliki kewenangan penuh." Begitu pesannya ketika rapat direksi di hari terakhirnya di kantor sebelum Ben datang.

Renata yang tahu sepak terjang Ben selama di kampus memahami maksud ucapan Tuan Francois. Setelah delapan tahun berlalu, dia masih tetap orang yang sama; egois, sangat teknis, dan tidak fokus.

Beruntung di momen penting hidupnya, orang tua dan kerabatnya selalu hadir membantu. Keluarga Renata dan Aulia adalah gambaran kecil keluarga Indonesia dimana keluarga besar ikut berperan dalam kesuksesan anak-anak mereka.

∞∞∞∞∞

"Gini aja, deh. Teteh jalan bareng Mama aja. Kita satu selera, kok." Renata menutup telepon dari Raya. Dia melanjutkan pekerjaannya. Nita menatap kasihan sahabatnya yang masih saja sibuk menyelesaikan tugas kantor menjelang hari pernikahannya.

"Lo kebalikan sama gue. Gue nggak pernah ngelewatin fase ini. Repot nyiapin pernikahan dan seabrek tetek bengeknya. Kadang gue iri sama lo."

Renata tertegun lalu menghentikan pekerjaannya. "Belum aja kali, ntar juga ada masanya. Gue tahun kemarin lebih ribet ngurus ginian sama Dion. Apa-apa sendiri. Eh, tahunya nggak jadi." Dia tersenyum getir.

Seminggu sebelum pernikahan, Renata belum juga memenuhi ajakan Raya untuk mempersiapkan hantaran kebutuhan pribadinya. Keluarga Aulia sangat berhati-hati. Renata bukan jenis wanita dengan selera kebanyakan orang. Mereka tak mau membeli barang yang mungkin tak akan Renata pakai.

****

"Orang bijak bilang, di antara khitbah dan khotbah nikah, ada mantan yang tiba-tiba datang menggoda. Terlihat memiliki banyak kelebihan dibandingkan pasangan kita. Dia berusaha menggoyahkan niat baik terucapnya janji pernikahan." Giselle berfilosofi. Mereka bertiga sedang makan siang di seberang kantor.

"Pak Ben nggak masuk kategori itu kan?" Nita yang sebal dengan kebijakan Ben yang mengharuskan divisi keuangan sif panjang ikut kena getahnya. Si kecil Vito sering protes. Betapa sedihnya harus berangkat ke kantor ketika anaknya masih terlelap dan mendapatinya sudah tidur ketika pulang kerja. Beruntung tetangga yang menjaga anaknya begitu baik.

"Kata siapa gue lagi ngomongin Pak Ben. Tuh!" Dagunya menunjuk ke arah pintu masuk.

Renata tersedak ketika melihat pria necis tersenyum mendekati meja mereka.

∞∞∞∞∞

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang