18

9.3K 817 23
                                    

"Saya sebenarnya tak suka mengatakan ini. Namun, sifat keras kepala Anda membuat saya mau tak mau harus bicara." Aulia berkata tegas.

"Perusahaan ini berada di Indonesia. Semestinya mengikuti aturan ketenagakerjaan di sini." Pak Tirta hanya diam menyimak. Dia berada di posisi yang serba sulit. Surat pengajuan cuti Renata tak disetujui Ben. Agar mendengar langsung dari sang bos, Pak Tirta memfasilitasi pertemuan Aulia dengan Ben.

"Saya memerlukan Renata untuk mempresentasikan program kami di depan calon investor di Quebec. Itu terjadwal satu hari setelah pernikahan kalian." Ben berkeras.

"Saya akan memberikan bonus jika di tanggal tersebut Renata bisa ikut pergi bersama tim. Tak lama, hanya tiga hari. Anda mampu menahan diri tak bertemu wanita Anda untuk sementara waktu, bukan?" Ben menyungging senyum mengejek.

"Calon istri saya tak pernah menjadikan materi sebagai tolak ukur. Dia tidak mengambil fasilitas apartemen dan kendaraan kantor. Tidak juga meminta materi pengganti untuk hak yang tak diambilnya.

Dia menghabiskan waktu berminggu-minggu mengerjakan tugas yang bukan tugas utamanya. Seharusnya sebagai pimpinan Anda merasa malu. Ini menunjukkan lemahnya kompetensi personal di perusahaan ini.

"Mungkin untuk ke depannya, saya harus memberikan dia kesempatan mengembangkan diri di tempat lain daripada hanya menjadi kacung yang selalu menutupi kelemahan orang lain."

Ben terkesiap mendengar keberanian Aulia beradu argumen.

Aulia berdiri, "Untuk pengabaian materi pengganti yang seharusnya Renata terima sebagaimana yang tercantum di surat perjanjian kerja selama enam tahun bekerja, pengajuan cuti yang tak disetujui manajemen perusahaan tanpa alasan yang sesuai, akan saya adukan pada dinas terkait. Permisi." Aulia tersenyum menjabat erat tangan Pak Tirta yang terlihat tak enak hati.

Ben? Wajahnya memucat hingga lupa menerima uluran tangan Aulia.

∞∞∞∞∞

Setelah membuat surat cuti kilat yang dibawa Aulia ke kantor, Renata tidur.
Saat bangun, badannya demam tinggi. "Ya, Allah. Badanku sakit semua."

Memforsir diri selama berminggu-minggu dengan berbagai tekanan psikologis benar-benar menguras energinya. Renata ambruk ketika banyak calon mempelai lain melakukan tradisi pingitan dan perawatan tubuh.

****

"Nggak apa-apa, kok. Daya tahan tubuhnya lagi nggak bagus. Jadi, kuman gampang nyerang." Indri membaca hasil tes darah di laboratorium. Dia mengganti cairan infus dan segera menyuntikkan obat melalui selang.

Renata berkukuh tak mau dirawat. "Aku nggak suka rumah sakit. Lidahku pahit dan makanan di sana nggak enak."

"Yang pahit itu pengalaman hidup lo, Sayang." Giselle mengejeknya.

"Kalau mau yang serba enak, masuk surga aja." Nita menambahkan dengan sadis.

∞∞∞∞∞

"Aiiihhh pangliiing .... Cantik banget kakak sepupuku!" Wilda yang datang terlambat karena piket Koas datang memeluk Renata.

"Husss husss .... Sana mandi, ganti baju. Bau badan kamu kayak perusahaan obat," tegur Laras membuat bibir Wilda mengerucut lucu.

"Iiih Maaammmaaa... Emang iya, ya?" Wilda mengendus-ngendus badannya.

"Iya bener. Penganten langsung semringah kena antiseptik. Seger gitu. Padahal sebelumnya--" Giselle tak bisa meneruskan kata-katanya karena Renata mencubit lengannya. "Sakit iiihhh!!"

Tiga hari tak beranjak bangun dari tempat tidur membuatnya lemas. Kini, sapuan make up mampu menyamarkan wajahnya yang pucat.

****

"Bismillahirrohmanirrohiim."

"Ganindra Aulia, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Renata Citra Renard binti Rudi Bastian Renard dengan maskawin tiga puluh gram perhiasan emas dibayar tunai."

Hentakan tangan disusul kalimat lain terucap.

"Saya terima nikah dan kawinnya Renata Citra Renard binti Rudi Bastian Renard dengan maskawin tersebut, tunai."

"Bagaimana?" Bapak penghulu bertanya pada kedua saksi nikah.
"Sah!" Mereka mengucapkan kata yang sama berbarengan.

"Alhamdulillah!!" Gema syukur terdengar dari semua penjuru.

****

Renata menonton upacara sakral itu dari tayangan televisi di balik ruang pertemuan hotel. Mimih terlihat mengucap hamdallah dan menghapus sudut matanya yang basah. Mama dan uaknya menangis berpelukan erat. Matanya berkabut. Serasa tak percaya menyadari statusnya bukan lagi wanita yang bebas.

Doni datang menggandengnya ke ruang utama. Mempertemukannya dengan Ganindra Aulia yang kini sudah resmi berstatus suaminya yang sah.

Aulia terpana menatapnya. Dia takjub melihat Renata. "Mas, tolong tanda tangan, ya. Saaabbbaaarrr ...." Bapak penghulu memintanya menandatangani buku nikah. Sudah dua kali mengatakan hal yang sama, dan sang mempelai pria mengacuhkannya. Kerabat yang hadir tertawa.

Dengan kikuk dan malu karena terciduk bengong menatap istrinya, Aulia menandatangani buku nikah disusul Renata yang kini duduk di sampingnya.

Aulia mencium kening istrinya lama. Sebait doa terselip di sana. Digenggamnya tangan wanita yang kini berstatus istrinya, Nyonya Ganindra Aulia. Dia kembali tersenyum lebar. Dibalas Renata dengan tersipu.

Bagaimana tidak, Renata tampil memukau berbalut baju pengantin yang dibuat dari butik. Serasi dengan dirinya. Bedanya, kini dia menutup kepalanya dengan hijab.

****

Flash back

"Ma, aku masih di kantor. Nggak tahu kapan bisa pulang. Mama tolong temenin Teh Raya milih kebutuhan aku.

"Rikues, beliin juga kerudung yang warnanya sama kayak baju nikahan. Pakaian muslim buat ngantor jangan terlalu resmi sama buat sehari-hari yang kasual. Teh Raya lebih tahu baju yang bagus buat aku.

"Dah, ya, bye."

∞∞∞∞∞

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang