11

8.5K 856 19
                                    

Ganindra Aulia menyelesaikan makannya dengan cepat. Dia kelihatan tak sabar. Setelahnya, mata tajamnya mengamati Renata yang makan dengan tenang. Tangannya bersilang di depan dada.

'Ingat pesan Mama, Renata. Jika priamu marah, maka kamu harus sebaliknya. Tahaaan ... bersikap dan bicaralah dengan tenang dan pelan.'

"Udah berani mandang aku, ya?" Renata bergumam dengan mata tetap mengarah ke makanan. Mulutnya mengunyah pelan.

Aulia terkesiap. Kedua tangannya diletakkan di atas meja. Wajah dan telinganya merah menahan malu. Dia berdeham.

"Kalau kesal jangan ditahan, Bang. Ngomong aja." Renata menyeruput pelan coklatnya yang tak lagi panas.

Netra mereka beradu.

"Rekan eksekutif di kantormu, cuma yang tadi kulihat?"

"Ada beberapa lagi. Pak Agung lagi perpanjang MoU sama investor di Tokyo. Bu Bella lagi cuti melahirkan."

"Oh."

"Oh? Oh gimana, nih, maksudnya?"

"Banyakan pria."

"Emang kenapa?"

"Abang nggak suka kamu terlihat mencolok di antara banyak pria."

"Maksudnya?" Renata menaikkan alis.

"Bisa nggak pakaianmu nanti lebih tertutup." Aulia tak bisa menahan diri menunjukkan ego kepemilikannya akan si wanita.

Renata terdiam. Hal ini terjadi lebih cepat dari yang dia duga.

'Aku tak suka diatur.' Renata berusaha tenang. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.

"Akan aku pikirkan. Ada lagi yang mau ditanyakan?"

Aulia masih menatapnya dalam.

"Siapa pria bule itu?"

"Dia atasan baru di kantor. Baru seminggu."

"Kok ngomongnya begitu?"

"Mungkin karena sebelumnya kami pernah saling kenal."

"Sekadar kenal?"

'Duh, gimana, ya, jawabnya? ... Oke, jujur, deh, jujur.'

Setelah diam agak lama, Renata menjawab. "Dia mantan pacarku waktu kuliah di Perancis."

Suasana hening cukup lama. Aulia berusaha keras menahan emosi. Matanya merah. Dia mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Ini kali pertama Renata melihat Aulia marah.

Renata tertekan, dia menelan ludah.
"Kami putus karena dia bersikap kurang ajar padaku."

"Lalu?" Aulia tak sabar.

"Lalu delapan tahun kemudian, kami ketemu lagi di sini. Dia keponakan atasan lama aku."

"Benar-benar gak ada komunikasi setelah kamu mutusin dia sampai ketemu di sini?"

Renata terdiam. Dia pernah mengabaikan kiriman email Ben tentang rencana kedatangannya ke Indonesia. Tak dinyana Ben malah menjadi atasannya di kantor.

"Waktu di kampus, sih, sempat minta balikan. Tapi aku udah nggak respek sama dia."

"Beneran?!" Aulia menyambar dengan cepat, dia terlihat ragu.

"Aku pun gak respek sama pria yang meragukan kejujuranku!" Renata tak tahan. Dia seperti pendosa yang ditanya penyidik. Tanpa dapat ditahan, air matanya jatuh. Renata menangis tanpa mengeluarkan suara.

"Ya, Tuhan. Aku bahkan benar-benar lupa berapa lama pernah menjalin hubungan dengannya. Itu masalahnya sendiri yang menganggap hubungan masa lalu bisa dibawa sampai saat ini." Renata tercekat.

"Jangan nangis. Maaf ...." Aulia kaget dan terlihat bingung melihat Renata menangis dalam diam. Dia mengangsurkan saputangan.

"Lalu aku mesti gimana? Ini dunia kerjaku. Tolong jangan meminta banyak hal di saat yang sama. Aku nggak bisa."

Renata menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya berguncang. Cincin yang tersemat manis disana ikut basah oleh air matanya. Cincin pemberiannya. Aulia sesak. Dia membuat wanitanya menangis.

Setelah bisa menenangkan diri, Renata kembali bicara.

"Sabtu kemarin aku coba nahan diri dari ajakan Nita dan Giselle untuk jalan malam. Hari ini, aku minta Abang beliin cincin bukan karena pengin-pengin banget. Mungkin dengan adanya cincin di jari manisku, Ben akan berhenti menggangguku."

"Namanya Ben?"

"Benjamin Girard."

'Ok, ada Dion, ada Benjamin. Siap-siap saja dengan nama baru nanti.' Aulia tersenyum menyedihkan.

∞∞∞∞∞

Renata memasuki rumah tanpa mengucap salam. Dilewatinya begitu saja orang tua dan neneknya yang hanya memandang penuh tanya. Pintu kamarnya ditutup bersamaan dengan suara salam dari luar.

Inggar gegas membuka pintu. Aulia mencium tangannya dengan takzim. "Ayo masuk, Bang."

"Eh, Aulia. Ayo sini, duduk!" Rudi menepuk sisi kursi yang kosong di sampingnya. Inggar beranjak ke dapur.

Aulia terlebih dahulu memeluk neneknya. "Mimih sehat?"

Mimih angguki dengan senyum. "Orang rumah gimana?"

"Alhamdulillah, Bunda dan Qorina baik. Cuma Syamil agak pilek."

"Ada apa, Om?" Aulia duduk di samping Rudi.

"Lihat ini. Orang-orang lagi senang bertanam tabulampot."

"Ma, halaman belakang kita masih ada yang kosong kan?! Nanti kita tanemin tabulampot. Biar Pak Warno yang urus!" Dia berteriak pada istrinya yang sedang berada di dapur.

Mimih geleng-geleng kepala lalu kembali memejamkan mata sambil bertasbih.

"Ayo, diminum. Om kamu tadi bikin wedang jahe." Inggar mengangsurkan secangkir minuman yang masih mengepul dan membuka stoples kue kering.

"Om tadi beli jahe merah di supermarket harganya empat puluh lima ribu sekilo. Padahal di tingkat petani cuma dua puluh ribuan." Rudi berkata sangat antusias.

"Om kan punya tanah di Subang. Tumpang sari aja sama pohon jati di sana." Aulia menyeruput minuman. Hangat dan menyegarkan.

"Oh, iya. Bener kamu. Mari kita cari tahu, apakah jahe bisa tumpang sari dengan jati." Tangannya kembali bergerak lincah di iPad.

"Kalian ... ada masalah?" Inggar bertanya hati-hati. Suaranya pelan takut terdengar ke arah kamar Renata. Rudi beralih dari iPad. Mimih membuka matanya. Kini semua mata tertuju pada Aulia.

Aulia terdiam agak lama. Dia lalu mengeluarkan map cukup tebal dari tas kerjanya. Disodorkannya ke hadapan Rudi.

"Apa ini?" Rudi membuka-buka isinya.

"Ini maksudnya apa, Bang?" Inggar keheranan.

Aulia membasahi bibirnya. Suaranya bergetar. "Cicilan apartemen masih ada satu tahun lagi. Nggak besar, Tante. Cuma dua kamar. Lokasinya juga bukan di kawasan eksklusif tapi cukup dekat jaraknya dari kantor Renata.

"Sejak sekolah saya main saham dan juga ada sedikit tabungan logam mulia."

Aulia mengambil beberapa buku tabungan yang ada di dalam map. Tangannya gemetar membuka lembar terakhir print out buku rekening.

"Saldonya berkurang karena tadi saya membeli cincin untuk Renata. Apakah ini cukup untuk membiayai pernikahan saya dengan Renata nanti?

"Saya ingin pernikahan kami disegerakan secepat mungkin."

Semua mata menatapnya tak berkedip.

∞∞∞∞∞

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang