12

9.9K 829 8
                                    

Inggar mengiris wortel dengan cepat. Bibirnya mengetat. Rudi melihat tingkah istrinya yang biasanya tenang sangat berbeda. Dia gusar.

"Aku salah, ya, Ma?"

"Perjodohan ini awalnya atas keinginan Mimih. Aku nggak nyangka Aulia seantusias ini, Mas." Inggar berkata pelan lalu terdiam.

"Kenapa?"

"Aulia gak pernah punya pengalaman dengan wanita. Teh Sukma dan semua adiknya Aulia juga nggak kayak Renata."

"Sikap Renata semalam bukan karena menolak pernikahan 'kan?" tanya Rudi.

"Aku khawatir keinginan Aulia memajukan tanggal pernikahan didasari ingin 'menaklukkan' Renata dengan cepat."

"Lantas?"

"Aku takut anak kita tak bisa menyesuaikan diri dengan Aulia."

"Renata sudah dewasa. Kita do'akan saja apa yang Mama takutkan tidak terjadi."

"Semoga saja."

****

'Haisssh, s!alan.' Gel pendingin mata tak membantu sama sekali. 'Ok, aku tahu apa yang harus dilakukan.'

Diketiknya ponsel.
[Ijin nggak masuk, Pak. Gak enak body]

Pesan terkirim ke Pak Tirta, manager HRD.

Renata tak berbohong, matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Baru empat hari bertunangan dengan Aulia, hatinya sudah jungkir balik. 'Ke mana aku dulu yang gak baperan.'

****

Mereka sarapan dalam diam. Renata lebih banyak menunduk untuk menyembunyikan wajah.

'Ayolah, Ta. Mimih dan ortu tahu keadaanmu. Nggak usah bohong. Mereka diam karena ngehargain kamu. Nunggu kamu ngomong.'

"Cincin kamu bagus."

"Hah, apa?" Renata mendongak.

"Ck, Papa bilang, cincin kamu bagus." Rudi mencebik.

Mimih mengambil telapak tangannya dan mengelus-elu "Iya, bagus."

"Mimih apa-apaan, ih." Renata menarik tangannya. Wajahnya tersipu.

"Udah jam setengah tujuh. Kamu nggak siap-siap?" Inggar mengingatkan anak gadisnya yang cuma dijawab bahu yang terangkat.

"Malas."

"Ya, sudah. Ntar Mama bikinin gel lidah buaya."

Renata langsung menyibakkan rambut panjangnya menutupi wajah.
"Kelihatan banget bengkaknya, ya, Ma?"

Pak Warno menghampiri, "Mobilnya sudah dipanaskan, Tuan."

"Papa berangkat dulu. Mungkin nanti pulang malam." Rudi pamit pada semua yang ada di sana. Inggar mengantar suaminya pergi ke luar.

"Papa mau ke mana, Mih?"

"Nengok kebun jati di Subang. Semalam Aulia bilang katanya bisa tumpang sari."

Mendengar nama tunangannya disebut, Renata terdiam. Dia menunduk memainkan gelas.

Mimih berpindah ke sofa panjang. "Ayo, sini!" Tangannya menepuk pahanya sendiri. Renata mendekat dan merebahkan diri di pangkuan sang nenek. Merasakan rambut dan kepalanya dibelai sayang.

Tak ada satu pun dari mereka bersuara. Tak terasa air matanya kembali mengalir. Inggar tersenyum melihat cara ibunya memperlakukan putrinya. Dia membiarkan keduanya dan pergi ke kebun belakang.

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang