10

10.9K 854 9
                                    

"Yang mau dibicarakan dalam rapat gak ada hubungannya sama divisi saya. Ngapain saya mesti hadir?" Renata mendengkus kesal.

Ben tersenyum, "Tapi saya mau kamu ada di sana." Dia melanjutkan aktivitasnya dan mengabaikan Renata.

Renata keluar ruangan direktur sambil bersungut-sungut.

****

"Gimana menurut Bu Renata?" Ben menoleh ke arah Renata. Semua mata memandang menunggunya berbicara.

"Maaf, Pak. Saya tak berhak berargumen di luar tugas utama saya." Renata menjawab diplomatis. Pak Gunawan mengembus napas lega.

Ben terlihat kesal, "Oke, saya tunggu perbaikan sistem dari bagian logistik. Jika perlu, pasang CCTV di sana. Berikan bonus yang pantas bagi karyawan dengan kinerja terbaik."

"Bukankah ujungnya urusan uang dan itu menjadi tupoksi Anda?" Dengan sarkas Ben menatap tajam Renata dan beranjak pergi dari ruang rapat. Wanda, sang sekretaris direktur, hanya mengangkat bahu lalu pergi mengikuti bosnya.

Renata membaca kembali agenda rapat: Pengaturan kerja karyawan bagian logistik untuk mengontrol penggunaan barang supplies. Dia geleng-geleng kepala. Hal-hal receh seperti ini mesti dibahas top manajemen.

"Kayaknya Pak Bos nyari perhatian Bu Renata, deh." Bu Santi menyenggol lengannya.

"Iya, matanya lirik-lirik mulu." Pak Gunawan tertawa geli.

"Tampaknya ada yang lupa nutup agenda rapat." Pak Tirta bergumam.

"Kita tutup sendiri aja di warung Pak Slamet, yuk. Laper, nih." Pak Jonas memberi usul. Jam sudah menunjukkan waktu istirahat.

"Oke. Kita ketemu di lobi." Renata menjawab. Semua meninggalkan meeting room dan kembali ke ruangan masing-masing.

****

"Boleh gabung gak?" Ben bertanya. Semua yang berada di dalam lift saling melirik. Pak Gunawan yang di rapat disudutkan oleh Ben tampak ogah-ogahan menjawab. Matanya mengarah ke atas. Pak Jonas dan Pak Tirta hanya tersenyum. Bu Santi, satu-satunya wanita yang ada di sana tak enak hati. "Boleh, kok, Pak. Tapi selera kita warung nusantara. Maklum, lidah kampung." Dia merendah.

"It's ok. Saya suka masakan Indonesia." Ben yang perawakannya bule menjawab.

Mereka keluar dari lift. "Kita nunggu Bu Renata di lobi, ya, Pak." Bu Santi berkata.

Tak lama Renata keluar dari lift eksekutif. "Maaf terlambat. Yuuukkk ...." Renata sedikit berlari menghampiri.

Berenam mereka beranjak keluar pintu utama.

"Nggak apa-apa, kan, saya gabung?" Ben berjalan menempeli Renata.

"Eh-- Oh? ... Kan udah jalan bareng, Pak." Renata menjauh, rikuh ditempeli bosnya.

"Kita pake mobil siapa?" Pak Tirta bertanya.

"Mobil saya kecil, gak muat."

"Saya juga."

"Saya juga."

"Gini aja. Kita pake dua mobil. Mobil Pak Tirta dan mobil saya. Eh, Bapak nggak keberatan 'kan numpang mobil butut saya?" usul Pak Gunawan.

Meluncurlah dua mobil ke arah rumah makan yang dituju. Pak Gunawan di balik kemudi tampak puas melihat tampang Ben yang datar di kursi belakang duduk sendiri sedangkan Renata di sampingnya memandang ke luar jendela berusaha menahan tawa.

****

"Kok bisa suka masakan tradisional Indonesia, Pak Ben? Anda, kan, belum lama tinggal di Jakarta?" Pak Tirta membuka obrolan. Mereka duduk lesehan menunggu pesanan datang.

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang