Semua mata memandang Renata dari bawah ke atas, atas ke bawah. Tentu saja, dia salah kostum. Ingin pergi, tiba-tiba seseorang berkata. "Ini anaknya Mbak Inggar, ya?"
"Iya, Bu." Renata mengangguk sopan dan tersenyum kecil. Dia tak tahu siapa yang menyapanya barusan. Renata merasa canggung, serba salah. Bagaimana tidak? Pakaiannya tak cocok untuk berada di komunitas para ibu majelis taklim yang saat ini sedang mengadakan pengajian di rumah Aulia, rumahnya Uak Sukma sekaligus calon mertuanya. Kemeja slimfit warna maroon yang digulung setengah lengan dan rok pensil selutut serta stiletto coklat susu dengan hak 5 cm benar-benar terlalu mencolok.
"Eh, Sayang. Ngapain berdiri di situ? Ayo, masuk." Lambaian tangan Sukma membuat Renata bergerak maju. Beberapa ibu bergeser memberikan jalan masuk.
"Perkenalkan ibu-ibu, ini Renata anaknya Inggar, keponakan sekaligus calon mantu saya." Semringah Sukma memperkenalkan Renata di depan komunitas pengajiannya. Renata mengangguk sopan.
"Alhamdulillah, akhirnya Bang Aulia dapet jodoh."
"Modis, seksi."
"Calon istrinya Si Mas, cantik banget, Bu Ustazah."
"Nggak nyangka, ya? Kirain penampilannya bakal kayak Teh Qorina. Salihah gitu."
"Rambutnya bagus."
Renata tersenyum sumir mendengar respon bersahut-sahutanSukma melingkarkan tangannya ke bahu Renata, "Masuk, yuk. Ada Qorina lagi tidurin Syamil."
Mereka menjauh dari teras dan ruang tamu menuju ruang makan.
"Eh, ada Kak Renata." Qorina menyapa calon kakak iparnya. Mereka saling cium pipi kiri dan kanan.Qorina sedang meninabobokan anaknya. Renata mengelus si kecil Syamil yang matanya terpejam.
Sapaannya terasa aneh di telinga Renata. Meskipun umurnya lebih tua, tetapi secara struktur kekeluargaan, dialah adik sepupu dan Qorina hanya memanggil nama, tak pernah memanggilnya dengan embel-embel kakak, mbak, teteh atau sapaan lain yang ditujukan pada wanita yang lebih tua.
Renata menyimpan lunch box di atas meja makan.
"Biasa pulang jam segini?" tanya Qorina. Matanya melihat jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam.
"Biasalah akhir bulan, kudu bikin laporan."
"Abang baru pulang minggu sore."
"Gak nanya."
Qorina tertawa mendengar jawaban calon kakak iparnya.Renata duduk di sofa tunggal yang ada di sana. Matanya terpejam cepat mendengar selawat para ibu pengajian.
****
Tubuhnya bergerak merasakan benda ditaruh di atas tubuhnya.
"Ah, Uak. Maaf, aku ketiduran." Selimut tersampir menutup setengah tubuhnya.
"Pengin bangunin takut ganggu. Tidurnya nyenyak banget." Uak Sukma tersenyum.
Renata melihat jam. Pukul sebelas lewat.
"Ya, ampun. Aku pulang, Uak." Renata terlonjak. Dia segera mencari tas.
"Nginep aja, ini sudah larut."
'Yang benar saja, baru sehari bertunangan, sudah berani menginap di rumah tunangan. Dulu-dulu sih bodo amat.' Renata sering tidur di kamar Arin.
"Nggak apa-apa, Uak. Aku udah biasa, kok, jalan jam segini."
Lalu tubuhnya menegak. Mampus, dia keceplosan. Hei, orang yang ada di belakangmu ini calon ibu mertuamu.
Renata berbalik. "Maksudnya, Jakarta masih rame, kok, jam segini. Aku kadang pulang larut kalau lembur." Uak Sukma tersenyum maklum."Pamit, ya, Uak." Renata mencium tangannya takzim dan segera berlari kecil ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Sukma menghela napas panjang. Begitu berat tugas Aulia untuk mendidik Renata.
∞∞∞∞∞
"Biasanya kamu nggak pernah mikir hal-hal kecil begitu." Rudi mengomentari yang barusan Renata katakan.
"Ini yang Mama takutkan. Kamu terombang-ambing sesuatu yang menjadi standar orang lain." Inggar menatap putrinya.
Renata berkata tentang hal yang mengganggunya semalam. Tatapan dan komentar para ibu pengajian di rumah Aulia. Mimih sedang tidur sehingga Renata leluasa mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Oke, mari kita luruskan sesuatu. Berbahagialah dengan cara kalian sendiri. Kami akan selalu mendukungmu, Sayang." Rudi memeluk anak gadisnya.
****
Jangan mengharapkan hal lebih saat bertunangan dengan seorang Ganindra Aulia. Tak ada satu pun percakapan yang terbangun di antara mereka berdua di aplikasi pesan yang Renata punya selain tentang kolak pisang. Foto profilnya pun hanya bergambar perahu kecil.
Sekarang, di sabtu sore dia menahan godaan tak mengangkat telepon Nita. Jumat siang Renata beralasan tak mampir ke apartemen Giselle karena harus memeriksa banyak berkas laporan keuangan bulanan. Biasanya di sabtu malam mereka akan pergi ke klub lalu berkeliling Jakarta mencari udara pagi. Ketika seorang mukmin bersujud di sepertiga malam, Renata dan kedua sahabatnya baru pulang ke rumah.
[Sorry. Seminggu ini gue cape banget.] Renata mengirim chat di grup setelah berkali-kali panggilan dua sahabatnya tak diangkat. Pandangannya lalu beralih ke satu nama yang beberapa hari terakhir ini sering menghubunginya. Ponsel dimatikan.
∞∞∞∞∞
"Lo baik-baik aja, 'kan?" Giselle menyejajarkan langkah ketika senin pagi mereka bertemu di lobi kantor.
"Nggak apa-apa. Cape doang, kok." Bersama pegawai lainnya, Giselle mengantri di depan lift. Renata berbelok ke sebelah kiri, lift khusus eksekutif.
"Hai!" Ben tiba-tiba berdiri di sampingnya. Bos baru, keponakan dari bos lama. Dialah yang minggu kemarin selama dua hari berturut-turut memintanya mempersiapkan aneka berkas untuk rapat sehingga tak sempat melakukan ini dan itu untuk malam pertunangannya. Renata waspada. Menyebalkan harus satu lift berdua dengannya. "Kamu mau ke mana?" Ben bertanya heran saat melihat Renata melangkah mundur dan pergi.
"Toilet, Pak."
****
Renata menatap pantulan dirinya di cermin besar toilet. Teringat peristiwa delapan tahun lalu di parkiran kampus.
"Aaawww ... d@mn ... sh!t ...." Renata berlari sejauh mungkin keluar dari sebuah mobil sport. Dia bersembunyi di balik pohon besar.
Tak lama seorang laki-laki keluar dari mobil. Wajahnya meringis kesakitan dan langkahnya tertatih. Sesekali dia mengusap selangkangannya yang terasa sakit. "S!al ... Sok suci ... Awas aja lo." Pria itu ... BEN.
Pergantian direksi disusul sikap Ben yang berusaha mencari perhatian membuatnya waspada.
Renata teringat perkataan Aulia di malam pertunangan mereka.
"Belum sampai satu jam minta kamu ke papamu, ada seorang Dion mengganggu. Aku tak siap ada Dion-Dion lain yang muncul dalam kehidupan kita nanti."Renata mengeluarkan ponselnya dan mengetik.
[Kalau ada waktu, kita nyari cincin]
Bang Aul
[Bukannya mau nyari bareng Raya?][Cincin tunangan, bukan cincin nikah.]
Bang Aul
[Oh]'Dasar pria tak peka. Kamu tak tahu sudah mengikat hati sama mantan bunga kampus. Masih ada kumbang tua yang mengincar madunya.' Renata menghela napas panjang keluar dari toilet.
∞∞∞∞∞
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPUPU TAPI MENIKAH
RomanceRenata bingung menghadapi desakan keluarga besarnya untuk segera menikah. Secara finansial dan kemapanan hidup, dia merasa sudah siap. Tetapi pengalaman buruknya setahun lalu ditinggal nikah meninggalkan trauma tersendiri. Apa jadinya jika sang ne...