5

10.4K 900 7
                                    

"Kecenderungan hati hal yang alami, Bun. Rasulullah pun mengakui lebih mencintai Aisyah dibanding para istri lainnya." Arin berbicara dengan bijak pada Sukma.

"Analogi kamu nggak pas, Rin. Abang belum memiliki ikatan halal dengan wanita itu." Raya membantah adiknya.

"Seumur hidupnya, Abang gak pernah memikirkan dirinya sendiri. Kita harus menghargai pilihannya dengan membiarkannya memilih sendiri pendamping hidupnya." Qorina berfilosofi.

Keempat wanita yang duduk di ruang makan kembali diam.

"Bunda nggak keberatan sama sekali dengan pilihan Abang. Apalagi dia memakai cara yang benar." Sukma berucap pelan.

"Hanya saja, siapa yang mau menyampaikan ini sama Mimih."

"Aku akan bicara sama Tante Laras, Bun." Arin menengahi.

∞∞∞∞∞

"Hhhmmm ... jadi gitu, ya. Saat ini Mimih masih dalam masa pemulihan." Lusa kemarin, Mimih dibawa pulang ke rumah Laras.

"Renata dan Tante Inggar gimana, Tan?"

Arin dan Laras berada di ruang kerja Laras. Mereka berdua kebetulan mengajar di kampus yang sama.

"Setahu Tante, dari awal Renata posisinya pasif. Dia nggak maksain, kok. Teh Inggar juga nyerahin sepenuhnya ke Renata."

"Arin takut hal sensitif ini bikin hubungan kekeluargaan kita jadi nggak nyaman."

"Nggak usah khawatir, Sayang. Mereka sekeluarga orang-orang terbuka."

"Kak Raya bilang, Renata kayak kesel gitu lihat Abang di rumah sakit."

"Kamu kayak nggak tahu watak Renata. Kalau marah, ya, marah. Kesel, ya, kesel. Dah gitu blasss ... lupa. Kita masih bingung kenapa dia ngambek, dia malah lupa pernah marah."

"Keponakan Tante."

"Sepupu kamu."

Mereka tertawa bersama.

∞∞∞∞∞

"Tahu nggak, Bang? Renata itu mirip Tante Laras waktu muda." Om Edi melemparkan kail ke tengah empang. Mereka sedang memancing di belakang rumah. Sejuk dan menenangkan.

Mengajar di kampus di ibukota tak lantas membuat Edi dan Laras tertarik untuk tinggal di sana. Jakarta terlalu sumpek. Mereka memilih pinggiran Bogor sebagai hunian. Menggunakan transportasi massal sebagai pilihan yang fasilitasnya sudah sangat nyaman. Rekan-rekan dosennya malah sering mampir ber-weekend ria di rumahnya. Pendopo besar di samping empang sering dimanfaatkan untuk acara keluarga.

"Kadang Om heran, Tante Laras, kok, mau-maunya diajak hidup susah sama Om. Padahal dia lajang kaya."

Aulia hanya tersenyum.

"Biasa tinggal di kota, pindah ke kampung. Tiap pagi sore naik turun kereta bawa perut gendut. Lha itu, sepupumu si kembar Indra Indri. Kalau mau, bisa saja dia bawa sedan baru bonus dari perusahaan tempatnya bekerja dulu."

Jika ingat itu, Edi merasa jika dulu dia terlalu keras pada istrinya, Laras. Mantan eksekutif yang mau diajak hidup susah. Menurunkan standar kelayakan hidup demi dirinya.

"Kok bisa, Om?"

"Katanya sih, cinta." Edi terkekeh.
"Dulu Tantemu bilang begitu. Disuruh kerja rodi pun mau, karena sayang.

"Pas punya si kembar, alasannya beda lagi. Mau ninggalin Om tapi kasihan. Ntar dia nikah sama laki tajir dan kaya, terus Om kalah saing sama suami barunya di hadapan si kembar. Kasihan sama mantan, katanya."

Aulia tertawa.

"Sekarang, Tante punya alasan baru lagi?"

"Justru itu, katanya mana ada cewek yang mau sama Om. Nggak punya surat wasiat cuma punya berkas rekam medik sama kartu Askes doang!"

Kali ini Aulia tertawa lepas. Setelah tawanya berhenti, dia bertanya, "Gimana Om bikin Tante jatuh cinta?"

Edi berpaling pada Aulia. Dia menatap dalam keponakan istrinya.

****

Laras tersenyum melihat keakraban sang suami dengan Aulia. Untung mereka berhasil mengkonfirmasi kebenarannya melalui Ustaz Zaki. Edi adalah teman lama ustaz yang mengisi kajian di masjid kantor Aulia. Ustaz Zaki mengatakan jika Aulia telah membatalkan proses taaruf dengan Sofia karena alasan yang syari lebih dari dua minggu yang lalu. Itu artinya, CV Sofia adalah berkas kadaluarsa yang dimanfaatkan Aulia entah untuk alasan apa.

"Maaf jika Tante melangkah terlalu jauh, Bang Aul. Hanya saja, kebohongan yang kamu lakukan mungkin akan meninggalkan luka bagi banyak orang."

****

Aulia memandang Mimih yang sedang diperiksa tensinya oleh Indri, adik sepupunya.

"Alhamdulillah, Laras senang Mimih sehat." Laras memeluk ibunya diikuti Indri.

"Kaila mau juga dipeluk." Seorang gadis kecil berumur tiga tahun menghampiri ketiganya. Tangannya terentang minta digendong.

"Auuuhhh ... cicit Mimih yang cantik. Sini, Sayang." Indri meraih tubuh anaknya ke pangkuan neneknya.

Keempat wanita beranak bercucu bercicit itu saling berangkulan.

"Mimih pasti senang dapat melakukan hal yang sama dengan Renata sama Teh Sukma." Laras melirik Aulia yang wajahnya memerah.

∞∞∞∞∞

"Aku nggak ada urusan sama taaruf Aulia dengan wanita lain." Renata berkata ketus. Tanpa tambahan 'Abang' di depannya.

"Kok, Tante ngerasa kamu kesal?" Laras menggoda keponakannya.

"Yang benar saja, Tan. Dia nggak sekufu sama aku." Wajahnya merona.

"Kamu kayak ngerti aja konsep sekufu dalam Islam. Bilang aja kamu nggak siap punya suami yang penghasilannya jauh lebih rendah. Keberatan ada orang yang bakal ngelarang kamu kelayapan ke klub. Nggak bakal suka diatur ini itu."

"Tante ngomong apa, sih?!" Renata mendesis menahan emosi.

"Sayang, Tante paham semua ketakutan kamu karena pernah berada di posisi yang sama denganmu." Laras menggenggam tangan Renata.

Renata terdiam. Dia ingat cerita mamanya bahwa Tante Laras dulunya seorang eksekutif perusahaan. Resign setelah menikah dengan Om Edi lalu menjadi dosen praktisi di sebuah kampus negeri. Bedanya, mereka menikah karena cinta. Bukankah cinta itu jembatan terbaik untuk meniadakan jurang perbedaan?

Sedangkan dia dan Aulia? Renata menghela napas.

"Aku nggak siap ninggalin semua yang aku miliki. Pekerjaan, teman, kesenangan. Semuanya."

Bolehkah egonya terlalu serakah menggenggam semua pencapaian dirinya? Tak mau ada seorang pun termasuk suaminya nanti menjauhkannya dari semua hasil perjuangan dan lingkungan sosialnya saat ini.

"Emang kamu yakin Aulia bakal melakukan semua yang kamu katakan?" Laras bertanya serius.

"Aku--"

'Aku nggak yakin. Namun, dulu Arin sering cerita jika Abangnya pria yang cerewet dan suka mengatur. Dengan tampang so alimnya itu, mungkin saja kelakuannya lebih ekstrim daripada sekadar menjewer adik kecilnya yang malas salat.'

"Apa yang harus aku lakukan, Tante?" Suara Renata melemah.

"Kamu hanya perlu bilang IYA saat minggu malam nanti Aulia menghadap papamu untuk meminangmu secara resmi."

∞∞∞∞∞

SEPUPU TAPI MENIKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang