"Ga ada kemana ? mereka masih pada ngumpul tuh Ron dilapangan. Tadi aja ngelilingin kamu mereka, masa gak keliatan?"
Aku hanya terdiam mendengar pernyataan kang Robi.
Part 10
Hantu Toilet 2
Kang Robi beranjak pergi berkumpul dengan para pembimbing, aku sungguh merasa terkejut ketika mendengar pernyataan kang Robi. Bagaimana tidak, Mata Batinku yang kudapatkan dengan susah payah kini tidak berfungsi lagi.
Aku terus berpikir kenapa ini bisa terjadi kepadaku, padahal sepertinya aku tidak melakukan hal aneh, dan hanya berjumpa saja denga makhluk-makhluk lain.
"Ron kamu kenapa kok diem gitu?"
Popi bertanya sambil menepuk pundakku, aku hanya melemparkan senyum dan sambil menggelengkan kepalaku. Aku melihat kearah para peserta mereka sedang berjalan membubarkan diri kembali kekelas untuk beristirahat. Karena acara jerit malam akan dimulai pada jam 23.30 nanti.
"Kak!"
Aku mendengar suara yang memanggilku dengan nada yang tak asing, saat kutoleh ternyata Sheril. Dia memasang wajah masam dan sedikit memanyunkan wajahnya.
"Kenapa dek? kamu gak istirahat kayak yang lain?"
"Kakak beneran bisa liat?"
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Sheril dengan kondisiku sekarang yang mengetahui mata batinku sudah tertutup lagi. Aku mencari jawaban yang kira-kira bisa membuat Sheril setidaknya merasa tenang.
"Sini deh dek !" Aku menarik tangannya dan mulai berbisik kepadanya.
"Kakak tadi boong de, kakak ga bisa liat, Cuma kan biar reputasi kakak ga jatuh de!"
Sheril menjauhkan kepalanya dariku dan memasang wajah heran dan masih memanyunkan wajahnya.
"Beneran yang kakak bilang barusan?"
Aku hanya menganggukan kepalaku sebagai tanda benar, Sheril menghela nafas dan wajahnya terihat sedikit tenang nampak dari senyumannya. Akupun merasa tenang karena aku bisa menyembunyikan rahasiaku dengan baik. Ditengah senyumanku menikmati ketenangan, Popi mulai menggandeng tanganku lagi tanpa malu dihadapan Sheril.
"Ehem.. !"
Sheril berdehem kepadaku, jelas sekali dari nadanya itu adalah deheman menyindir tidak suka dengan pemandangan yang sedang terjadi dihadapannya.
"Kakak pacaran sama bu Popi?"
Sheril bertanya dengan mendelikan mata nya seperti tatapan tidak senang, atau bahkan terlihat seperti seorang wanita yang sedang cemburu. Sesekali dia mendelik juga kearah Popi yang asyik menggandeng tanganku dan menyenderkan kepalanya kebahuku.
"Enggak kok dek !" jawabku dengan expresi malah seperti ketakutan.
Mendengar jawabanku Sheril malah melotot, bak seorang wanita yang memergoki suaminya selingkuh.
"Hei kamu yang disana ngapain? cepet istirahat masuk ruangan kelas!"
Terdengar suara guru pembimbing menegur Sheril untuk segera masuk ke kelas dan bergabung dengan siswi lain, kemudian Sheril berlalu begitu saja meninggalkanku tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Hanya wajah masam dan pelototan matanya saja yang kulihat sebelum dia memalingkan wajahnya.
"Itu siapa Ron?" Popi bertanya kepadaku dengan pelan.
"Oh dia adek aku, namanya Sheril"
"Adek kamu? kok ga mirip? adek kamu mah cantik, kok kamu enggak?"
"Ya enggak lah aku kan cowok Pop, makanya aku gak cantik" jawabku dengan senyum kecil.
Sebenarnya aku dan Sheril bukanlah saudara kandung, Papa dan mama mengadopsi Sheril ketika dia masih bayi.
12 Desember 2001
Ketika orangtuaku dalam perjalanan kepasar subuh-subuh berjalan kaki, sebenarnya kami keluarga yang cukup berada dan mempunyai mobil. Namun dengan alasan kesehatan orangtuaku senang berjalan kaki kepasar karena tidak begitu jauh, mungkin sekitar lima belas menit jaraknya dari rumah kami yang dulu.
Orang tua ku biasa kepasar melewati jalan pintas dengan melewati gang sempit karena jika tidak ,maka harus berjalan dengan memutar. Disaat melewati gang itulah orang tuaku mendengar samar-samar suara tangisan bayi dan mulai mencari sumber suaranya.
Menurut cerita yang kudengar dari mama, Sheril ditemukan didalam drum sampah terbungkus dengan kain samping (jarik ) dan disimpan dengan kardus. Didalam kardus orangtuaku juga menemukan secarik kertas beserta amplop berisi sejumlah uang, dikertas tersebut bertuliskan..
"Tolong rawat bayi ini, saya tidak sanggup untuk merawatnya"
Begitulah kata-kata yang bertuliskan dalam kertas itu, sebenarnya ketika sedang membaca kertas tersebut orangtuaku melihat seorang wanita mengintip dari kejauhan memandangi kami dan menutup sebagian wajahnya dengan tangan,.
Berdasarkan penuturan mama, wanita itu terlihat cantik biarpun wajahnya ditutupi setengah dan hanya terpapar sinar lampu jalan yang tidak begitu terang, dan benar saja wajah cantik itu diwarisi oleh Sheril.
Papa berinisiatif berlari kearah wanita tersebut, namun wanita itu menyadari papa sedang berlari kearahnya dan segera kabur. Papa bercerita dia mendengar suara motor ketika menghampiri wanita tersebut, namun apadaya wanita itu berhasil kabur.
"Pah gimana ini? mau kita rawat aja?" ujar mama dengan senang.
Wajar saja dia merasa senang, karena dua tahun lalu ketika aku berusia empat tahun, mama baru saja menjalani operasi pengangkatan Rahim karena dia menderita penyakit yang mengharuskan operasi. Alhasil dia tidak dapat mengandung lagi, dan dengan ditemukannya bayi Sheril bagaikan muziziat untuk mama.
"Mama yakin? gak baiknya kita cari dulu orangtuanya ma?"
Mama tidak menjawab dan hanya memasang wajah kecewa, papaku adalah tipe orang yang tidak ingin melihat keluarganya menangis, biarpun dia adalah sosok lelaki tegas dan garang.
"Ya udah kalo mama inginnya begitu, kita rawat bayi ini"
Mendengar pernyataan papa wajah mama langsung berganti dari ekspresi kecewa menjadi berbinar-binar bak mendapat durian runtuh. Setelah sepakat untuk merawat bayi Sheril, lantas orang tuaku pulang dan batal berbelanja.
Aku sangat mengingat kejadian pagi itu, biarpun ketika itu aku berusia enam tahun. Ketika aku bangun dari tidur aku mendengar suara ramai ditengah rumah, aku berjalan keluar dengan baju piyama yang berantakan. Sambil mengucek mataku aku bertanya kepada orangtuaku.
"Mah, udah masak belum? ade laper" ujarku dengan wajah sedikit mengantuk, namanya juga masih anak-anak.
"De..sini nak.. mama punya kejutan buat kamu!"
Mamaku memanggil dengan nada ceria, semantara papa hanya tersenyum saja.
Lantas aku menghampiri mereka dan mendapati seorang bayi perempuan tengah meminum susu dengan dot. Dot yang digunakan adalah dot milikku karena terlihat dengan jelas ada nama Roni di dot tersebut.
"Ini bayi siapa mah?" tanyaku dengan wajah polos khas anak enam tahun.
"Ini adek kamu de, cantik ya liat deh"
Akupun melihat lebih dekat kepada bayi itu dan memang seingatku Sheril sangatlah lucu. Aku dengan spontan mencolek-colek pipinya yang chubby, aku merasa sangat senang.
"Karena sekarang ada adek kecil, sekarang Roni udah jadi kakak. Mama panggil kakak yah mulai dari sekarang"
"Yeay sekarang punya adek, yey yey yey yey!" aku ingat dengan jelas aku berceloteh dengan riang.
Aku benar-benar mulai mengerti arti kata adik angkat ketika aku duduk dikelas 5 SD, ketika itu Sheril berusia lima tahun. Namun aku tetap menganggapnya sebagai adik sendiri, ditambah dia itu selalu manja kepadaku.
Hingga saat aku duduk dibangku kelas tiga SMP aku mendapati Sheril tumbuh dengan badan bongsor, meski dia duduk dibangku kelas lima SD. Tubuhnya sudah seperti anak SMP dengan dada nya yang tumbuh cepat.
Aku sempat hilang akal dan pernah menaruh hati kepadanya, namun aku berpikir kembali ini bukanlah hal bagus. Aku tidak dapat menyukai wanita lain hingga akhirnya aku bertemu dengan Linda.
Present day.
"Ron kok malah ngelamun?"
Aku sedikit terkejut mendengar Popi dan juga tepukkan tangannya dipundakku.
"Eh sorry Pop, tadi lagi kepikiran sesuatu"
"Mikirin aku yah ..hayo ngaku!"ujar Popi dengan senyumannya sambil mecolek pipiku, aku hanya tersenyum.
Kulihat jam di HP sekarang menunjukkan pukul 21.00, aku berniat untuk kembali kerumah. Namun tanganku masih digandeng oleh Popi dan dia masih bersender kepadaku. Kulihat dari kejauhan Kang Robi datang menghampiriku.
"Ron kamu mau pulang ?" kang Robi bertanya kepadaku.
"Iya kang, kayaknya saya pulang, tugas saya juga udah selesai kan"
Kang Robi memasang wajah seperti sedang berpikir dan mengelus janggut tipisnya, kemudian menatapku.
"Ron, kalo saya minta tolong sama kamu bisa gak?"
"Minta tolong apa kang?" aku memasang wajah heran.
"Jadi gini, Popi kan sekarang kondisinya lagi kurang baik, terus dia tenang banget diem disisi kamu. Kalo kamu gak keberatan" kang Robi menghentikan omongannya, aku hanya menunggu.
"Kalo kamu gak keberatan bisa temenin Popi seenggaknya mala mini aja, gimana ? nanti saya kasih imbalan kalo perlu!" kang Robi berkata dengan wajah sedikit memohon.
Akupun akhirnya dengan menerima permintaan Kang Robi, ditambah aku merasa khawatir dengan Sheril. Disaat para siswa sedang istirahat, para pembimbing sedang melakukan brieving dengan para senior yang dipilih menjadi helper panitia.
Mereka sepertinya sedang mempersiapkan acara selanjutnya yaitu jeriit malam, Kang Robi masih ada didekatku dan menyulut rokoknya yang kulihat kali ini bukan rokok kretek, namun cerutu.
"Kang gak ikutan Brieving, guru yang lain pada Brieving?" aku mencoba membuka pembicaraan.
"Eh iya, kamu belum tau ya saya disini sebagai apa. Saya kepala sekolah disini Ron"
Aku sedikit melongo mendengar pernyataan kang Robi karena dia sudah menjadi kepala sekolah diusia muda, ah tapi mungkin ada alasan khusus. Setelah berpikir sejenak aku teringat jika ini adalah SMA swasta, mungkin saja ini diwariskan.
"Gak usah melongo gitu Ron, ini sekolah tadinya punya ayah saya. Cuma sekarang ayahnya udah tua dan gak ada yang nerusin. Saya anak semata wayang yang lahir pas ayah saya udah tua" kang Robi menjelaskan.
"Kang, saya mau nanya .. kok mata saya tiba-tiba gak bisa ngeliat ghaib lagi ya?"
Kang Robi seperti biasa tidak langsung menjawab pertanyaanku dan menikmati cerutunya. Aku dengan sabar menunggu.
"Saya kurang ngerti sama hal begituan sebenarnya Ron, mungkin karena factor ngebukanya lewat cara itu. Kenapa gak minta dibukain aja ke orang pintar biar lebih kuat matanya?"
"Oh gitu ya kang, entahlah kang, saya juga ga paham"
Aku mencoba menanyakan kepada Arif dengan meng-smsnya namun Arif tidak menjawab. Akupun mencari jawaban di internet namun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Aku menoleh kepada Popi dia tertidur sambil menyender kepundakku, tiba-tiba aku merasakan kantuk dan memutuskan tidur sambil duduk menahan kepalaku diantara lututku.
"Jang ...." (panggilan untuk anak muda dalam bahasa sunda)
"Jang....."
Aku mendengar suara seorang kakek-kakek, aku meluaskan pandangan. Aku berada seperti dijalan setapak ditengah hutan dan berkabut, malam ini cukup gelap namun aku terbantu oleh terang bulan.
"Jang....!"
Kembali aku mendengar suara kakek-kakek memanggil. Aku berjalan menyusuri jalan setapak itu, aku menatap lurus kedepan. Namun ketika aku menengok kearah kiriku,"Astagfirullah!!!"
Aku melihat seorang kuntilanak tengah menggendong bayi, wajah kuntilanak yang kulihat tidak hancur seperti yang kulihat sebelumnya, wajahnya utuh namun tanpa bola mata, matanya bolong, Kuntilanak tersebut menyeringai kearahku.
Kutengok kearah bayi yang sedang digendongnya, mata bayi tersebut juga bolong dan tidak bergerak sama sekali. Aku melanjutkan langkahku dengan pelan namun langkah kakiku seperti melayang, kutengok kearah kanan aku mendapat seorang Pria muda sedang duduk tertunduk membelakangiku menggunakan pakaian pangsi watna hitam, terlihat jelas tersinari oleh cahaya bulan."Kang ?"
Aku mencoba menyapa Pria tersebut, dia hanya diam. Saat aku menggoyangkan badannya.
"PLUK"Kepala Pria tersebut lepas dan jatuh menggelinding berputar, aku sangat kagat melihatnya namun tidak berlari. Anehnya kepala tersebut memutar menghampiriku dan kulihat dengan jelas wajahnya menghadap kearahku, wajah yang hanya kepala itu tersenyum kepadaku dengan mata bolongnya.
"ANJEEENG!!"
Tanpa sadar aku berteriak dan berkata kasar, tubuhku mulai bisa digerakan. Ketika aku berbalik kearah jalan setapak aku melihat banyak Pria tanpa kepala yang menggunakan pakaian pangsi, sekitar berjumlah delapan orang mungkin. Aku berlari menjauh dari mereka, namun semakin aku berlari malah terasa semakin berat dan bahkan aku merasa tidak sampai-sampai keujung jalan.
"HIHIHII"
Aku mendengar suara kuntilanak tertawa dengan jelas diatasku, aku spontan melirik keatas dan mendapati kuntilanak tersebut terbang dengan menundukan kepalanya menghadap kearahku. Wajahnya mirip seperti hantu yang menjilati wajahku saat magrib tadi namun kulitnya berwarna putih pucat.
"HIHIHIHI"
Deg, aku terbangun....rupanya aku bermimpi, namun suara kuntilanak tersebut masih terdengar. Aku menengok kearah kanan dan kiri namun tidak terlihat apapun. Kulihat kesisiku Popi sudah tidak ada, aku mendapati tubuhku ditutupi oleh jaket pink, dan aku mengenal jaket ini. Jaket ini adalah jaket milik Sheril.
Kulihat kearah lapangan para peserta sudah berkumpul dan berbaris sesuai kelompok, aku juga melihat Popi sedang ada dikerumunan. Rupanya dia sudah membaik dan menjalankan tugasnya lagi, aku mencoba melirik keujung barisan sebelah kanan tempat barisan Sheril duduk ketika acara bedah buku tadi, dan aku melihatnya.
Dia menatap kearahku dengan wajah khawatir seperti melamun, aku melambaikan tangan kepadanya. Menyadari aku melambaikan tangan dia tersenyum dan melambaikan tangannya juga kepadaku. Dia terlihat sangat manis mengenakan seragam olehraga yang terlihat cukup ketat.
Aku merasakan perutku melilit, aku ingin buang air besar. Aku teringat Popi tadi buang air besar ditoilet dekat masjid dimana ada ibu dan bapak kantin. Dengan cepat aku menyimpan jaket Sheril dan berlari kearah toilet dekat masjid.
Dikantin aku tidak mendapati siapapun, kulihat jam menunjukkan 23.45. Aku segera masuk ke toilet karna rudal sudah siap meluncur.
Toilet ini berjejer seperti toilet sekolah pada umumnya, dengan bagian atas yang terbuka dan asbes sebagai atapnya. Aku segera jongkok untuk melepaskan hasrat duniawiku, ah lega rasanya, aku merasa senang. Dan seperti biasanya kesenangan ku tidak berlangsung lama, Karena aku mendapati diember tempat air tidak terdapat gayung, melainkan potongan botol air mineral satu liter.
"Bah apes banget kagak ada gayungnya" aku bicara sendiri.
"Byur Byur"
Aku mendengar suara air disebelah seperti orang cebok dengan air yang cukup besar cipratannya, terdengar dari suaranya, mungkin orang ini sudah beres. Aku dengan terpaksa berniat untuk meminjam gayung ke toilet sebelah karena aku merasa akan sulit untuk cebok dengan potongan botol air ini.
"Punten, bisa pinjem gayungnya kalo udah selesai ? disini gak ada gayungnya" ujarku kepada toilet sebelah.
"Boro-boro gayung, hulu ge teu boga (kepala aja gak punya)"Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Batin They Among Us
HorrorCerita Horor Real-Fiksi yang diangkat dari berbagai pengalaman nyata Penulis dan kerabat Penulis yang kemudian dirangkai menjadi sebuah jalan cerita. Kisah seorang penulis yang membuka Mata Batin demi materi Buku Novelnya, awalnya tak ada masalah se...