11. Jurig Kincir

471 28 3
                                    

"Punten , bisa pinjem gayungnya kalo udah selesai ? disini gak ada gayungnya" ujarku kepada toilet sebelah.

"Boro-boro gayung, hulu ge teu boga (kepala aja gak punya)"

Part 11

Jurig Kincir

Mendengar suara dari toilet sebelah aku merasa cukup terkejut, ditambah sosok disebelah adalah sosok yang masuk kedalam mimpiku tadi. Namun entah mengapa aku tidak merasa terancam oleh sosok ini, karena dia tidak mengganggu setelah mengucapkan hal tersebut kepadaku.

"Pak?"

aku mencoba kembali berbicara kepada sosok disebelah.

"Iyah?"

Aku mendengar jawaban dari sosok disebelah, kenapa dia masih berada disana, bahkan menjawab pertanyaanku.

"Teu gaduh sirah geuning tiasa nyarios? (gak punya kepala kok bisa ngomong?"

Tidak ada jawaban dari bilik sebelah, aku merasa ganjil dan juga penasaran. Segera aku cebok menggunakan potongan botol dengan sedikit susah payah.

Setelah beres memakai celana, aku memberanikan diri mengintip ke toilet sebelah. Aku membalikan ember sebagai pijakkan,seperti biasa aku akan melihat dengan cepat.

"Astagfirullah"

Bukan aku yang mengucapkan astagfirullah, tapi sosok pria yang sedang jongkok menikmati rokoknya ditoilet.

"Eh bapak, kirain hantu pak" aku berkata dengan sedikit senyum mesem.

"Eh maaf dik,saya kira bukan orang yang minta gayung"

"Ya udah pak saya, maaf ganggu"

Aku mengakhiri pembicaraan dan segera keluar dari toilet, ternyata bapak tersebut ikut keluar dari toilet. Jika dilihat dari penampilannya tidak terlihat seperti seorang pembimbing, kuperhatikan dia menggunakan pakaian pangsi (pakaian silat berwarna hitam).

Aku sempat curiga namun aku mencoba berpikir bersih mungkin bapak ini hanya senang menggunakan pakaian tradisional, saat aku hendak bertanya dia berbicara duluan.

"Maaf dik saya kira tadi yang minta bukan orang, suka ada yang jahil" bapak itu menjelaskan.

"Maksud bapak?"

"Ngobrolnya jangan disini dik, diwarung bapak aja"

Bapak tersebut kemudian mengajakku berjalan meninggalkan toilet, setelah mengobrol cukup lama, rupanya bapak ini adalah suami dari ibu kantin yang merangkap sebagai penjaga sekolah juga. Beliau jarang pulang kerumah dan sering menginap diwarungnya.

"Tadi maksud bapak suka ada yang jahil gimana pak?"

"Oh itu, ya saya pernah dimintai pinjem korek sama toilet sebelah, saya lempar itu korek. Tapi pas saya sadar, masa iya ada orang di toilet malem-malem. saya intip ternyata hantu kepala buntung"

"Terus bapak gak takut?"

"Ya saya sih biasa aja dik, udah terbiasa yang penting saya gak ganggu mereka. Disini tuh konon pas jaman jepang pernah ada eksekusi pesilat yang memberontak, mereka dipancung semua dik. Saya lumayan terbiasa sih liatnya"

Aku berpikir mungkin sosok hantu tadi hanya mengenalkan dirinya kepadaku lewat mimpi, tapi dimimpi mereka berjumlah delapan orang, kenapa hanya satu yang terlihat olehku ?

Aku tidak begitu mempermasalahkannya, dan mulai mengobrol ngalor-ngidul dengan bapak kantin ditemani kop buatannya.

Tak terasa kami mengobrol cukup lama, sama sekali aku tidak merasakan takut atau apapun mungkin karena bapak kantin ini pintar melucu. Kulihat jam di HP ku sudah menunjukkan pukul 01.20, aku merasa penasaran dengan kegiatan para siswa yang sedang melakukan jurit malam, terutama penasaran kepada adikku Sheril.

Aku berpamitan kepada bapak penjaga warung tak lupa berterimakasih atas jamuan Kopi nya, bapak itu tersenyum kepadaku dan tiba-tiba saja dia berkata

"Hati-hati!"

Aku tidak mengerti dengan ucapan bapak tadi, karena setelah obrolan yang hangat tiba-tiba dia berkata seperti mengingatkan. Namun dengan wajah tersenyum, seperti biasa aku tidak terlalu menghiraukan.

Dilapangan sudah tidak ada siswa yang berkumpul, sepertinya mereka semua sudah pergi mengikuti acara jurit malam. Aku menghampiri Popi yang sedang duduk bersama salah satu guru pembimbing wanita, dari penampilannya terlihat sudah cukup berumur.

"Pop!"

"Eh kamu Ron, dari mana aja?"

"Tadi habis ngopi dulu Pop" jawabku dengan wajah santai.

Namun tidak dengan wajah Popi dan juga guru disebelahnya, mereka terlihat seperti kebingungan.

"Ngopi dimana kamu dik?" Guru pembimbing disebelah Popi bertanya kepadaku dengan heran.

"Saya ngopi disana diwarung deket mesjid, emang kenapa ya?"

Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat.

"Yang ngelayanin nya kaya apa dik?"

guru wanita tersebut bertanya dengan pelan dan seperti takut, begitupun dengan Popi yang memasang wajah herannya.

"Tadi yang ngelayanin bapak tua, pake baju pangsi, rambutnya ubanan, sama kumis jenggot putih" aku menjelaskan.

Mereka berdua saling tatap,kemudian sang guru menghela nafas.

"Dik, bapak kantin itu udah pulang tadi jam sepuluh malam soalnya anaknya sakit, terus bapak kantin itu gemuk dan gak setua yang seperti adik bilang"

Aku melihat kearah Popi, dia hanya diam seolah mengiyakan hal yang dikatakan oleh guru tersebut.

"Wah berarti saya tadi dibikinin kopi sama siapa dong ya"

Aku memasang wajah bodoh sambil menggaruk-garuk kepalaku, agar mereka tidak khawatir.

"Pop, ko siswa ga keliatan ?" aku mencoba membuka topik baru.

"Oh, siswa kan lagi jurit malam. Rute nya beda-beda dibikin tiga jalur supaya cepet beres. Semuanya menuju kearah lapangan yang ada di balai desa, nanti kumpul disana sampe subuh baru balik lagi kesini"

Aku berpikir memang jika jalur tidak dibagi tiga, akan menghabiskan banyak waktu karena peserta terdiri dari seluruh siswa.

"Satu kelompoknya dibagi berapa orang Pop?"

"Emm satu kelompoknya ada 10 orang, karena SMA ini swasta jadi ga terlalu banyak siswa. 10 orang aja cukup"

Aku langsung duduk dipinggir Popi dan mulai berkenalan dengan guru wanita tadi, namanya adalah ibu Dewi, beliau sudah cukup lama mengajar disini dan cukup tau seluk-beluk hal tentang sekolah ini. Namun ketika aku menanyakan lebih jauh, beliau seperti enggan menjelaskan.

Aku melihat kearah lapangan, disana hanya tampak lima orang guru termasuk Kang Robi. Mereka tampak sedang berkomunkasi menggunakan handie talkie, mimik mereka tampak serius seperti ada hal yang tidak beres.

Sedetik kemudian Kang Robi melambaikan tangan seakan menyuruh kami bertiga menghampirinya. Aku,Popi, dan bu Dewi dengan segera berjalan menghampiri Kang Robi, Wajahnya tampak gelisah dan aku menduga ada hal yang tidak beres sedang terjadi.

"Ada berita buruk, semua peserta sudah berkumpul dilapangan balai desa. Tapi ada satu kelompok yang belum tiba ke lokasi"

"Kelompok siapa pak?" ujar salah satu guru pembimbing.

"Kelompok kelas satu terakhir, ini daftar namanya" ujar Kang Robi sembari menunjukan kertas berisikan tulisan tangannya.

Aku terkejut karena nama Sheril ada dikertas tersebut, namun aku mencoba tenang dan berharap Sheril baik-baik saja. Kang Rob terdiam seperti sedang menyusun tindakan selanjutnya.

"Sekarang kita bagi orang yang ada disini, ada delapan orang termasuk Kang Roni, ibu Dewi sama Popi duluan saja ke Lapangan nyusul yang lainnya pake motor lewat jalan besar. Yang Laki-laki kita bagi tiga masing-masing dua orang"

Kang Robi kemudian membagi kami dan aku kebagian bersama Kang Robi, mungkin karena aku termasuk kategori tamu. Popi dan Bu Dewi sudah berangkat meninggalkan sekolah, aku dan para guru lainnya mulai berjalan kearah jalur yang dilewati para peserta.

"Kang kita Cuma ber-enam aja yang nyari? apa gak kurang orang?" ujarku.

"Guru lain udah ada yang masuk ke kebun buat nyisir dari arah berlawanan, kita sisir dari sini"

Aku dan kang Robi masuk ke jalur satu, sementara sisanya ke jalur dua dan tiga. Disepanjang jalur aku sesekali melihat penunjuk jalan berupa arah panah dipohon dan juga ditanah agar peserta tidak tersesat.

Suasana terlihat cukup mencekam karena malam ini sinar bulan terhalang oleh awan, aku tidak mendapati sosok apapun saat berjalan menyisir jalur, hanya suasana hening dan suara jangkrik saja yang kudapati. Sesekali aku melihat objek bergerak namun ternyata hanya kelalawar, aku melihat bayangan putih yang setelah kusoroti ternyata hanyalah karung yang membungkus buah nangka.

Aku dan Kang Robi tidak banyak bicara ketika sedang menyusuri, kami hanya berteriak memanggil nama mereka. Aku terus memanggil nama Sheril dan kulihat jam di HP ku menunjukkan pukul 01.45. saat melihat HP aku menyadari icon diatas HP-ku, yaitu icon GPS.

"Kang siswa diizinin bawa HP gak pas acara jurit malam?"

"Ya enggaklah Ron, gak boleh semua HP disimpan diguru. Pas acara mulai HP dikumpulkan semua"

Aku juga berpikir demikian sepertinya tidak mungkin siswa membawa HP demi alasan peraturan, namun aku menyadari satu hal yaitu Sheril mempunyai dua HP, yang satu nokia jadul dan satu lagi samsul android.

Dia tidak akan sanggup jika HP nya diambil semua, tak dapat kupungkiri dia termasuk kids zaman now yang gak bisa lepas dari gadget.

Aku lantas mencoba melacak keberadaan Sheril menggunakan fitur find my phone lewat gmail, kebetulan aku tau email dan juga sandinya. Aku pernah mengingatkan Sheril agar jangan pernah mematikan data seluler, saat kucoba ternyata berhasil.

Aku menemukan lokasi Sheril di GPS yang jaraknya beberapa ratus meter dari posisiku, lokasi di GPS menunjukan dia berada ditengah kebun karena lokasi sekolah juga ada di maps sehingga aku yakin Sheril membawa HP nya. Namun cukup sulit karena kami sedang berada ditengah kebun yang notabene tidak dapat melakukan navigasi.

"Kang saya tau lokasi Sheril, kita ikuti arahnya kang"

"Tau darimana Ron ? siswa kan gak bawa HP?"

"Emm...adik saya agak nakal Kang dia pasti sembunyiin HP ditempat pribadinya" aku sedikit merasa malu mengatakannya.

"Coba ditelfon atau dichat dulu kalo dia emang bawa HP"

Aku benar-benar tidak terpikir, benar juga ucapan Kang Robi. Mungkin saking paniknya aku, dengan sigap aku menelfon no Sheril.

"tuut..tuutt... no yang anda tuju tidak menjawab"

Terdengar suara operator diujung telfon, Sheril tidak mengangkat telfonku meski sudah kulakukan berkali-kali. Kali ini aku mencoba mengirim pesan melalui sms dan aplikasi chat, namun hanya terkirim saja.

Aku merasa semakin khawatir, aku menatap kearah Kang Robi yang sedang sibuk menyoroti kebun dengan senternya.

"Akang kan bisa liat ghaib. Kenapa gak coba nanya sama sama mereka?"

Kang Robi kemudian berbalik dan mendekatiku.

"Maaf Ron , saya emang bisa liat. Tapi sebatas kepada mereka yang punya perjanjian sama saya!"

"Maksudnya perjanjian Kang?" aku merasa tidak mengerti.

"Hantu disekolah itu sebenarnya piaraan almarhum ayah saya, mereka itu sengaja disimpan disekolah buat ngejaga sekolah dari makhluk lain yang punya niat jahat ke warga sekolah" kemudian dia menyalakan cerutunya.

"Saya gak bisa liat semuanya Ron"

Sedikit banyaknya aku mengerti yang Kang Robi ucapkan, andai saja mata batinku terbuka mungkin aku akan memberanikan diri bertanya kepada penghuni kebun.

"Ya udah kang sekarang mah ikuti aja GPS di HP saya, semoga aja mereka ketemu"

Kang Robi pun setuju, mungkin dia sangat merasa tanggung jawab sebagai kepala sekolah.
Kami mengikuti lokasi yang tertera di HP ku, ternyata lokasi ini sangat jauh dari jalur yang ditentukan.

Sepertinya kelompok ini ada yang menuntun, karena bagiku sudah sangat jelas penunjuk jalan yang disediakan panitia, sedangkan lokasi ini keluar dari jalur.

Kami terus berjalan sampai kami tiba disebuah jalan bercabang, Kang Robi tiba-tiba menahan langkahku, dan menyoroti jalan setapak tersebut.

"Kenapa kang?"

"Seingat saya gak ada jalan bercabang disini Ron, tapi saya lupa kearah mana. Itu di GPS mengarah kemana Ron?"

"Kearah depan kang , kalo gitu kita bingung dong mau kiri apa kanan?" aku mulai khawatir.

Aku tiba-tiba teringat salah satu adegan di film horror oculus yang pernah aku tonton dengan Sheril, pemeran utama menggunakan Kamera HP nya untuk melihat ilusi yang dibuat oleh hantu. Aku ingat betul adegan itu, dia melihat pecahan piring namun ketika dilihat di kamera HP tidak ada serpihan.

Aku langsung mempraktekan hal serupa, segera ku atur menjadi mode rekam video dan langsung mengarahkan kearah jalan tersebut.

"Kang tolong sorotin jalannya kang"

Dan ternyata benar dugaanku, karena dilayar HP ku jalan berbelok ke kanan.

"Kang coba senternya ke kiriin dikit" aku meminta kang Robi.

Dan setelah kuperhatikan disebelah kiri adalah gawir (tebing kecil ) yang sepertinya cukup tinggi.

"Kang kita ambil kanan aja, ke kiri mah tar jatoh ke lubang"

Kang Robi hanya mengangguk seakan mengerti yang aku katakan, kami lanjut berjalan dan beberapa puluh meter didepan aku melihat cahaya lampu senter. Aku yakin mereka pasti para peserta, aku dan Kang Robi lantas berlari kearah mereka, didepan kami ternyata ada sungai yang cukup lebar dan kelihatannya cukup dalam dilihat dari keruhnya air.

"Ooooii!!"

Aku berteriak kearah mereka dengan keras, namun tidak ada jawaban. Sinar bulan mulai terasa terang, langit mulai cerah dan awan perlahan tergeser oleh angin.

Aku bisa melihat mereka dengan jelas, mereka ada ditengah kebun pohon pisang yang tidak terlalu rapat. Mereka terlihat seperti berputar-putar saja dalam kebun itu.

"Kang gimana ? mau nyebrang sungai?"

"Iya kita nyebrang aja, ga dalem kok Cuma sepaha disaya. Saya pernah kesini...ada jembatan juga jauh dari sini mah"

Aku dan Kang Robi memutuskan menyebrangi sungai, celanaku basah dan sangat terasa dingin. Aku dan Kang Robi sontak berlari kearah mereka, namun mereka seperti tidak menyadari kedatangan kami.

Padahal kami membawa senter yang cukup terang, dan yang lebih parah jarakku dan mereka hanya 4 meter saja, dan mereka tidak menyadari keberadaanku.

"Dek!"

Aku memegang salah satu peserta laki-laki yang memegang senter.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa"

anak ini berteriak disusul teriakan anak lainnya.

"Jangan takut dek saya orang, ini Pak Robi juga kepala sekolah kalian"

Mendengar perkataanku mereka langsung berhenti berteriak dan beberapa dari mereka langsung menangis. Aku tidak mendapati Sheril, dia tidak ada di kelompok ini, padahal seharusnya mereka bersama Sheril.

"Dek si Sheril mana?"

aku bertanya kepada anak yang memimpin, sementara Kang Robi sibuk menenangkan anak yang menangis.

"She...sheril..."

"Kenapa si Sheril ?" aku merasa panik.

"Saya gak tau kak. Sebelum kita nyasar gini.Sheril ...Sheril.."

"Sheril hantu kak" ujar anak perempuan yang sedang menangis.

Bersambung

Mata Batin They Among UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang