Senyum puasnya hanya bertahan beberapa saat sampai dia memarkir mobil di depan rumah. Tampaknya semesta kembali mengonfrontasi dengan sesuatu yang tidak dia sukai. Kembali mempermainkan bahwa dia tak akan selamanya berada diatas.
Bukankah hidup begitu? Satu detik mengalami kebaikan detik berikutnya hal yang tidak diinginkan terjadi. Begitu terus dari hari ke hari yang tanpa disadari bahwa ketidakseimbangan itulah yang membuat kita semakin stabil.
Konyol memang, hal yang seharusnya membuat luka malah membuat semakin kuat. Hal yang seharusnya membuat semakin hancur malah membuat semakin kokoh. Hal yang seharusnya membuat semakin sedih malah dibuat semakin bahagia.
Dan sebaliknya.
Adara terdiam saat melihat Ibu dan Ayah mertuanya sudah berada di teras rumah. Jantungnya merasa ditekan hingga kebawah. Sial. Kenapa Sakti tidak memberitahu bahwa orangtuanya akan kerumah? Apakah dia tidak tahu bahwa Adara butuh amunisi khusus dalam menghadapi mertuanya?
Amunisi dalam berpura-pura bahagia.
Adara keluar dari mobil dan memeluk Bu Hartati -ibu mertuanya dengan hangat- kemudian tersenyum ramah dan menyalami kedua mertuanya itu satu persatu dengan sopan. Di dalam hatinya, dia juga turut menyusun strategi agar mampu mengkhasilkan ekspresi yang luar biasa tenang dan bahagia. Bukan ekspresi yang setiap hari dia tampilkan.
"Ibu kok nggak ngabarin?" Adara menggandeng tangan Ibu mertuanya untuk masuk ke dalam rumah.
Bu Hartati hanya tersenyum dan mengusap rambut cokelat Adara pelan. "Sudah dibilang sama Sakti. Sekarang dia lagi bereskan kamar."
Adara hanya menanggapi dengan anggukan, jika Ibu dan Ayah mertuanya datang pada hari kerja seperti ini ... berarti ... mereka akan menginap.
Baiklah. Artinya, Sakti dan Adara harus sekamar.
"Bentar lagi kan, Tante Agni mau rayakan ulang tahun anaknya. Jadi Ibu dan Ayah menginap agak lama disini, nggak apa-apa?"
Adara terhenyak mendengarnya. "Nggak apa-apa, Bu. Ini rumahnya anak ibu sama ayah berarti rumah Ayah dan Ibu juga." Begitu melihat Sakti berjalan melewati mereka, Adara langsung pamit dari hadapan mereka dan menyusul Sakti. Ternyata suaminya itu menuju kamarnya dengan membawa satu koper besar -koper baju-bajunya.
"Ini ... ayah sama ibu pulang hari Jumat, " ujar Sakti memberitahu. Adara langsung menutup pintu kamarnya dan menatap Sakti dengan pandangan tidak suka.
"Kamu nggak ngasih tahu?"
Sakti tak langsung menjawab. "Bukannya tadi aku udah bilang ada pekerjaan tambahan?" Ia tersenyum tipis dan mengacak rambut Adara, membuat Adara langsung menepisnya dengan kasar. Perempuan itu menghela napas dalam dan masuk ke dalam kamar mandinya. Kesal. Sakti benar-benar menjengkelkan.
"Sakti! Adara!" Bu Hartati mengetuk pintu kamar mereka dan membuat Sakti langsung membukanya.
"Ibu sama ayah mau ke minimarket dulu. Ibu lihat nggak ada makanan itu di kulkas. Kalian ini ... kalau berdua lupa kalau perlu persediaan bahan makanan!"
Sakti mengusap kepala belakangnya sambil tersenyum. "Kami belum sempat, Bu. Kemarin baru habis." Tentu saja karena Adara tumben memasak dan menghabiskan persediaan mereka.
Adara yang mendengar itu semua dalam kamar mandinya hanya terdiam lama dan melanjutkan aktivitasnya.
Selesai berganti pakaian dan keluar dari kamar. Dia mendapati Sakti sedang bekerja di meja riasnya menggunakan laptop.
"Kenapa nggak diluar aja sih?" Sungutnya tidak terima, karena di kamarnya Sakti selalu bertingkah semaunya.
"Sebelum kamu menempati ini, ini kamarku," tutur Sakti mulai protes karena mendengar nada Adara yang tidak menyenangkan sama sekali. Adara mengambil beberapa skincarenya dan duduk di tepi tempat tidur.
![](https://img.wattpad.com/cover/230404333-288-k181544.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Terusik | ✓
Romance(Reading list WattpadRomanceID kategori Bittersweet of Marriage bulan Mei 2022) Disclaimer : NOT a romantic marriage story you ever imagine. Adara tersenyum tipis. Baiklah, sepertinya mereka bisa memulai proses negosiasi ini. Sebuah transaksi rahasi...