"Aku mati rasa."
Adara mengucapkannya dengan ringisan kecil yang sudah tidak bisa ditahannya selama ini. Pasca mengetahui bahwa dia stres saat hamil, Adara langsung membuat dirinya sibuk. Termasuk bertemu Tsania kali ini. Sudah satu minggu berlalu, setidaknya saat ini dia telah merasa lebih baik.
Sakti memberikannya cuti sementara, mengatakan bahwa ia memiliki pelatihan untuk profesinya. Apapun itu dia tidak mau mengetahuinya. Juga tidak mempedulikan lagi. Dirinya sendiri sekarang lebih penting.
Tsania menatapnya nanar, setengah dirinya kaget. Tapi dia sudah bisa membaca ketidakberesan dalam hubungan Adara dan Sakti selama ini. Mereka terlalu dingin. Tsania berkali-kali melihat ekspresi kebahagiaan Adara, sekalipun sebenarnya Adara adalah orang yang cukup tertutup. Namun selama ini, raut itu seolah hilang dari wajah sahabatnya, terenggut oleh pernikahan.
Tanpa dijelaskanpun Tsania tahu, hidup Adara cukup tidak beres selama ini. Seperti itulah dia dan Adara belasan tahun bersahabat.
Perempuan awal tiga puluhan itu hanya menarik napas panjang, menatap Adara yang masih bergulat dengan pikirannya sendiri sambil tangannya berada di atas perut dan mengusapnya. Dia juga sudah tidak memiliki kemampuan untuk menanggapi tuturan Adara –sebuah kenyataan pahit dibalik kehebohan sahabatnya-.
Dengan gerakan kecil, Tsania mendatangi Adara, duduk disebelah Adara dan memeluk sahabatnya itu dengan erat. Dia tau sekali bahwa Adara tidak akan menangis di depan orang lain, ego dan harga diri Adara begitu tinggi. Namun kali ini Adara sudah cukup menanggung semuanya sendiri, karena Tsania sudah mendengar langsung semua yang terjadi pada Adara dua tahun belakangan ini.
Tsania juga merasa dirinya tidak berguna, hampir setiap bulan bertemu Adara –tidak pernah mau bertanya hal yang tidak beres itu. Kenyataan bahwa sahabatnya itu tengah menjalani sesuatu yang tidak masuk akal –yang bahkan lebih parah dari kisahnya dulu.
Dulu, ketika Arseno berselingkuh dengan Zulfa, dia melakukannya diluar pandangan Tsania. Namun sekarang, kenapa Sakti bisa-bisanya memperlakukan sahabatnya seperti ini?
"Kayak.." Adara menghela napasnya, tidak lagi mampu melanjutkan ucapannya. "Kekagumanku pas awal-awal pernikahan sama dia diambil begitu saja. Kekagumanku tiba-tiba hilang, aku nggak bisa merasakan apapun lagi."
Tsania hanya menatap Adara yang menunduk didekapannya, punggung Adara bergetar namun suara Adara masih sama tegasnya seperti biasa. Adara kembali bersembunyi dibalik egonya, bahwa dia tidak akan menangis meraung-raung hanya karena satu lelaki.
"Ra, kamu bisa.. ceritakan apapun sama aku." Komentar Tsania pada akhirnya, karena menyalahkan Sakti sekarang di depan Adara hanyalah sebuah kesia-siaan, sudah bisa dilihat dengan jelas bahwa Adara tidak lagi peduli pada suaminya itu.
"Aku menyesal mempermainkan pernikahan, Sa. Dimana tempat aku bisa memohon ampun karena kesalahanku itu? Aku nggak mau hidup seperti ini."
Dan tetesan pertama jatuh dari mata Tsania. Dia tau Adara adalah perempuan yang kuat, tak pernah sedikitpun Adara menangis saat putus cinta. Satu-satunya kejadian yang pernah dilihat Tsania saat Adara menangis adalah ketika perempuan itu mendapati ayahnya masih berhubungan dengan janda yang setengah mati dibenci Adara –yang bahkan Adara labrak saat itu-. Itu kali terakhir Tsania melihat Adara menangis, karena sumpah Adara berikutnya adalah...
Dia akan membasmi semua laki-laki brengsek yang hanya bisa menyakiti wanita.
Siapa yang menyangka.
Adara jatuh tergelincir dalam takdir yang bahkan tidak bisa diterima oleh nalar seperti ini. Sakti, sahabat Sasa dua tahun di Jerman, mempermainkan Adara di depan mata kepala Adara sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/230404333-288-k181544.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Terusik | ✓
Romance(Reading list WattpadRomanceID kategori Bittersweet of Marriage bulan Mei 2022) Disclaimer : NOT a romantic marriage story you ever imagine. Adara tersenyum tipis. Baiklah, sepertinya mereka bisa memulai proses negosiasi ini. Sebuah transaksi rahasi...