Bab 20

32.4K 4K 991
                                    

Adara termenung lama di meja makan. Dia menyesap pelan-pelan kopi yang dibuatnya. Katanya kopi hitam dilarang untuk ibu hamil, tapi daripada meminum alkohol lebih baik daripada meminum kopi bukan?

Ia masih sangat baik hati kepada anak Sakti di dalam sana.

Bukan hanya perasaannya yang membeku, nuraninya juga hilang. Sepanjang malam tidak henti-hentinya dia menyalahkan keberadaan janin di dalam badannya itu. Dia juga tidak bisa tertidur karena mempersiapkan berkas-berkas perceraiannya.

Yang kemudian hampir membuatnya meledak.

Tuduhan laki-laki itu, pernyataan laki-laki itu membuat amarah Adara meradang dalam dirinya. Amarah itu merenggut hatinya, pikirannya. Dan yang tersisa kini hanyalah, dia dengan jiwanya entah kemana.

Perceraian?

Adara mendinginkan kepalanya dengan cepat. Dia tidak bisa melanjutkan ini semua lagi, namun juga tidak ikhlas apabila melihat Sakti dan Dianza bahagia. Dari segala penderitaannya selama ini, maka... setidaknya mereka harus imbang.

Adara bukannya tidak mencari-cari nuraninya dari semalam. Dia mencari namun gagal menemukannya. Ego dan rasa sakit yang mendominasi dirinya selama ini bertahta dan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Mereka bersekutu untuk membuat Adara menjadi seperti ini.

Baiklah, dia harus segera menyelesaikan sarapannya.

Tepat saat kunyahan terakhir, pintu kamar terbuka. Adara hanya menatap datar pintu kamar itu dan memandang lama Sakti yang keluar dengan pakaian yang sedikit berantakan, belum merapikan dasinya sama sekali.

Adara kembali mengambil minum dan menatap Sakti yang duduk di depannya.

"Ra."

Adara menahan Sakti yang berbicara dengan tangannya. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam map kemudian menyerahkannya di depan Sakti.

"Apa lagi ini?"

"Gugatan cerai, aku butuh surat perjanjian awal kita untuk bukti." Sakti terkesiap mendengar ucapan itu.

"Aku nggak minta pendapat, hanya berikan saja. Biar aku urus semuanya."

Adara menyesap kembali kopinya dan menatap Sakti. "Bagaimana?"

"Ra, harus ... begini?"

Adara mengangguk cepat, mengalihkan pandangan dari wajah Sakti yang benar-benar terkejut. "Aku nggak setuju. Aku nggak akan menceraikan kamu."

Mata Adara menatap Sakti nyalang. "Oke." Jawabnya pelan. "Tapi harus ada satu berkas yang masuk ke dalam pengadilan, jika bukan berkas perceraian kita..." Adara benar-benar terdiam saat ingin mengucapkannya. "Berkas kekacauan perusahaan yang akan masuk. Kamu tinggal pilih."

Wajah Sakti mengeras, "Kamu sedang mengancamku?"

Adara menghabiskan kopinya dengan cepat, "Selama ini aku selalu baik hati bernego kepadamu, sekarang aku cuma ingin mendapatkan yang kuinginkan."

"Ra, kamu keterlaluan."

Adara tersenyum tipis. "Siapa yang mengajarkanku keserakahan, Sakti?" Adara terdiam pelan. "Kamu. Suamiku." Dia mengambil tasnya dan segera berlalu dari hadapan Sakti. Adara merasakan badannya bergetar hebat, namun dia harus melakukan ini. Setidaknya dia bisa lebih puas sebelum benar-benar pergi.

***

Tampilan hitam di layar itu hanya menunjukkan sebuah titik kecil yang berada di tengah. Adara hanya bisa menatap nanar tampilan itu. Wajahnya sangat datar dan tidak menunjukkan sebuah ekspresi sama sekali.

"Sudah jalan enam minggu ya."

Adara mengalihkan pandangan dari layar ke arah Dokter Risha dengan cepat.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang