Bab 8

28.3K 3.8K 262
                                    

"Sakti."

Sakti yang selesai berkumpul dengan teman-temannya kala itu hanya bisa terdiam saat menerima panggilan dari Hartati itu.

"Bagaimana, Nak?"

"Aku nggak mau balik, Bu. Aku nyaman disini."

"Tapi Ayahmu, sudah dua hari ini diperiksa sebagai saksi."

"Itu kan salah Ayah sendiri, sudah tau nggak semua pemimpin di Indonesia bisa pakai suap. Belum lepas jabatan udah kena kasus, ini cuma permainan politik, Bu."

Hartati hanya diam mendengar penuturan Sakti yang penuh emosi.

"Kalau dia terbukti bersalah, Ayah juga kena, perusahaan juga. Ibu.. ibu sendirian disini."

Sakti menghela napasnya dalam. Tidak pernah terbayangkan ibunya akan mengucapkan hal yang baru saja dia dengar. Sakti menerawang jauh ke beberapa hari yang lalu saat dia baru saja di kontrak oleh konsultan Jerman dalam sebuah proyek besar bidang property.

"Aku sudah membangun karirku disini, Bu."

"Yasudah. Jangan lupa makan dan jaga kesehatan ya."

Sebelum Hartati memutus sambungan video call itu, Sakti meremas lututnya pelan. "Akan aku pikirkan dulu, Bu"

Usahanya untuk kabur selama sepuluh tahun terakhir ini sia-sia. Keinginannya untuk membuktikan kepada Ayahnya dia bisa bertahan tanpa ayah dan perusahaan itu hanya sia-sia belaka. Laki-laki itu mengusap kepalanya pelan.

Apa yang harus dia lakukan?

Terbang dalam dimensi bernama masa lalu memang tidak pernah menyenangkan. Meskipun sudah dua tahun kepulangannya, Sakti masih bisa terbayang bagaimana raut wajah kecewa yang ditampilkan setiap hari saat menjalani hari-hari pertamanya disini.

Laki-laki itu menahan sesak dalam hatinya. Siapa yang menginginkan semua ini? Dia sama sekali tidak ingin. Dia hanya menjalankan semua sesuai dengan arahan Ayahnya. Hatinya setengah menerima takdir ini, dia belum ikhlas menjalani semuanya.

Saat Adara mengatakan bahwa dia membutuhkan suami, Sakti tak perlu berpikir panjang untuk mengiyakan. Tidak masalah untuk sebuah pernikahan diatas perjanjian. Dari kecilpun, jalan hidupnya telah dipilihkan sekalipun dia kabur ke tempat yang jauh.

Lagipula pernikahan memang tidak sesakral itu baginya. Banyak teman-temannya yang sangat memuja pernikahan berakhir mengenaskan. Sebuah perceraian. Jadi setiap pilihan itu memang ada konsekuensi terburuknya. Memilih satu pilihan berarti harus menerima bahwa kesempatan memilih pilihan lain sudah tidak ada.

Di kasus pernikahan mereka, bagi Sakti konsekuensi terburuk bukanlah sebuah perceraian -karena mereka tahu dari awal ini akan terjadi. Konsekuensi yang paling buruk adalah salah satu jatuh cinta dengan yang lain, atau lebih parahnya.

Saling mencintai.

Hurt people hurt people.

Memang begitulah kenyataannya. Tidak ada dua orang yang sama-sama hancur bisa menguatkan satu sama lain. Tidak ada dua orang yang hancur bisa membuat sebuah istana megah bernama kebahagiaan. Karena ... mengurusi diri sendiri saja mereka sudah terlampau sibuk.

Lihat saja mereka sekarang, dua orang yang menyedihkan bergabung menjadi satu. Sakti tentu saja bisa menjalani hidupnya dengan baik, tapi Adara? Semua sinar di dalam dirinya sebelum menikah meredup dan hilang seketika. Sakti harus mengakui, dia juga punya andil dalam meredupkan cahaya Adara itu. Karena perbuatannya sendiri.

Sakti terdiam menatap Adara yang tertidur di mejanya, sehari setelah Adara pindah meja kerja di ruangannya, mereka terpaksa lembur karena besok ada panggilan oleh pihak kepolisian sehingga mereka harus kembali membawa bukti-bukti perusahaan yang mereka jalankan. Adara dari tadi pagi tidak berhenti-hentinya bekerja. Dia memang workaholic sejati, sedikitpun Adara tidak membiarkan fokusnya terganggu dari tadi. Dia benar-benar maksimal.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang