Bab 9

28.3K 3.7K 273
                                    

Have you ever been in love? Horrible isn't it? It makes you so vulnerable. It opens your chest and it opens up your heart and it means that someone can get inside you and mess you up - Neil Gaiman.

Ia tak pernah merasa sekacau ini, juga dalam satu tahun lebih pernikahannya, dia hanya beberapa kali merasakan hal ini. Bangun dalam kebingungan dan degupan jantung yang kerap menimbulkan ketidakfokusan dalam menjalankan aktivitasnya.

Adara.. bangun dalam keadaan lengan Sakti -kembali- di pinggangnya, memeluk perempuan itu dengan posesif. Bahkan bibir Sakti nyaris menyentuh pelipipisnya.

Ia menertawakan dirinya sendiri. Posisi ini ... posisi suami istri yang begitu normal.

Tidak tahukah dunia bahwa lebih baik Adara bangun lebih lambat dari Sakti? Sehingga dia tidak perlu memandangi wajah Sakti yang masih tidur dalam damainya. Dengan lengan laki-laki itu memeluknya erat. Membuat rasa menyesakkan itu kembali menyentak dalam kalbunya. Pagi ini, bukan hanya kebingungan yang memporak-porandakan awal harinya tetapi juga ego yang meluruh dengan pongahnya. Membuat Adara kembali merasakan hal yang tidak ingin dirasakan. Mencintai Sakti lebih dalam.

Karena pada hakikatnya setiap sentuhan laki-laki itu pada dirinya membuat satu persatu dinding pertahanannya hancur. Setiap perlakuan manis Sakti yang memperlakukannya seperti wanita yang tak boleh disakiti sedikitpun membuatnya perutnya tergelitik menyenangkan. Dia tidak akan bermasalah sedikitpun apabila Sakti memperlakukannya dengan baik seolah laki-laki itu mencintainya.

Seolah. Satu kata yang menyembunyikan ruang kegelapan dibelakangnya. Pada akhirnya, otak Adara tidak bisa berkompromi, seperti apapun Sakti memperlakukannya lemah lembut, memorinya memberontak dengan mengingatkannya pada hal-hal yang selama ini dilakukan oleh laki-laki itu. Kenyatannya, jika Sakti menyentuhnya, dia merasakan dua hal.

Dicintai dan disakiti sekaligus. Dua hal yang bertengger dibenak Adara, yang tidak masuk dalam akal sama sekali.

Adara kembali memeriksa kondisi jantungnya yang masih bergemuruh. Apalagi saat suaminya itu keluar dari kamar, bergabung bersama mereka di meja makan, dengan bau parfum yang begitu khas. Tampilan rapih dari Sakti membuat Adara ingin meminta kembali hal yang mereka lakukan semalam penuh. Tapi ia tau hanya dia yang menginginkan laki-laki itu.

Maka dengan usaha yang begitu luar biasa, ia menelan keinginannya itu, menyembunyikan di palung hati yang terdalam dan berharap tak pernah merasakan lagi keinginan yang sama. Tak apa-apa, dia sudah terbiasa mengubur keinginannya sendirian.

Adara dalam diam menatap Sakti lama sekali. Setiap gerakan Sakti yang sedang sarapan di depannya diperhatikannya dengan baik. Ia seperti seorang komentator yang siap mengomentari cara makan Sakti. Tapi bukan itu, karena pikirannya bukan berada di meja makan ini.

"Neng!"

Adara mengerjapkan matanya. "Iya bu?"

"Jangan dilihat terus Aanya." Membuat semburat merah yang ingin dirutuki Adara keluar, semakin memekatkan warna blush on yang dia pakai.

Adara tersenyum tipis dan menjawab pelan, "Habis dia makan kayak ngga pernah dikasih makan."

Hartati menggenggam tangan Adara. "Itu namanya semangat."

Ia menanggapi dengan senyuman dan Sakti hanya menatapnya sekilas.

"Sayur lodeh buatan ibu itu makanan kesukaan Sakti, Dara," ujar Trian yang langsung membuat Adara menatap menu sarapan pagi yang cukup berat saat ini. Benar juga, ini makanan kesukaan Sakti.

"Makan, Ra," ujar Sakti akhirnya.

Adara kembali memperhatikan Sakti, dia mengabaikan pikirannya dan fokus pada makanannya.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang