Bab 12

29.5K 3.9K 246
                                        

Don't get mad, get even!

Adara tidak akan menghabiskan energinya untuk marah-marah. Jika dia protes saja tidak pernah didengar laki-laki itu, maka... kenapa pula dia harus marah-marah? Selain menghabiskan energi, marah-marah juga hanya akan membuat perasaan bernama penyesalan menumpuk dipikirannya.

Jadi dia mulai menyusun strategi agar Sakti bisa menceraikannya, dengan segera.

Ia sudah menganggap perasaannya memang hanya sampai disini saja, dia tidak berani lagi melanjutkan perasaan ini. Terlalu beresiko, untuk berhadapan dengan orang seperti Sakti. Laki-laki itu begitu tau bagaimana cara menghadapinya.

Kali ini, Adara kembali menjadi sosok kecil yang marah apabila keinginannya tidak dipenuhi.

"Dimana?"

"Pedulimu apa?" Adara menjawab setengah berteriak, bukan karena amarah, tapi memang sekarang, apabila dia mengucapkan dengan nada selembut sutera, Sakti tidak akan mendengarnya sama sekali.

"Jawab aku, Adara."

"Kalau nggak mau, bagaimana? Kamu mau kesini?"

Adara menggerakkan badannya sedikit karena lantunan musik begitu berisik disekelilingnya, dia sendiripun tidak bisa mendengar ucapan Sakti. Dia tidak ingin mabuk malam ini, dia hanya mencari keramaian, kebisingan untuk mengosongkan kepalanya yang meradang.

"Dengan siapa?"

"Althaf?" Adara tersenyum singkat saat melihat Althaf sudah masuk ke dalam cafe semi bar ini dan menyusulnya.

"Ra, how dare-"

"Kenapa? Nggak boleh? Nggak bisa?" Adara mematikan sambungan telepon itu dan menghela napas saat Althaf menggelengkan kepala kepadanya.

"Ra, iill call your husband." Althaf duduk didepannya dan menatap lurus pada Adara, Adara kembali tak acuh dan menikmati lantunan musik yang semakin lama semakin memekak.

"Gue mau cerai."

Gerakan Althaf yang memerhatikan seluruh kafe itu berhenti seketika. Dia menatap nanar ke arah Adara yang sudah termenung didepannya. Tidak pernah selama ini dia melihat ada garisan pilu di mata sahabatnya itu -selain saat mereka putus. Adara tidak menginginkan ucapannya, dia begitu tahu.

"Kenapa?"

"Gue nggak cocok sama dia."

"Dan kalian lagi berantem?"

Tanpa ragu, Adara mengangguk.

"Ra, gue ini mantan pacar sekaligus sahabat lo. Kalau dia ngira gue perusak hubungan kalian bagaimana?"

Adara berdecak, mengetahui bahwa semua itu hanya sebuah ketidakmungkinan. "Dia nggak peduli juga."

"Gue telepon Tsania."

Adara menatap Althaf dengan pandangan menghunus, laki-laki itu hanya diam dan menghela napas. "Trus lo mau bagaimana sekarang? Cari cowok baru? Atau kabur dari rumah?"

Adara mengangkat bahunya cepat. Dia menghela napas dalam dan melihat ponselnya, Sakti tak lagi berusaha untuk menghubunginya. Lelah dengan permainan egonya sendiri, Adara mulai beranjak dari kursinya.

"Gue pulang dulu."

"Shit, Ra! Gue baru datang!"

Adara tersenyum singkat dan menepuk bahu Althaf pelan. Dia segera pergi dan meninggalkan kafe itu dengan perasaan yang begitu gamang. Bahkan membalas Sakti dengan cara yang sama, tetap membuat rasa bersalah di dalam dirinya semakin memuncak.

Jika Sakti memang mempermainkan perasaannya dengan membangun hubungan dengan orang lain, haruskah... Adara membalas dengan cara yang sama?

Bukankah, itu sama saja membuat dia dan Sakti di kelompok orang yang sama?

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang