Bab 19

28.9K 4K 1.2K
                                    

Cinta yang menyesatkan memang mematikan. Setidaknya itulah yang disimpulkan Pinkan melihat Adara yang masih membeku dari makan malam hingga mereka berpisah dengan yang lain, saat ini. Pinkan menghela napas dalam menatap sahabatnya itu hanya diam, kemudian membuka jendela kamar mereka. Menatap kosong ke arah luar.

Adara tidak mengucapkan satu katapun. Dia hanya bergeming kemudian dalam lima menit dia menghela napas. Kemudian melirik Pinkan lagi dan tersenyum tipis. Hanya itulah yang dilakukan Adara dari dua jam yang lalu.

Bukan. Adara bukan terlihat seperti orang yang baru saja disambar berita buruk. Karena orang yang mendapat berita buruk tidak bisa tersenyum. Perempuan itu lebih seperti orang yang kebingungan.

Seperti sedang mempelajari diri sendiri.

"Ra, tutup jendelanya."

Adara melirik ke belakang, ke arah Pinkan yang duduk di atas ranjang. "Bentar lagi ya?" Kalimat pertama yang diucapkan Adara, kembali perempuan itu tersenyum tipis.

"Lo kalau mau nangis, nangis aja. Tapi gue yakin kok, Pak Sakti nggak akan terima." Pinkan berusaha menenangkannya, padahal Adara tidak punya clue sama sekali. Dia juga tidak tahu apakah Sakti akan menerima Dianza atau tidak. Juga bukan urusannya.

Inilah yang membuat Adara kebingungan dari tadi.

Hal yang diucapkan teman-temannya, pernyataan bahwa Dianza akan menembak Sakti atau kemungkinan mereka akan bersama tidak sama sekali mengejutkannya. Adara sudah bisa memprediksi dari awal hal itu akan terjadi. Juga sepertinya dia sudah paham apabila Sakti menerima Dianza dan mereka akan bersama.

Bukannya dari awal sekali dia sudah tahu Sakti sedang membangun hubungan dengan Dianza? Apa lagi yang bisa dirisaukan?

Ada yang salah dengan dirinya. Dari dua jam yang lalu, Adara berusaha mempelajari dirinya sendiri. Meraba dadanya dan memeriksa hatinya, juga dengan degupan jantungnya yang kian normal. Dia bisa menyantap makanan seperti biasa, menikmati rendang yang disajikan oleh pemilik villa. Yang dia bingungkan dari tadi.

Kemana kesedihannya?

"Kan." Panggil Adara pelan membuat Pinkan yang sedang memainkan ponsel -sepertinya sedang memantau keadaan- menoleh padanya.

"Ya?"

Adara menarik napas panjang. "Gue harusnya kaget ya? Gue harusnya sedih ya?" Tanyanya lirih. Adara kembali mengingat anggukan Dianza yang malu-malu tadi. "Kok gue biasa aja ya?"

"Ra?"

"Kayak.. yaudah gitu loh, dia memang bakalan pergi. Dia bakalan menemukan cintanya. Dia bakalan ninggalin gue. Harusnya, gue cemburu atau sedih ya? Tapi kenapa.. semuanya biasa aja ya?"

Pinkan berjalan mendekati Adara. "Itu yang membuat lo diam dari tadi?"

Adara menganggukkan kepalanya, namun mata perempuan itu jelas menampilkan kesedihan yang nyata. "Gue sibuk menemukan alasan untuk menangis dan mengamuk dari tadi. Tapi.. nggak ada alasan untuk melakukan itu semua. Dari awal gue pun udah tahu akhirnya begini."

Pinkan menelan ludahnya. "Istirahat dulu yuk, Ra."

"Semakin kesini, kehilangan dia dan pernikahan ini.. semakin nggak ada artinya. Gue hanya mau berpisah. Udah."

Pinkan menepuk punggung Adara yang masih termenung. Mungkin masih mencari dimana perasaan cintanya kepada Sakti, sibuk mencari semua yang ia punya. Adara menghela napas dalam dan mengusap perutnya pelan.

"Gue cuma bingung, dengan yang ada disini." Menunjuk perutnya pelan. "Gue sama sekali nggak penasaran dengan hasil akhir pernikahan gue, tapi rasanya gue benar-benar nggak siap untuk hamil."

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang