Bab 25

33.6K 3.4K 362
                                        

I'm not upset that you lied to me, I'm upset that from now on I can't believe you.Friedrich Nietzsche

Kesalahan dalam mempercayai sesuatu adalah menaruh ekspektasi yang mungkin tidak akan terjadi. Jika tidak menaruh ekspektasi apa-apa, maka perasaan kekecewaan mungkin tidak akan pernah datang.

Seperti saat ini.

Adara baru akan menyantap makan malamnya saat dia mendengar suara berisik dari garasi –menandakan bahwa Sakti sudah pulang. Laki-laki itu membuka pintu rumah dengan cepat dan masuk dengan langkah yang terburu-buru.

Adara ingin sekali memakan bebek dari tadi sore, terima kasih untuk ojek online yang selalu bersedia memenuhi kebutuhannya karena Adara tidak perlu merengek kepada orang lain hanya untuk memuaskan keinginannya.

Baru satu gigitan yang dimakan Adara, suara Sakti datang menginterupsinya.

"Ra, ini bebek goreng—" ucapan Sakti otomatis berhenti saat melihat Adara memakan makanannya dengan santai.

"Maaf,"

Adara tersenyum miring, tak lagi menanggapi Sakti ada.

Sakti duduk di depan Adara, "Kamu nggak bilang akan makan dengan Althaf?"

Adara menatap daging bebek lezat dan mencampurnya dengan sambal. "Kenapa aku harus bilang?" jawabnya santai dan melirik ke arah Sakti, tak acuh.

Sakti menggeser kursi di depannya dan menatap Adara tajam. "Bukannya kamu akan bilang kemanapun kamu pergi?"

Mood Adara benar-benar hilang karena ucapan Sakti. Adara menutup makannya dan menatap Sakti, "Aku lebih ingin memakan bebek ini daripada mendengar protesmu." Adara menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi dan menantang Sakti dengan melipat tangannya.

"Kamu keterlaluan, Ra."

Adara mengangkat sebelah alisnya, "Pardon me?"

Sakti menghela napas dalam, "Aku nggak mau kamu bertemu dengan Althaf lagi."

Tunggu. Sakti sedang mencoba menjadi pelawak? Adara langsung tertawa mendengarnya, dia menutup mulutnya untuk segera menghentikan sesuatu yang sangat lucu ini.

"Aku nggak peduli dengan perasaanmu," jawab Adara pelan. Adara kembali mengambil potongan bebek gorengnya dan menyantapnya santai di depan Sakti.

"Ra?"

"Hm."

"Kamu nggak mau mendengarku lagi?"

"Nggak, Sakti. Kamu sudah cek surelmu? Aku mengirim jadwal sidang lanjutan kepadamu." Adara menatap Sakti pelan dan tersenyum tipis. "Kita lupakan aja semua yang terjadi ini dan berhenti saling membebani satu sama lain lagi. Aku.. nggak akan pernah melarangmu berhubungan dengan siapapun. Aku harap kamu juga begitu." Jawab Adara pelan.

Sakti menggelengkan kepalanya. "Anak kita?"

"Ini urusanku Sakti, bukan urusanmu. Kamu bisa mencari perempuan atau Dianza untuk menemani kamu, sedangkan aku hanya punya dia untuk menemaniku."

"Ra, aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya."

Adara terdiam pelan, "Sakti, kamu... selalu on time dalam melakukan segala hal, jadwalmu selalu ada. Kenapa.. kenapa kamu selalu terlambat untuk urusan denganku?"

Adara mengeluarkan ponselnya dan menatap Sakti dengan nyalang. "Terima kasih atas sikapmu selama ini, ini bisa jadi bukti untukku." Adara melempar ponselnya di badan Sakti dan memperlihatkan apa yang dilakukan Sakti dibelakang Adara satu jam yang lalu.

"Dia bilang dia butuh closure agar dia tidak mendesakku lagi."

Adara tersenyum dan menatap Sakti, "So do i. Inilah closure yang kubutuhkan," menatap Sakti penuh kekecewaan dan kembali memakan bebeknya. Anaknya butuh bebek ini, Adara harus mengingatnya dengan baik.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang