Bab 7

29.2K 3.8K 306
                                        

"Suntuk amat sih, Ra." Althaf mengacak rambutnya pelan saat dia hanya menanggapi laki-laki itu datar. Tiba-tiba saja dia menghubungi Adara bahwa dia sedang di Bogor. Bertemu klien katanya. Adara juga tidak terlalu peduli.

Dia hanya menemui Althaf untuk membalas perlakuan Sakti padanya. Memang tidak adil untuk Althaf. Mau bagaimana lagi? Hanya nama Althaf yang selalu membuat Sakti bereaksi.

Seperti saat ini.

Adara tersenyum miring saat Dianza kembali melapor pada grup bahwa mereka tengah berkencan di Mall. Katanya sih cari kebutuhan perusahaan. Katanya. Karena sebenarnya kebutuhan perusahaan sudah diatur oleh bagian keuangan dan personalia. Kebutuhan apa lagi yang mereka persiapkan? Mungkin kebutuhan mereka berdua.

Untung saja Althaf datang ke Bogor. Mau tidak mau Adara terpaksa menyeret Althaf untuk memberikan sedikit peringatan kepada Sakti bahwa bukan hanya dia yang bisa seenaknya. Mendatangi Mall yang sama dan sengaja mengirim Sakti foto Althaf dari belakang.

Walrus
Dimana?

Coba tebak?

Walrus
Jangan main-main, Ra.

Bukannya kita lagi main-main?

Sudah diduganya.

Walrus is calling

Althaf ternyata melihat ponsel Adara. Laki-laki itu mengerinyitkan dahi.

"Siapa walrus?"

"Suami gue."

"Lo namain contact suami lo walrus?"

Adara tersenyum tipis. "Walrus lucu tau. Gemesin."

Adara sangat paham bahwa ini sangat kekanak-kanakan. Dia tau bahwa membalas sesuatu dengan perbuatan tak lebih menyenangkan bukanlah sesuatu yang baik. Namun Sakti juga perlu mengetahui bahwa Adara juga ingin membuat Sakti bereaksi, termasuk jika setiap hari bertemu Althaf.

"Halo?"

"Dimana?"

"Dimana ya?" Adara menatap sebentar ke arah Althaf, "Althaf, dimana sih ini?"

"Shabu—"

"Kamu mengikuti aku dan Dianza?"

Adara segera berdiri dari duduknya menjauh dari Althaf. "Jangan kepedean ya! Aku juga punya acara dengan orang lain!" Dia menatap pantulan dirinya yang sedang tersenyum saat ini, baiklah permainan ini sedikit menyenangkan. Dia mendengar suaminya itu menghela napas dalam, kemudian begitu saja menutup telepon.

Ada perasaan kecewa yang teramat sangat dirasakan Adara kali ini. Sesuatu yang menusuk jantungnya dan menembus hingga ke hatinya, seolah-olah dia tidak mempunyai pertahanan sedikitpun untuk tidak kecewa. Dia pikir, Sakti akan bereaksi. Dia pikir Sakti akan menunjukkan ketidaksukaannya lagi.

Nyatanya, Sakti tidak peduli sama sekali.

Wajah Adara yang tersenyum tadi langsung terdiam. Kali ini tampilan dirinya bukan hanya menyedihkan tetapi juga merana. Ada rasa sakit yang menggerogotinya ketika dia menemukan caranya tidak lagi berhasil.

Pernah satu kali Adara berpikir Sakti menyukainya karena kecemburuan yang dirasakan laki-laki itu pada Althaf. Dia memang terlalu berlebihan jika Adara menyebut nama mantan pacarnya itu, seolah-olah Sakti telah membenci laki-laki itu seumur hidup. Namun pada akhirnya, Ia mengerti, dia sadar bahwa semua itu bukan kecemburuan.

Tetapi ego Sakti yang terluka.

Mengenaskan sekali. Seharusnya, Adara mengerti bahwa semua yang dilakukannya hanyalah sebuah kesia-siaan. Tapi dia telah terlanjur mencintai orang itu. Dia telah terlanjur menginginkan melihat Sakti setiap hari di dalam hidupnya. Menyedihkan, betapa menyedihkannya cinta bertepuk sebelah tangan.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang