Bab 28

34.1K 3.5K 193
                                    

"Jadi perempuan itu harus banyak sabarnya, Ra."

Adara yang sedang mengunyah sandwichnya dengan santai melirik sebentar kepada Mamanya dan melanjutkan makannya lagi.

"Sabar sabar terus, kita direndahkan orang, Ma."

"Tapi itulah kunci hidup tenang."

Adara mendengus.

"Semua yang ada di dunia ini hanya sementara Ra. Harta, kekayaan, pasangan, orang tua, anak, semua hanya sementara."

"Sabar terus capek, Ma. Masa pasangan kita jahat gitu trus kita harus sabar. Sabar dan bodoh itu batasnya dikit, Ma."

Retna menghela napas dalam, "Istri firaun saja dihadiahkan surga loh, Ra. Suaminya saja sejahat Firaun."

"Aku kan nggak mau cari pasangan kayak Firaun. Aku capek sabar."

Retna mengulas senyum, mendapati Adara seperti itu.

Adara kembali ditarik oleh kenyataan kembali saat dia melihat Sakti sedang berjalan ke mejanya sambil membawakan sesuatu. Dengan santai dan tidak memedulikan siapapun, Sakti meletakkannya di meja Adara dan tersenyum lebar kearahnya. Baiklah Sakti, ada belasan orang yang ada di ruangan ini langsung menyoraki Adara.

Adara menumpukan kepalanya di mejanya dan mengamati apa yang diberikan Sakti kepadanya. Toast beserta jus. Ia menghela napas dalam dan memejamkan matanya, mengamati teman-temannya yang tersenyum padanya.

"Apa ini pertanda baik untuk pernikahan kalian?" tanya Utari mendekat ke meja Adara.

Adara mengamati makanan itu dan mengangkat bahunya. Dia mengambil tablet dan segera ke ruangan Sakti karena harus mendiskusikan beberapa hal terkait sidang yang dilaksanakan lusa. Saat kaki Adara melangkah ke ruangan Sakti, Adara bisa mendengar riuh dari ruangannya membuat Adara semakin pusing saja.

Dia mengetuk pelan pintu Sakti dan segera masuk saat mendengar suara laki-laki itu. Adara menatap Sakti datar. Melangkahkan kaki dengan enggan ke depan Sakti dan menatap Sakti yang sedang tersenyum padanya.

Ini aneh sekali.

Adara mengeluarkan tabletnya dan memperlihatkannya pada Sakti, "Ini ringkasannya, tolong kamu pelajari." Sakti menatap Adara sebentar dan menganggukkan kepalanya. Dia kembali menatap Adara dan tersenyum.

"Kamu cantik, Ra."

"Gimana?"

Darah Adara langsung berdesir dipuji seperti itu. Ia kemudian menatap Sakti dan menyipitkan mata, "Sepertinya ucapan bapak sudah tidak sesuai konteks," ujarnya ketika mendapati Sakti masih memandanginya, "Pelajari, Sakti!" sengaknya cepat.

Dan membuat Sakti tertawa. Laki-laki ini benar-benar tidak bisa ditebak, dia bisa melupakan segala kechaosan yang terjadi diantara mereka dan bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa. Membuat Adara semakin kesal saja melihatnya.

Sakti berjalan menuju sofa dan Adara segera mengikutinya. Dia menatap Adara sekilas dan tersenyum.

"Mau coba nggak?" ujarnya menatap sofa.

Adara mengerinyitkan dahi. "Apa?"

"Katanya udah boleh?"

"Are you serious Sakti? Saat seperti ini?"

Sakti terkekeh pelan, "Bercanda, Ra. Aku tau juga kamu nggak akan mau."

Adara berdehem untuk mengisi kerongkongannya yang cukup kering dan mulai menjelaskan kepada Sakti. Dia mengeluarkan berkas-berkas pendukung dan meminta Sakti menghafalnya satu persatu, karena Adara akan membantu diawalnya saja.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang