Bab 11

28.3K 3.9K 210
                                    

Hidup itu simple, kita yang membuatnya rumit. Terkadang itulah kenyataannya. Manusia seringkali memperumit sebuah keadaan yang pada akhirnya tetap bisa mereka lewati dengan mudah. Karena memang pada akhirnya, semua hanya tentang penerimaan.

Andai saja Sakti bisa mempraktikannya sekarang.

Namun, menatap lurus ke arah perempuan yang sudah mengisi hari-harinya sejak satu setengah tahun ini tidak bisa dikatakan dengan mudah. Dia tetap kesulitan, seperti sebuah rumus matematika yang butuh waktu yang sangat lama baginya untuk memahami. Sebuah jalan buntu, keadaan yang begitu rumit.

Ia baru saja menyelesaikan rapat komisaris saat melihat Adara hanya terdiam di mejanya. Perempuan itu memandang lurus ke arah laptopnya tanpa melakukan apapun. Seperti sedang bermenung.

"Ra," panggilnya, sudah tidak tahan karena perempuan itu begitu diam hari ini, dia mendekati Adara dan menumpukan tangannya di punggung kursi yang diduduki Adara. Adara hanya menatapnya sekilas dan melirik ke arah dinding kaca yang membatasi ruangan Sakti dengan meja Dianza.

"Kenaapa sih?" tanya Sakti, saat dia akan mencium pelipis Adara, istrinya langsung menghindar dan mendorong badan Sakti.

Sakti menahan senyumnya.

"Kamu diginiin baru bereaksi. Seharian ini kayak patung."

"Hm," jawab Adara malas, rasanya siang ini, terik matahari yang menyinari Bogor begitu panas, bahkan ruangan AC Sakti tidak bisa melenyapkan hawa panas itu.

Adara baru sadar satu hal.

Bukan udara yang panas, tapi dirinya.

"Sampai kapan aku dihukum kayak anak SD begini?" dengus Adara, "Aku nggak bisa bersosialisasi dengan yang lain. Di kantor yang dilihat kamu, di rumah kamu. Bosan!" seolah tak ada Sakti di depannya, Adara mengeluarkan semua yang dirasakannya, membuat Sakti mengulum senyumnya.

"Hari ini boleh."

Adara mengerjapkan matanya dan menatap Sakti tak percaya. Tapi Sakti hanya memasang wajah datar dan menunggu Adara bereaksi lebih lagi. Keduanya hanya bertatapan seperti itu dalam beberapa saat.

Sakti mengambil kesempatan itu untuk mencium Adara dengan cepat.

"Sakti!"

"Bukannya aku udah bilang? Biasakan dengan semua ini," ujarnya, mengusap puncak kepala Adara, yang tanpa sadar membuat kupu-kupu berterbangan di dalam perut Adara. Tapi lagi-lagi, Adara yang terlalu peka terhadap perasaannya hanya bisa menahannya.

"Nggak di kantor juga!" desis Adara, melirik ke arah Dianza yang sudah kembali duduk di kursinya. Seperti ketahuan selingkuh, Adara langsung mendorong badan Sakti dan pura-pura fokus kepada laptopnya, bertepatan Dianza melirik ke dalam ruangan mereka.

Sakti mendengus kesal karena disingkirkan begitu saja. "Kenapa?"

"Aku nggak mau dicium kamu!"

Sakti mengerinyitkan dahi, "Sekalipun ada perjanjian. Kamu sah secara hukum dan agama istriku, aku halal-halal saja melakukan semuanya sama kamu."

Adara mendengus, "So you don't need my consent?"

Sakti terdiam dan membalas dengan dengusan yang sama, "Benar kita mau bicara consent sekarang?"

Adara membungkam mulutnya, percakapan mereka berhenti saat Dianza mengetuk pintu ruangan Sakti untuk menanyakan apakah Sakti akan makan siang diluar atau mau dipesankan. Sakti meninggalkan Adara di mejanya dan menemui Dianza.

Sesaat Adara kesal sekali dengan pemandangan di depannya.

Namun kekesalan itu langsung berubah saat Sakti mengucapkan sesuatu pada Dianza, "Bilang OB ya, pindahkan lagi meja Adara."

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang