Bab 21

31.3K 3.8K 554
                                    

Marriage that starts with compromise just another dead end and miserables life.

Adara menatap Sakti disampingnya dengan gusar, sudah tidak tahan dengan wajah yang tak bersalahnya. Dia duduk dengan tenang meskipun sudah dihantam berkali-kali dengan pertanyaan di dalam mediasi ini.

"Dia sedang hamil." Ujar Sakti pelan.

Adara hanya menarik napas panjang. "Setahu saya, perceraian saat hamil masih legal. Saya nggak keberatan untuk menunggu bayi ini lahir baru menikah lagi." Terangnya lemah, sejujurnya Adara tidak enak badan hari ini. Daripagi dia merasakan mual yang luar biasa. Juga tidak ingin memakan apapun. Singkatnya, Adara tidak siap dengan semua ini.

Tapi dia tetap harus melakukannya.

Sakti menghela napas dalam, "Kami memang nggak saling mencintai awalnya, tapi saya punya keinginan yang kuat untuk kembali menghidupkan pernikahan."

"Pernikahan apa yang bisa hidup dengan permainan di dalamnya?" Tanya Adara sambil tersenyum miring.

Sakti terdiam pelan. "Izin menjelaskan, saya membaca poin-poin yang menjadi alasan kenapa saya digugat. Pertama saya masih menafkahi Adara secara lahir dan batin, yang kedua saya tidak pernah mengikrarkan hubungan spesial apapun dengan seseorang. Ketiga, bukti Adara tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa pernikahan kami ini permainan. Sampai dengan dua bulan yang lalu, kami berdua masih baik-baik saja. Tidak ada seorangpun yang bisa membuktikan poin-poin Adara. Saya tidak pernah berbicara dengan nada tinggi kepada istri saya, bersikap kasar dan mengabaikan nafkahnya. Saya juga selalu pulang tepat waktu, di kantorpun saya bertemu dengannya. Kami hampir setiap minggu ke rumah orang tua saya. Sebagai suami, saya tidak pernah mengabaikan tugas saya."

"Adara tidak pernah melayani saya kalau saya tidak memintanya, dia tidak memasak untuk saya setiap hari, juga mencintai saya. Selama ini yang dia ucapkan perceraian terus, mengabaikan tugasnya sebagai istri. Saya tidak menyalahkannya. Akan sangat masuk akal bagi saya untuk menggugat Adara, tapi saya tidak melakukannya. Saya menyayanginya, saya tidak mau berpisah dengannya"

Adara menghela napas dalam dan tak melirik Sakti sama sekali. Sakti menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan baik. Membuat rasa lelah di dalam tubuh Adara semakin berkali-kali lipat, juga bercampur ego.

"Saya nggak akan mencabut gugatan ini."

"Nggak bisa gini dong, Ra. Tuntutanmu nggak masuk akal."

Adara tersenyum miring mengeluarkan bukti-buktinya pada mediator. "Tolong disimpan sebagai bukti."

Sakti terdiam.

"Itu curhatan perempuan itu, bukan keputusan saya."

Mediator di dalam ruangan itu turut menghela napas dalam kemudian membaca bukti yang dibawa oleh Adara.

"Saya udah nggak tahan lagi, intinya."

"Alangkah baiknya kalian memikirkan lagi perceraian ini, juga dengan anak yang sedang dikandung di dalam perut Ibu. Coba ingat-ingat lagi bagaimana kalian berdua saling menyayangi selama ini."

Hanya hening yang bisa mereka lakukan.

"Kami nggak saling jatuh cinta dari awal," jawab Adara pelan. "Mungkin karena perasaan cinta yang tidak berkembang itulah permasalahan ini semakin rumit."

Sakti menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan ucapan Adara.

"Saya pikir ini masalah komunikasi saja, Pak." Ujar Sakti pada akhirnya.

Proses mediasi berakhir dan keputusannya dibawa ke sidang berikutnya. Adara terdiam lama ditempatnya saat satu persatu orang telah meninggalkan mereka. Sakti menatap Adara pelan, rasa lelah juga turut dirasakannya.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang