Bab 26

32.5K 3.9K 486
                                    

"Ayah? Ibu?" Sakti sedikit terkejut dengan kehadiran kedua orang tua di rumahnya. Dari arah dapur, Adara berjalan ke ruang tamu sambil membawakan minum untuk kedua orangtuanya. Bajunya sudah berganti dengan home dress yang biasa Adara gunakan. Langkah Adara tercekat, namun karena ini adalah sesuatu yang harus dia lakukan, Adara meraih tangan Sakti dan menyalami tangan itu.

Sakti tertegun memandanginya.

"Aa! Kok nggak pernah bilang Adara udah hamil?" Hartati langsung menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Adara makin kurus begini, nggak kamu urusin?"

Sakti terdiam dan menyadari untuk pertama kali bahwa Adara memang sudah lebih kurus dari sebelumnya.

Adara mengambil tempat di samping Hartati dan tersenyum, "Diurus, bu. Cuma memang aku belum sempat kasih tau Ibu dan Ayah."

Seolah mata Sakti baru terbuka lebar, dia bisa mengamati mata Adara yang sayu saat ini berbicara dnegan Ibunya, namun bibir perempuan itu masih tersenyum. Hatinya mencelos, rasa sakit yang dia rasakan tadi kembali menyerangnya. Rasa bersalah kembali menghantamnya. Jika Sakti boleh memilih, dia ingin memeluk Adara saat ini dan memohon agar Adara mau memaafkannya.

Apa yang telah dia lakukan pada Adara selama ini? Sebegitu tegakah dia memperlakukan Adara hingga semua hal yang menarik di diri Adara sejak pertama kali mereka bertemu hilang begitu saja. Keceriaan, wajah yang tegas dan mata yang tidak takut oleh apapun.

Seolah-olah Sakti merenggut semua itu darinya.

Adara memaksakan senyumnya, dia menatap Sakti dan mengode untuk segera duduk. Sakti segera melakukan itu dan duduk disebelah ayahnya.

"Jadi, gimana persiapan maju ke pengadilan besok?"

Sakti mengerinyitkan dahi, Pengadilan? Pengadilan Agama?

"Baru mau meeting besok, Yah" jawab Adara pelan. Dia menatap Sakti dan menganggukkan kepalanya.

"Aku tadi seharian di luar kantor," jawab Sakti sekenanya. Padahal dia hanya melarikan diri karena menghadapi kenyataan apa yang dia inginkan tidak akan pernah lagi jadi miliknya.

Adara tersenyum tipis dan mengangguk.

"Ayah dipanggil. Sidang besok kamu mendampingi saja."

Ternyata bukan. "Iya." Sakti sedikit menatap Adara, "Ayah sama Ibu istirahat dulu saja, udah makan kan?" tanya Sakti.

"Udah. di masakin sama menantu Ibu yang paling cantik ini."

Adara tersipu mendengarnya dan mengangguk, membuat hati Sakti menghangat memandang Adara seperti itu. Seperti ada sebuah sinar yang tiba-tiba menerangi tubuh ringkih dan lemahnya saat ini. Berbincang dengan kedua orangtuanya bisa menetralkan apapun yang terjadi diantara mereka saat ini. Setidaknya untuk sementara.

Saat Ayah dan Ibunya naik ke lantai atas, Sakti memandang Adara dengan canggung. Apalagi mengingat pengakuan cintanya, dibalas dengan kepergian Adara begitu saja. Tentu saja dia pantas mendapatkan semua ini.

Sakti bahkan tidak sanggup mengevaluasi diri.

Adara pergi dari hadapannya begitu saja sambil mengangkat gelas dan meletakkannya ke wastafel, saat Adara meraih sarung tangan untuk mencucinya, Sakti dengan cepat meraih sarung tangan itu, membuat Adara sedikit menoleh.

"Aku saja, Ra."

Adara mengangguk ringan dan meninggalkan Sakti di dapur, kemudian masuk ke dalam kamarnya begitu saja.

Tanpa menguncinya.

Setelah mencuci piring, Sakti mendapati Adara sudah berbaring di tempat tidur dan menutup matanya. Selimut ditariknya hingga ke leher, namun melihat jam di nakas mereka, Sakti tau bahwa Adara hanya pura-pura tertidur.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang