Bab 14

27.2K 3.8K 274
                                    

Jika tidak ada perasaan cinta yang menyusup diantara mereka, maka sepertinya semua chaos yang Adara rasakan saat ini tidak akan ada. Maka dia mulai menyalahkan dirinya sendiri seiring dengan semakin besarnya perasaan yang memenuhi rongga udaranya. Setiap hari melihat Sakti, melihat dia beraktivitas, berinteraksi dengannya, melihat bagaimana semangat dan kekaguman tampak dimatanya semakin membuat Adara tidak bisa menolak apa yang masuk dalam relung jiwanya.

Nyatanya, bibirnya mengucapkan berkali-kali bahwa dia membenci laki-laki itu namun hatinya mengatakan dia ingin memiliki. Wanita memang makhluk yang paling mampu membiaskan kenyataan, dia mampu menolak namun hatinya berteriak ingin, dia bahkan mampu bersikap cuek sekalipun yang dia inginkan adalah menyandarkan diri pada laki-laki yang disukainya.

Usia Adara bukan lagi usia tak matang, dia tidak sekali ini merasakan suka, namun entah kenapa mengakui bahwa dia mencintai laki-laki yang sekarang ada didekapannya ini menjadi sesuatu yang sulit dia lakukan.

Siapa yang bisa mengatakan hal yang sama dua kali? Siapa yang mau mendapat tanggapan angin lalu yang sama dua kali?

Adara sudah tidak ingin lagi.

Hatinya terusik saat melihat Sakti tersenyum tipis berinteraksi dengan Dianza, sekalipun Adara ada di dalam dekapan laki-laki itu semalam penuh -dan Sakti membicarakan acara family gathering dengan Dianza di telepon, dia tetap merasakan kecemburuan yang teramat sangat. Bahkan rasanya ingin mematikan panggilan itu.

Selesai percakapan yang manis itu -setidaknya untuk Dianza dan Sakti-, Laki-laki itu kembali mencium Adara seolah tidak terjadi apapun. Permainan Sakti yang begitu mulus membuat Adara kadang tidak habis pikir, kenapa bisa dia menggunakan dua topeng sekaligus. Manis dan pahit secara bersamaan.

"Kamu masih menyayangiku, Ra?" Tanya Sakti setelah selesai dengan aktivitasnya. Adara hanya bisa membatu, tidak menjawab ucapan itu sama sekali karena bayangan saat dia menyatakan perasaannya dulu masih terbayang dikepalanya.

Sakti akhirnya menghela napas dalam dan memilih tidur. Namun bayangan dikepala Adara melalangbuana pada saat tujuh bulan pernikahan mereka.

"Sakti, boleh aku panggil kamu sayang?" Adara tersenyum manis, Sakti mengerjapkan mata dan mengerinyitkan dahi.

"Kenapa?"

"Ya pingin aja." Adara memutar bola matanya.

"Kamu menyukaiku, Ra?"

Adara terdiam lama, dia hanya menatap Sakti lurus-lurus. Sedangkan Sakti kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa memperpanjang ucapan tadi.

"Bukannya kamu masih suka lthaf?"

"Is it okay for you?"

Sakti menghela napas dalam dan kembali menatapnya. "I'm not okay. Setahuku bulan kemarin kamu masih teriak membenciku."

Adara menelan ludahnya. "Tapi aku—"

"Aku mau kerja dulu, Ra."

Adara tersenyum simpul dan mengangguk, sejak saat itu mempertimbangkan perasaan Sakti adalah pilihan terakhir yang harus dia pilih. Ia tidak lagi berbicara, berteriak dan hanya diam, kemudian tak pernah peduli lagi.

***

"Selamat pagi, Adara Krisan Chandani."

Adara baru membuka matanya dan sedikit terkejut dengan panggilan itu, dia menatap Sakti yang sedang setengah duduk menatapnya dengan mata yang memicing. Adara menghela napas dan menolehkan kepalanya, kemudian badannya.

Dia melirik jam yang tepat berada di nakas sampingnya dan menghela napas saat melihat masih pukul lima pagi.

"Ayo bangun," Sakti memeluk Adara dari belakang yang seketika membuat Adara meringis.

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang