Bab 15

28.4K 3.7K 282
                                    

Jika ada jurus menghilang di dunia ini, maka Adara akan belajar hanya untuk mengamankan posisinya. Dia pernah mendapati seabrek kasus yang luar biasa sulit, pernah menjadi sasak emosi bosnya juga kekecewaan klien padanya. Tidak ada yang lebih dingin dari suasana yang terjadi begitu tiba-tiba seperti ini.

Siapa yang menyangka, Pinkan ada disini?

Meski berusaha untuk tetap biasa saja, mereka tahu bahwa ada bumerang yang begitu besar yang akan mereka hadapi. Sakti mengusap tangan Adara dengan tangan kirinya dan tersenyum kepada "tamu" ayahnya.

"Apa kabar, Pak?"

Pak Gianjar hanya tersenyum tipis, dia pernah bertemu beberapa kali karena satu club tenis dengan ayahnya. "Baik."

Sakti mengajak Adara untuk duduk, namun gerakan Adara yang menahannya untuk tetap berdiri membuat laki-laki itu menatap Adara pelan. "Saya nggak menyangka staf teknis kami adalah anak Bapak." Sapa Sakti berbasa-basi.

"Pinkan nggak mau mengakui."

"Tapi Pinkan teman baik istri saya, Pak." Terang Sakti semakin jelas.

"Teman baik?" Tanya Hartati.

Adara tersenyum tipis dan mengangguk. Sedangkan Pinkan hanya membalasnya dengan senyuman paksa. "Saya lebih kaget lagi ternyata Adara, teman saya, istri Pak Sakti." Pinkan menatap sekilas Adara dan Sakti dan mengalihkan pandangan ke arah bawah.

"Oh iya, mereka memang belum mengumumkan, Pinkan. Kamu tahu sendiri, Sakti sedang sibuk mengambil alih semua pekerjaan ayahnya."

Pinkan kembali tersenyum.

Adara benar-benar ingin mati saja.

***

Ia hanya bisa mengusap wajahnya saat Pinkan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Pasca pertemuan yang mengejutkan itu, Adara membawa Pinkan ke taman belakang. Tadinya dia ingin menjelaskan semuanya, tetapi saat melihat tatapan risih temannya itu pada dirinya, Adara mengurungkan niatnya.

Tidak ada yang lebih tidak berguna daripada menjelaskan sesuatu pada orang-orang yang sedang emosi. Saat seseorang emosi, emosinya langsung menutup mata dan telinganya hingga hanya bisa mendengarkan diri mereka sendiri. Adara hanya tinggal menunggu, berapa menit lagi Pinkan menumpahkan semuanya padanya.

"Kok lo tega sih bohongin kita semua?!" Pinkan menyelak tidak percaya, Adara menghela napas dalam dan menatap ke dalam rumah. Untung saja Ayah Pinkan juga menahan IHartati di ruang tamu sana sehingga Adara bisa leluasa mengobrol dengannya. Dan untung saja, Pinkan menumpahkannya hari ini, bukan berlarut-larut sampai mereka kembali bertemu di kantor.

"Ceritanya panjang," jelas Adara singkat, mencoba santai dengan keadaan ini.

"Sumpah, gue kecewa banget sama lo." Pinkan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Adara hanya bisa menarik napas panjang dan menenangkan dirinya.

"Gue tahu dan gue minta maaf soal itu, gue nggak bermaksud bohongin kalian semua."

"Nggak bermaksud bagaimana? Kita hangout terus tiap minggu dan lo bersikap seolah-olah nggak kenal dengan pak Sakti."

"Pinkan, ceritanya panjang, gue nggak bisa jelasin sama lo sekarang. Gue ada di rumah mertua gue."

Pinkan menatap ke dalam rumah. "Lo tega banget! Sumpah, gue merasa bodoh banget selama ini."

"I'm sorry, Kan."

"Terus Dianza gimana?" Tanya Pinkan langsung, namun sesaat kemudian perempuan itu mengumpat. "Gue bingung banget! Gue nggak tahu siapa yang harus gue kasihani, Dianza yang dibohongin lo berdua atau lo yang lihat sendiri suami lo pedekate sama sahabat lo sendiri!"

Terusik | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang