Meskipun mamanya selalu mengatakan bahwa saat dia marah maka diamlah. Atau saat marah carilah gerakan untuk menetralkan perasaan itu. Ia mengabaikan nasihat itu dan tidak sabar untuk menghakimi Sakti.
Sampai di rumah Adara tidak bisa menahan kekesalannya. Jika semakin ditumpuk, Adara semakin merasa emosinya sudah setinggi puncak gunung tertinggi didunia ini kepada Sakti. Sudah terlalu banyak hal yang menjengkelkan yang dilakukan laki-laki itu. Membuat Adara muak. Tidak. Emosinya tidak setinggi gunung itu tapi emosinya membuat dirinya seperti gunung api yang siap meledak ...menumpahkan lahar panas dari dalam. Membuat sekitarnya porak-poranda.
Adara membanting sedikit pintu rumah, matanya mengendar ke seluruh ruangan di dalam rumah.Ia tidak mendapati Sakti ada dimanapun. Dia melangkah ke lantai dua dengan tergesa, mencari keberadaan orang itu dengan emosi yang siap meledak. Adara paham jika Sakti menginginkan Dianza, tapi ini masalah pekerjaan. Dia tidak bisa tinggal diam.
Laki-laki yang dicarinya baru saja keluar dari kamar mandi -tampaknya dia baru selesai mandi langsung terpaku melihat keberadaan Adara di kamarnya.
Adara langsung duduk di ranjang dan menyilangkan kaki, menatap Sakti yang dengan santai berpakaian di depannya. Setelah Sakti selesai dengan urusannya, Adara baru mengeluarkan suara.
"Kenapa Dianza yang diajak ke rapat investor?!"
Sakti meraih sisir dan menyisir rambut basahnya dengan santai. Sontak, membuat perempuan itu menahan napas. Teman-temannya benar, Sakti memang tidak sejelek itu untuk di pandang ... dia tampan dan badannya mulai bagus karena rajin olahraga dan gym.
Tapi bukan itu fokus Adara sekarang!
"Kamu kan lagi sibuk. Harus ngurus permasalahan perusahaan," jawab Sakti santai, melirik sedikit kearahnya.
Adara menggelengkan kepalanya. "Itu tupoksiku!" Ia mulai menatap Sakti tidak senang. Sedangkan Sakti hanya membalas dengan tatapan datar.
"Adara."
Adara menghempaskan kakinya dan menyesali apa yang dia lakukan. Apapun yang dia ucapanka. Pada akhirnya, memang tidak akan pernah di dengar oleh Sakti. Semuanya percuma, kenapa pula dia datang ujug-ujug dan menyuarakan pendapatnya sekarang? Berharap laki-laki ini mendengarnya? Hah, mimpi saja. Lebih baik dia keluar dari kamafnya. Semua yang dia lakukan sia-sia.
Sakti menahan tangannya. Mata laki-laki itu mulai serius menatap lurus padanya, "kamu ini kenapa? Selalu turbulent saat kemauannya tidak didengar"
Adara mendengus. "Memangnya pernah satu detikpun keinginanku kamu dengar?" Adara sudah siap meledak. "Aku nggak masalah kamu suka Dianza atau semacamnya, aku nggak suka kerjaanku diikut campur sama orang lain hanya karena kamu lebih menyukai dia!"
Sakti terdiam namun tangannya semakin mencengkram tangan istrinya . Adara menyentak tangan itu namun Sakti tidak melepaskannya sama sekali. Tampaknya, usahanya membuat Sakti naik darah semakin berhasil, ia menantang wajah Sakti dengan tatapan sinisnya.
"Aku nggak peduli kamu menyukai dia atau nggak, yang jelas ini pekerjaanku. Bukannya kemarin kita udah sepakat aku yang pergi? Lalu kenapa kamu tiba-tiba mengajak dia? Mau berduaan?"
"Ra!"
Adara semakin memancing pertengkaran diantara mereka.
"Sudahlah! Capek ngomong sama tembok. Terserahlah!"
Sakti semakin menahan Adara dan membuat perempuan itu mendekat padanya. Adara memberontak, merasakan dirinya sudah terlalu dekat dengan Sakti.
Ia meronta karena cengkraman Sakti semakin kuat ditangannya,

KAMU SEDANG MEMBACA
Terusik | ✓
Roman d'amour(Reading list WattpadRomanceID kategori Bittersweet of Marriage bulan Mei 2022) Disclaimer : NOT a romantic marriage story you ever imagine. Adara tersenyum tipis. Baiklah, sepertinya mereka bisa memulai proses negosiasi ini. Sebuah transaksi rahasi...