9. Ungkapan

59.4K 7.2K 533
                                    

Saat ini aku tengah berada di dapur, setelah bersama nenek barusan. Hatiku sedikit tenang karena nenek memberikan aku banyak sekali wejangan.

Aku tengah memgambil air untuk minum, di sampingku ada bibi Hana yang tengah memanaskan air, entah untuk apa.

"Naya!" panggil bibi membuatku menoleh.

Aku terlonjak, hampir saja terhuyung ke belakang jika tidak bisa menahan diri, karena bibi yang tiba-tiba saja memelukku dengan erat. Isak tangisnya terdengar membuatku panik.

"Bibi kenapa?" tanyaku khawatir.

"Maafin bibi ya, bibi nggak bisa ngomong secara terang-terangan sama Gibran soal ini, bibi nggak misa maksain kehendak bibi," kata bibi di sela-sela isak tangisnya.

Aku bingung dengan apa yang di maksud bibi barusan.

"Bibi sampai sekarang masih berharap kalau yang akan jadi istrinya Gibran itu kamu bukan orang lain." aku menatap bibi tak percaya, tadi nenek sekarang bibi. Ada apa dengan orang-orang?

Tapi yang jelas, perlahan air mataku juga ikut menetes. Beruntung di dapur hanya ada kami berdua.

Bibi menggenggam tanganku.

"Kamu suka kan sama Gibran?" tanya bibi.

Aku tak menjawab. Tanpa jawaban dari pertanyaanku pun sebenarnya bibi sudah tau apa jawabannya.

"Bibi, t-tau darimana?" tanyaku terbata-bata.

"Dari cara kamu mandang Gibran pun, semua orang akan tau apa jawabannya."

"InsyaAllah, Naya akan mencoba ikhlas bi." air mataku mengalir deras, isak tangisku kian terdengar begitu pun dengan bibi yang sedari tadi masih terisak.

"Ibu!" kami menoleh.

Baik aku dan bibi segera menghapus air mata, karena kehadiran Mas Gibran.

Laki-laki bertubuh tinggi itu segera mendekati kami. Ada raut wajah khawatir dari dirinya saat melihat keadaan bibi.

"Kok nangis?" tanya Mas Gibran pada bibi.

Mas Gibran kini beralih menatapku.

"Nggak. Ini tadi ibu sama Naya lagi ngebahas drama korea yang sedih gitu."

Bibi tersenyum melihat Mas Gibran yang terlihat percaya dengan apa yang di katakan oleh bibi tadi.

🌸🌸🌸

Malam harinya, kami telah sampai di rumah keluarga Dila dan kedatangan kami langsung di sambut hangat oleh keluarga besar Dila.

Saat ini kami tengah berbincang ria bersama keluarganya Dila. Aku sesekali mengobrol dengan salah satu sepupunya Dila yang aku ketahui bernama Ria.

Sanpai saat akan di puncak acara, aku hendak keluar mencari udara segar, namun ibu mencekalku dan mengatakan untuk tidak berkeliaran dengan sembarangan di rumah orang.

Dengan amat terpaksa aku pun mengikuti perintah ibu, dari pada kualat.

Aku menatap Mas Gibran yang sedang angkat bicara, kemudian mengutarakan maksud kedatangan kami. Aku menatap semua orang, sampai tatapanku jatuh pada bibi yang juga tengah menatapku.

Air mataku tak dapat terbendung saat mendengar untaian-untaian kalimat manis yang di lontarkan Mas Gibran untuk melamar Dila. Sementara mempelai perempuan nampak senyum malu-malu dan itu membuat sorakan terdengar ramai di telingaku.

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang