34. Menuntun untuk lebih baik

54.7K 5.6K 126
                                    

"APA?!" Gibran tak bisa menahan rasa bahagianya saat ia mendengar Naya menyatakan soal perasaanya, sampai-sampai Gibran langsung merubah posisinya menjadi duduk.

"Aku sayang sama Mas Gibran," kata Naya mengulangi.

Senyuman Gibran semakin lebar.

"Ulangi, aku nggak denger dengan jelas." Gibran mengguncang tubuh Naya, sementara Naya sudah menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya saking malunya.

"Nggak ada siaran ulang lagi!" kata Naya dengan tegas.

Gibran memeluk Naya dengan mesra, mengecup kepala istrinya berkali-kali.

"Gemesin banget sih." terakhir Gibran mengecup bibir Naya tapi hanya sekilas. Takut khilaf, tidak kuat juga kalau harus berlama-lama karena bibir Naya sangat manis, terlebih aroma parfum Naya mampu membuatnya bergairah.

Hape Naya terdengar berbunyi, ternyata dari Syifa.

"Dari siapa?" tanya Gibran melirik hape istrinya.

"Syifa."

"Angkat gih, siapa tau ada yang darurat." Naya segera menggeser tombol hijau.

"Assalamualaikum, lagi dimana?" bukan suara Syifa yang terdengar melainkan suara Farhan.

"Waalaikumsalam, lagi di rumah Mas, kok pakai nomer Syifa?"

Bibir Gibran berkata agar Naya meloudspeaker, Naya pun menurut.

"Iya. Hape Mas lagi dipake nonton sama Adam. Kamu sibuk atau nggak?"

"Nggak. Kenapa memangnya Mas?"

"Bisa ke rumah sakit nggak? Ibu---"

"Kenapa sama ibu Mas?" sergah Naya. Memang kalau soal ibu Naya itu paling khawatir, takut ibu tercinta kenapa-napa.

"Ibu sakit dan harus dirawat inap," jawab Farhan.

"Astagfirullah, kenapa nggak ada yang ngasih tau?! Terus sekarang ibu ada di rumah sakit mana?!" wajah Naya bahkan sudah terlihat pucat pasi, tangannya gemetaran.

Farhan menyebutkan rumah sakit tempat ibu dirawat dan ternyata rumah sakit itu adalah rumah sakit tempat Gibran bekerja.

"Makasih Mas, aku ke sana sekarang." ucap Naya.

Setelah berkata agar Naya berhati-hati dan mengucap salam, telfon dimatikan.

"Mas aku mau ke rumah sakit. Bolehkan? Kalau Mas kecapekan aku nggak apa-apa kalau harus pergi sendiri." Gibran dapat melihat kehawatiran yang begitu terpancar dari mata sang istri.

"Kita pergi sama-sama!"

Naya berganti baju dengan jilbab yang juga melekat dikepalanya, setelah ia dan Gibran selesai mobil Gibran melaju meninggalkan pekarangan rumah.

Naya tak bisa menyembunyikan betapa khawatirnya dia akan keadaan sang ibu, air matanya sedari tadi mendesak untuk keluar, sejenak ia menggerutu pada kedua saudaranya yang bahkan tak sekalipun memberitahu prihal ini, ia merasa menjadi anak yang tak berguna.

Merasa istrinya tak baik-baik saja Gibran sontak menggenggam tangan istrinya berharap perlakuan itu bisa membuat hati istrinya sedikit tenang, nyatanya Naya sama sekali merasa tak tenang. Mereka sampai di rumah sakit setelah sekitar 15 menitan dalam perjalanan, kebetulan rumah mereka dekat dengan rumah sakit.

Sampai sana Naya segera menarik Gibran agar semakin mempercepat langkahnya menuju kamar ibunya.

Naya bisa melihat keluarganya tengah duduk, sepertinya menunggu kabar dari dokter. Naya berlari.

Sepupuku Suamiku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang