Typo bertebaran!!!
Sekitar jam 4 lebih aku terbangun karena mendengar suara adzan yang berkumandang. Perutku terasa berat, seperti tengah menahan beban yang berat, aku menyibak selimut untuk melihatnya. Mataku membulat kala melihat tangan kekar seseorang yang tengah memelukku dengan possesive.
Tanpa berbalik pun aku sudah tau siapa pemilik tangan tersebut. Deru nafas hangat menerpa kulit leherku. Tanganku segera meraba seluruh tubuh, aman, semua pakaianku masih berada pada tempatnya.
Segera ku bangkit dari posisi. Sepertinya Mas Gibran terganggu karena setelah aku merubah posisi menjadi duduk ia juga ikut bangun sambil mengucek matanya dan berdoa.
"Udah subuh aja," katanya dengan suara serak khas bangun tidur.
Aku meneguk salivan dengan susah payah. Gantengnya Mas Gibran natural kalau lagi baru bangun kayak gini ditambah dengan suara serek-serek seksi miliknya.
"Udah berdoa belum?" tanya Mas Gibran.
"Udah." seketika aku melihat Mas Gibran yang terdiam mematung sambil menatapku.
"Sebentar." Mas Gibran turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
Aku menguap sambil menatap arah depan dengan kosong. Pintu kembali terbuka, menampilkan figur Mas Gibran yang telah kembali seraya membawa satu gelas berisi air minum.
"Nih." ia menyodorkan gelas tersebut.
Meski dengan dahi yang berkerut aku pun mengambilnya.
"Makasih." aku meneguk sampai habis.
"Besok-besok kalau baru bangun jangan langsung ngomong, minum air dulu," peringatnya.
"Hemm, kalau ingat." Mas Gibran menghela nafas.
"Nanti biar aku yang sediain airnya sebelum kamu bangun."
"Habis ini langsung ambil air wudhu ya, kita shalat berjamaah hari ini." selepas itu Mas Gibran pergi duluan mengambir air wudhu.
Sembari menunggu aku berinisiatif untuk menyiapkan keperluan shalat Mas Gibran, mulai dari sarung, baju koko, kopiah dan tak lupa juga dengan sajadahnya.
Mas Gibran keluar dari kamar mandi. Kini giliran aku yang masuk ke dalam kamar mandi, sebelum menutup pintu kamar mandi Mas Gibran kembali menyerukan namaku.
"Terima kasih ya," ucapnya.
Aku membalasnya dengan senyuman. Selepas wudhu aku keluar, Mas Gibran terlihat sudah menungguku.
Kami melaksanakan shalat berjamaah, selesai shalat dan berdoa seperti biasa kami kultum, setelah semuanya selesai aku mencium punggung tangan Mas Gibran.
"Hari ini ada mata kuliah nggak?" tanya Mas Gibran yang duduk bersila di depanku.
"Ada. Tapi nanti jam 10 gitu."
"Aku mau ke rumah sakit mungkin sampai sore, jadi aku nggak bisa antar kamu ke kampus. Nggak apa-apa kan? Nanti aku tambahin biaya transportasi kamu."
"Nggak apa-apa kok Mas, nanti aku ke kampus pakai motor aja."
"Serius? Aku nggak enak sama kamu." Aku tertawa melihat ekspresi Mas Gibran yang tengah menggaruk tengkuknya tidak gatal.
"Kenapa harus nggak enak sih? Padahal aku bisa pakai motor, udah biasa juga ke kampus naik motor." aku melepas mukena dan melipatnya rapi.
"Makasih ya Na, beruntung banget aku punya istri pengertian kayak kamu."
Demi apapun kondisi perut dan hatiku saat ini sedang tak baik-baik saja. Serasa ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutku, pipiku terasa memanas, sedikit aku menunduk untuk menyembunyikan salah tingkahku akibat ucapan Mas Gibran barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepupuku Suamiku
Roman d'amourFollow sebelum membaca ✔️ Mungkin jika seorang perempuan mencintai laki-laki itu terdengar seperti hal yang wajar. Namun bagaimana jika laki-laki yang kau cintai itu adalah sepupumu sendiri? orang terdekatmu. Itulah yang di rasakan oleh Naya. Memend...