Sampai malam aku masih berada di kediamannya Mas Gibran. Saat ini aku tengah berbincang bersama Azriel adiknya Mas Gibran. Laki-laki yang baru masuk jenjang perkuliahan itu juga tak kalah ganteng dari Mas Gibran, tapi dari segi otak Mas Gibran lebih unggul.
"Na, shalat magrib dulu. Mukena udah bibi siapin," ucap bibi membuat obrolan kami terhenti.
"Aku shalat dulu ya, nanti lanjut lagi." Azriel mengangguk.
Aku melangkahkan kaki menuju mushala kecil yang berada di rumah ini. Mengambil air wudhu setelah itu melaksanakan shalat 3 rakaat.
Setelah selesai berdoa dan sebagainya, aku membuka mukena. Terdiam cukup lama, memikirkan banyak hal mengenai kehidupanku setelah ini. Tentang bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Mas Alan, lalu tentang Mas Gibran yang hendak menikahi perempuan lain.
Rasa tak rela kehilangan Mas Gibran menyelimuti perasaanku. Ya Allah kemapa juga aku harus jatuh hati pada Mas Gibran? Aku memejamkan mata, memijit pelipisku pelan.
"Astagfirullah," ucap seseorang membuatku refleks membuka mata dan menoleh.
Aku mendapati Mas Gibran yang tengah menatap arah lain sembari beristigfar.
"Kenapa?" tanyaku.
"Itu." Mas Gibran menunjukku, tapi matanya menatap arah lain.
"Apanya?" tanyaku bingung.
"Itu." tunjuknya lagi.
Aku mengikuti arah jari telunjuknya yang menunjuk. Kemudian aku tersadar bahwa ternyata Mas Gibran tengah menunjuk rambutku yang tak di lapisi hijab.
Aku mengangguk paham.
"Kok kamu santai aja. Kenapa nggak di pake?" tanya Mas Gibran.
"Kenapa emangnya?" tanyaku.
"Astagfirullah, kamu tau nggak Na sehelai aja rambut wanita yang di lijat secara sengaja oleh laki-laki maka balasannya 70 ribu tahun di neraka. Masalahnya 1 hari di neraka itu sama dengan 1000 hari di dunia, kebayang nggak tuh lamanya? Dan wanita yang masuk neraka akan menyeret empat laki-laki, yaitu ayahnya, saudara kandung laki-lakinya, suaminya, dan anak kandung laki-lakinya. Emangnya kamu tega ngebiarin orang yang kamu sayang masuk neraka, gara-gara kamu?" tanya Mas Gibran yang masih enggan menatapku.
Aku segera mengenakan hijabku kemudian berlalu menjauhinya.
"Eh, Naya!" panggil Mas Gibran lagi membuatku menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.
"Selesai makan nanti aku mau ngobrol sama Ibu dan Bapak soal niat baik aku ke Dila."
Mas Gibran ternyata memang benar-benar seniat itu menjadikan Dila istrinya.
Aku hanya mengangguk pelan dan berlalu.
Selesai shalat isya kami makan malam. Makan malam hanya ada keheningan, setelah selesai barulah keluar jokes-jokes yang berawal dari Azriel.
"Pak, Bu, Gibran mau ngomong serius sama Bapak dan Ibu," ucapan Mas Gibran membuat keheningan terjadi. Suasana seketika mencekam.
"Ehm. Gibran udah mikirin ini mateng-mateng, karena sekarang Gibran merasa udah yakin dengan keputusan Gibran. Dengan niat ibadah, Gibran ada niatan untuk mengkhitbah seseorang, Pak."
Nampak wajah Bibi dan Paman terkejut. Namun Paman buru-buru menetralkan ekspresinya.
"Kamu yakin?" tanya Paman.
Mas Gibran mengangguk yakin. Segera aku alihkan pandanganku, rasa sakit itu kian menggerogoti hatiku.
"Kalau kamu udah yakin, Ibu sama Bapak nggak bisa bilang apa-apa. Kami cuma bisa ngedoain yang terbaik buat kamu," ujar Paman lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepupuku Suamiku
RomanceFollow sebelum membaca ✔️ Mungkin jika seorang perempuan mencintai laki-laki itu terdengar seperti hal yang wajar. Namun bagaimana jika laki-laki yang kau cintai itu adalah sepupumu sendiri? orang terdekatmu. Itulah yang di rasakan oleh Naya. Memend...