Satu minggu setelah kepergian Nenek, semua orang masih merasakan duka yang mendalam.
Hari ini semua orang yang semula ada di rumah nenek akan pulang menuju rumah masing-masing, itu artinya aku juga akan ikut pulang ke rumahnya Mas Gibran. Dan sekarang aku akan mulai merasakan bagaimana tugas sebagai seorang istri. Karena satu minggu full ini kami semua menginap di rumah nenek, jadi aku tidak merasa bahwa aku telah menjadi seorang istri.
Saat ini aku tengah duduk sambil menemani keponakanku bermain.
"Na." aku menoleh menatap Mas Gibran.
"Kita pulang selesai shalat asar ya," ucapnya.
Aku mengerjapkan mata dan mengangguk.
Benar saja setelah shalat asar kami berpamitan untuk pulang. Sebelum bersalaman dengan ibu, ibu mengajukan pertanyaan untuk Mas Gibran.
"Kalian mau tetap tinggal sama orang tua atau gimana?" tanya ibu yang tentu saja di ajukan pada kami.
"Kalau Gibran terserah Naya aja, senyamannya dia, kalau mau tinggal sama ibu bapak nggak apa-apa, kalau mau di rumah sendiri juga nggak masalah. Kebetulan Gibran kan udah punya rumah, jaraknya dari kampus juga dekat, Gibran juga sering nginep di sana, jadi kalau mau di tempati bisa kok."
"Waaah, di mana tuh tempat rumahnya?" tanya Mas Farhan.
Mas Gibran menyebutkan tempatnya membuat Mas Farhan bersorak heboh karena tempat itu kawasan elit. Kami berdua kemudian pamit. Sebelum aku mencium punggung tangan ibu, beliau memberikanku nasihat.
"Naya, kamu sekarang udah bukan perempuan lajang lagi. Inget kamu udah jadi istri. Apapun yang akan kamu lakukan harus dalam ridho suami, melayani suami adalah kewajiban kamu sebagai seorang istri. Jadi kamu layani dengan baik-baik suami kamu." aku mengangguk patuh, kemudian memeluk malaikat tanpa sayapku ini.
Setelahnya aku masuk ke dalam mobil Mas Gibran, kami hanya berdua karena mertua dan adik iparku telah pulang terlebih dahulu.
"Kamu mau pulang tinggal di rumah bapak ibu atau gimana?" tanya Mas Gibran memecah keheningan.
"Emmm, kalau aku boleh milih buat tinggal di rumah sendiri gimana? Kalaupun misalnya harus ngekos juga nggak apa-apa yang penting mandiri," jawabku.
Mas Gibran menoleh sebentar dan kembali menatap depan.
"Senyamannya kamu saja, Na. Kalau itu pilihan kamu, aku ikut. Malah bagus, kan aku udah bilang kalau aku udah punya rumah dan sekarang kalau kamu mau menetap di sana, rumah itu akan menjadi rumah kita."
"Ekh, Mas serius?" Mas Gibran mengangguk.
"Serius. Tapi kita pulang ke rumah ibu dulu, pamitan sekalian ngambil barang-barangku."
Setelah hening. Kami larut dalam fikiran masing-masing. Rasa bersalah menggerogoti hatiku, harusnya Mas Gibran menikah dengan Dila bukan aku. Aku yakin sekali kalau sekarang Mas Gibran tengah patah hati karena gagal menikah.
"Mau turun atau lanjutin ngelamunnya?" aku tersadar setelah mendengar perkataan Mas Gibran.
Ternyata kami telah sampai di kediaman Dirgantara. Aku mengikuti langkah Mas Gibran masuk ke dalam rumah, kedatangan kami di sambut hangat oleh ibu bapak yang sudah pulang duluan.
"Setelah ini rencana kalian gimana?" tanya ibu setelah aku dan Mas Gibran duduk di sofa.
"Gibran sama Naya mau tinggal di rumah sendiri, bu."
Terlihat ibu mertuaku nampak kecewa dengan keputusan kami.
"Padahal ibu berharap banget kalian tinggal di sini sama ibu dan bapak. Ibu kan pengen ngerasain rasanya punya anak perempuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepupuku Suamiku
RomanceFollow sebelum membaca ✔️ Mungkin jika seorang perempuan mencintai laki-laki itu terdengar seperti hal yang wajar. Namun bagaimana jika laki-laki yang kau cintai itu adalah sepupumu sendiri? orang terdekatmu. Itulah yang di rasakan oleh Naya. Memend...